Mereka Yang Tak Akan Mati

Hari ini, lagi-lagi, gue nggak masuk akibat sakit gigi kronis.

Sumpah, baru kali ini, untuk pertama kalinya gue menemukan satu keuntungan menjadi anak kecil: kalau sakit gigi, nggak terlalu kerasa, paling-paling pipinya yang bengkak. Kalau udah segede gue? Ya Alloooh sakitnya ampunampunan, gue bisa merasakan cenut-cenutnya seirama sama denyut nadi gue, -Nyuuut....nyuuuut....nyuuuuuut-

Dan satu hal yang paling gue benci sama sakit gigi adalah setelah beberapa saat ber-cenut-cenut dengan intensitas nyeri sedang, si sel saraf di akar gigi bakal tancap gas dan bereaksi -NYUUUUT- yang bisa bikin mata gue berair.

Alhamdulillah, sebenarnya gue orangnya nggak penyakitan. Sakit perut, bisa dilupakan sesaat. Kedinginan, bisa dibungkus selimut. Sakit kepala, tinggal merem juga ntar tidur sendiri. Demam? Ibu yang panik, guenya sih molor hehehe *jangan ditiru, bahaya, demam sebaiknya tidak disepelekan* Tapi kalo SAKIT GIGI?

Gue harus terus-terusan bergerak dan melakukan sesuatu yang meriangkan hati, apakek--latihan gitar, baca buku bagus, nonton film seru, dan sebagainya meskipun ujung-ujungnya, gue bakal meraung-raung juga. SAKIIT!

Ah, anyway, rasa sakit gigi membuat gue teringat, entah kenapa, sama kematian. *nggak, sakit gigi nggak bikin mati kecuali ada kejadian yang membuat gigi lo tercabut dan lo berdarah berember-ember. Pingsan sih, separah-parahnya, kalau syaraf giginya bikin syaraf pusat kaget saking sakitnya*
Orang bilang, terutama dalam kepercayaan Islam, kematian akan datang dengan menyenangkan kalau amal perbuatan kita baik, dan akan sangat menyengsarakan kalau sebaliknya. Tapi berhubung gue belum pernah bertanya kepada mereka yang sudah mati bagaimana rasanya kematian *serem amat sih lo Prit?* kadang gue menerka, apa rasanya sakaratul maut?

Sengilu sakit gigikah, atau lebih parah lagi? Tergantung sih, bagaimana wafatnya. Ehmm...sepertinya perumpamaan tentang cara wafat dan apa yang dirasakan nggak perlu ditulis yah, for it may hurts somebody and also it's a bit creepy, hhee

Tapi ngomong-ngomong soal kematian, seseorang yang akan meninggal biasanya, entah dia sadar atau tidak, seperti mengerti soal detik-detik terakhir yang ia punya di dunia dan melakukan sesuatu yang sedikit mengherankan untuk orang-orang di sekitarnya.

Tiba-tiba mengucapkan selamat tinggal seakan mau pergi jauh tanpa kembali, tiba-tiba mengungkapkan apa yang selama ini malas dia bahas meski dipancing, tiba-tiba melakukan sesuatu yang tak pernah dilakukan hanya untuk menyenangkan seseorang.

Kebetulan, saat sedang memikirkan ini, gue melihat Intisari edisi Juli 2005 yang mengulas sajian khusus tentang film 'Soe Hok Gie.' Tertarik, sedikit lebih kepada kegantengan Nicholas sebenarnya daripada ulasan tentang filmnya, gue mengambil Intisari itu dan membacanya.

Secara pribadi, gue kagum pada sosok Soe Hok Gie. Semata-mata karena dia adalah seorang pemuda yang cerdas, kritis, teguh pendirian, peduli pada kaum lemah dan berani untuk jadi berbeda. Apalagi di jamannya, tahun 1965-an, yang notabene penuh intrik berbahaya, terutama untuk masyarakat Tionghoa seperti Gie.
Gue nggak akan berkomentar soal bagaimana dia menyikapi sistem politik saat itu--karena gue nggak paham dan nggak juga suka politik. Tapi Gie, di tengah banyak orang yang mengecam, mempertanyakan, menyuruhnya berhenti, dan mengatainya buang-buang tenaga, tetap maju, memperjuangkan apa yang dia anggap benar, dengan alasan logis tentunya. Dia sadar dan mengerti kenapa dia memilih jalan hidup seperti itu, bukan sekadar ikut-ikutan atau kurang kerjaan, dan dia konsisten dengan itu.

