Trust

Bicara soal kepercayaan bukan semata membicarakan tidak gampangnya mendapat kepercayaan dari orang lain. Kepercayaan berharga karena selain belajar jadi orang yang bisa dipercaya, kita juga harus belajar untuk jadi orang yang bisa percaya sama orang lain.

Dan gue merasakan betul itu.

Personally, gue sendiri cukup mudah untuk percaya sama orang lain. Susah bagi gue untuk langsung berburuk sangka sama seseorang yang baru gue temui untuk kali pertama, kecuali kalau orang itu terkenal santer macam Noordin M. Top dan sebagainya. Tapi, gue akan sulit memaafkan kesalahan yang terulang. Sekali seseorang mematahkan kepercayaan gue, akan susah untuk disambung lagi, pakai power glue paling mantap sekalipun.

Yang bikin gue heran, kok sering banget ya gue dikecewakan sama orang? Lebih herannya lagi, kok ternyata, hanya dengan sedikit kata maaf, gampang ya gue maafkan orang itu dan membangun sendiri rasa percaya gue sama dia?

Bukan, gue bukan lagi ngomongin soal satu atau sejuta orang yang gue sayang. Katakanlah cinta nggak berperan dalam hal ini...tapi seperti kata orang, gue termasuk orang yang bisa dipercaya dan diandalkan. Juga sangaaaaat sabar. Entah darimana mereka mengambil kesimpulan terakhir, tapi setelah gue pikir, mungkin inilah yang namanya rasa sabar.

Memang sih, sesabar-sabarnya orang, pasti ada batasnya juga. Masalahnya, hidup kayaknya merasa asik ngisengin gue untuk hal ini, semua hal dari yang remeh sampai aneh dia muntahkan semua, dan apa yang gue pikir adalah batas terparah kegondokan gue hari ini (saat-saat ketika gue bilang, "...ah, cukup! Gue udah muak!!") ternyata malah jadi garis start esok harinya, karena gue selalu mengawali hari dengan berpikir, "..ah, masih pagi, gue masih seger, ribet-ribet dikit gapapalah..."

Kalau memang benar itu yang namanya sabar, maka kesimpulannya: jadi orang sabar itu nggak enak.

*Tapi, kalau memang nggak enak, kok tetep dilanjutin? Nggak usahlah jadi orang sabar sekali-sekali, rasain gimana nikmatnya jadi orang yang bertindak seenak perut...*

Nah, that's the point. Gue nggak bisa.

*Takut dosa?*

Iya, salah satunya. Tapi ketakutan terbesar gue adalah menjadi orang yang nggak tahu diri. Seorang pendosa bisa jadi seorang yang masih tahu diri. Artinya, sadar dengan apa yang dia lakukan, jadi nggak menuntut macam-macam dan nggak protes kalau hidupnya nggak berjalan indah. Tapi seorang yang nggak tahu diri?

Biar kata cuma kenal Tuhan sekali setahun pas hari raya, suka bohong, maruk keuntungan, nggak berperasaan, satu hari dia ketiban kemalangan dan dia mengumpat-umpat semua orang, juga Tuhannya, untuk itu. Seram.

Sadar atau tidak, makin banyak orang yang nggak tahu diri berkeliaran di sekeliling kita hari ini. Orang-orang yang bertindak seenak jidat demi kenyangnya perut sendiri dan jika satu waktu dia kena susah, orang lain yang harus jadi tersangka. Bisa jadi kita yang harus jadi tersangka.

Itulah sebabnya... Banyak orang yang saking beratnya cobaan hidup maka mereka akan give up dan balas dendam gila-gilaan atas apa yang nggak bisa mereka dapatkan atau lakukan. Tapi gue nggak bisa. Setiap kali merasa jadi orang paling malang sedunia, dunia selalu menunjukkan betapa masih banyak orang lain yang lebih malang dari gue dan suka nggak suka kegondokan itu pun gue telan habis. Meski pahit.

Salahkah itu? Kalaupun iya, siapa--atau apa--yang salah? Gue juga nggak tahu.

Yang jelas, di mana-mana, jadi orang brengsek memang lebih gampang ketimbang mencoba jadi orang suci.


Comments

Popular Posts