Celoteh Ide

"Ibuk, lihat ada mobil jip besaar! Dia buru-buruu.."

"Waah, mau ke mana ya..?"

"Ke rumah, cari ibuknyaa.."

Begitulah senjaku biasa berlangsung: menyetir pulang bersama Ide, setelah menjemputnya dari Daycare. Padanan Bahasa untuk Daycare adalah Tempat Penitipan Anak. Sampai hari ini, sebagian besar konotasinya masih negatif. Tetapi untukku, Daycare adalah partner pengasuhan terbaik yang dapat kuberikan bagi anakku.

Ide akan genap berusia 3 tahun bulan ini, dan nyaris setiap orang berkomentar tentang cerewetnya dia. Hal itu rasanya diberi andil juga oleh guru-guru dan suster pengasuh di Daycare: mereka memberikan kepadanya waktu dan stimulasi yang memadai sementara ibunya tidak dapat membersamainya 24 jam, 7 hari seminggu. Namun tulisan ini tidak akan berbicara tentang pengasuhan anak ibu bekerja melainkan suatu memento pribadi, untuk masa kecil anakku dan celoteh-celotehnya yang kadang membuatku takjub dan memaksaku berpikir.

Ide jarang mengoceh ketika bayi. Sebelum dapat berkata-kata, ocehannya hanyalah seruan-seruan ekspresif. Alih-alih berusaha meniru bunyi-bunyian, dia mendengarkan seksama dan mengamati gerakan mulut orang lain sampai yakin benar, bahwa itulah cara mengucapkan sebuah kata beserta maksudnya, seolah selalu memiliki tujuan. Sepertinya ia menyadari, pada suatu waktu di fase bayinya, bahwa kata-kata adalah cara menyampaikan dan memenuhi suatu maksud. Maka kini adalah masa ia menguji hipotesisnya, mengacak-acak rangkaian trial-and-errornya yang menguji kesabaran, dan merayakan setiap 'Aha!' moment yang dicapainya dengan sangat, menurut bahasa kami, bayi sekali.

Ide suka mobil, terutama yang besar, dan sebelum mengenal konsep aktivitas manusia yang lebih variatif, baginya setiap mobil yang berlalu-lalang di jalan raya bermaksud pulang ke rumah untuk mencari ibunya. Hal ini membuatku berpikir--ketika membelai-belai pipi gembulnya saat ia tidur, saat menciumi wajahnya yang masih tampak bayi pada badan yang besar--tentang perasaan-perasaan yang mungkin timbul padanya dalam keseharian diantar-jemput ke Daycare, pada seperempat jam menjelang tidur siang atau menit-menit kritis di sore hari. 

Tentu saja: dia akan kangen pada ibunya. Ingin pulang, untuk mencari Ibu.

"Ibuk, Ibuk ayo kita main bersama!" Begitu celotehnya setiap malam, berusaha mendorong waktu tidurnya sejauh mungkin untuk bisa sedikit lebih lama bersama ibunya di hari itu. Akhirnya kami meneken perjanjian untuk bermain sampai pukul setengah sembilan malam, lalu gosok gigi dan baca buku cerita sebelum tidur. Ia akan tidur memeluk dada ibunya, sebab, "Ide kangen nenen Ibuk" setelah disapih beberapa waktu yang lalu.

Bagaimana perasaannya tidur di dada ibu? Mungkin tenang, hangat, dengan degup yang familiar?

Aku adalah anak yang dibesarkan seorang ibu yang membersamaiku, 24 jam, 7 hari seminggu. Kujadikan rumah sebagai asosiasi dari kehadirannya: semua akan baik-baik saja sebab aku akan pulang ke mana dia ada. Aku lebih sering bosan alih-alih kangen Ibu. Mungkin inilah pertanda aku perlu belajar berempati pada anakku, sebab aku tidak pernah mengalami apa yang dia lalui.

Saat ini, Ide sudah menemukan bahwa mobil-mobil bisa berlalu-lalang karena ada keperluan belanja ke toko, pergi ke sekolah, atau mau pipis. Kadang ia menemukan mobil polisi yang buru-buru karena "kejar penjahat" atau ambulans yang "anter orang sakit." Suatu saat dunianya akan meluas dan tidak melulu lekat pada ibunya hingga akulah barangkali yang akan merindukan masa-masa kecilnya.

Tetapi sampai waktunya tiba, biarlah kujaga celoteh-celotehnya yang murni. Emosinya yang sedang berkembang dari tawa melihat domba bergoyang atau sedih saat kucing di hukum di luar rumah oleh pemiliknya. Menutup semua layar pada akhir pekan dan menghabiskan waktu menatapi tingkah polahnya yang menggelikan.

"Besok pagi Ide sekolah, Ibuk ke kantor. Ide tidak usah menangis, ada teman-teman dan Sus Marni dan Miss Ia," ia berkata sambil menatap padaku, mengacungkan jari telunjuknya yang beruas-ruas gendut.

"Iyaa... Ide pinter. Ibu ke kantor dulu cari uang ya."

"Buat beli mainan!" Matanya menyala, melempar cengir yang iseng.

Ya, Ide. Beli mainan, membuatkan rumah, mempersiapkan sekolah, dan segala hal yang mudah-mudahan bisa digunakan sebagai dasar berpijak ke setapak mana pun yang ingin kau tuju. Melangkahlah dekat atau jauh, tetapi hikmat dan bahagia. Hikmat akan melahirkan syukur. Bahagia akan membuat hidupmu penuh.

Ide sudah tampak memiliki karakternya sendiri: sikap-sikap yang padat, dengan ide-ide.



Comments

Popular Posts