Itu, yang bikin gue salut. Kalau ada cowok seperti dia (lebih bagus lagi kalau tampangnya selevel cakepnya sama Nicholas, hohoho), gue bakal naksiiir banget dan rela ngejar-ngejar *tentunya dengan cara elegan...*

Sayangnya, orang-orang seperti dia umumnya lebih gampang punya musuh daripada teman, apalagi kekasih. Walaupun sebenarnya ada, juga bukan teman yang akan muncul dihadapannya dan terang-terangan akan membela kalau ada apa-apa. Logikanya, jalan yang ditempuh Gie berbahaya dan keselamatan diri sendiri jelas lebih penting. Mereka yang sayang pada Gie serupa bisikan batin yang tersenyum atau menangis diam-diam untuknya.

Sayangnya lagi, teman-teman, si pemuda tangguh yang kesepian ini harus wafat muda. Dia meninggal setelah menghirup gas beracun waktu turun dari gunung Semeru. Dalam catatan harian singkatnya, Senin, 8 Desember 1969, ia menulis sepenggal kalimat terakhir,

'Saya selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru.'

Tentu saja kita tidak tahu apa maksudnya dengan 'ngobrol-ngobrol pamit' itu, tapi memang setelahnya, dia tidak pernah kembali. Tapi ada sepucuk surat terakhir buat kekasih dan para sahabatnya yang--kalau dalam filmnya--dia tulis saat ada di puncak gunung.


'Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah.
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza.
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu Sayangku.
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu.
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mendala Wangi.

Ada serdadu-serdadu Amerika mati kena bom di danang.
Ada bayi-bayi mati lapar di Biafra.
Tapi aku ingin mati di sisimu Sayangku.
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya, tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu.

Mari sini, Sayangku.
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku.
Tegaklah ke langit atau awan mendung.
Kita tak pernah menanamkan apa-apa.
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa.'


Oooh, so sad :')

Satu hal yang sedikit terlambat untuk Gie tahu adalah, ternyata, begitu banyak orang yang sebenarnya bersimpati dan menyimpan suka atau duka untuknya. Mereka hanya tak bisa bicara karena mungkin takut celaka. Dari mulai Kepala RT di lereng Semeru, pembuat peti mati, sampai pilot yang mengantarkan jenazahnya pulang. Lalu perlahan mengalir ungkapan haru dan duka cita setelahnya, yang tidak disangka-sangka.

See? Orang-orang seperti Gie, sejatinya, tidak akan pernah sendirian. Sekeras apapun hidup, dunia tetap punya tempat untuk orang-orang seperti dia: dalam hati orang-orang yang ia pedulikan dan perjuangkan. Nggak lantas dibuang.

Orang-orang seperti Gie, patut untuk dicontoh. Bukan berarti kita harus menempuh jalan yang sama dengannya. Tapi jadilah diri kalian sendiri, dan konsisten dengan itu, pastinya dalam konteks yang berguna buat sesama, bukan seenak jidat.

Jadi jika satu saat kematian datang, setidaknya kita bisa meninggalkan kenangan manis, dalam hati orang-orang yang sayang sama kita. *eh, eh, gue nggak mau ngajakin kalian mati muda lho ya. Masa muda itu indah, sayang dong kalau lewat gitu aja, ya kan?*

Jadilah Mereka Yang Tak Pernah Mati.
Karena buah pikiran seseorang tak akan bisa mati.


'...hidup adalah soal keberanian,
menghadapi yang tanda tanya,
tanpa kita mengerti,
tanpa kita bisa menawar.
Terima dan hadapilah.'

(Soe Hok Gie, 19 Juli 1966)

Comments

Popular Posts