Setahun Bertaut

Siapa kamu?
Di mana aku?

Begitulah bayiku menatap pertama kali: dengan pertanyaan-pertanyaan yang yakin. Rautnya halus, tubuhnya mungil, namun sorotnya amat berdaya. Kami menamainya: Ide. Dan baru-baru ini, usianya beranjak setahun. 

Hingga malam ini aku masih kerap termenung di sisinya selagi ia tertidur. Mematut satu demi satu pikiran dan rasa yang julainya telah tumbuh berbelit-belit. Tarik-menarik antara yang ingin rebah dan yang tak mau surut. 

Orang bilang, melahirkan anak membuat wanita terlahir baru. Itu betul: kehadiran anak adalah perubahan permanen yang tak bisa diretur. Kita dihadapkan pada kenyataan yang baru kita ketahui tentang diri sendiri, juga tentang semua yang lain. Aku sendiri telah punya firasat bahwa beginilah aku akan menjadi, ketika menjadi seorang ibu. Sebab aku bisa memprediksikan aku, tapi tidak untuk yang lain. Ide, apalagi--sejak dilahirkan kelihatannya dia sudah berusaha keras memperingatkanku bahwa ia tidak perlu diprediksi. Dari estimasi proses kelahiran 12 jam, ia bersikukuh dilahirkan dalam 3,5 jam sampai dokter pun dipaksanya tergopoh-gopoh.

Kurasa aku bukanlah seorang taat namun Tuhan selalu baik: diberi-Nya kami selalu tepat ketika kami membutuhkannya. Menatap anakku, aku hanya bisa bersyukur, sekaligus berdoa dalam-dalam. Sebab tahun-tahun hidup ternyata telah panjang aku lewati dan baru kusadari kini betapa rapuhnya kehidupan itu. Meski orang berkata bahwa di dunia tak ada yang tak mungkin, harus kukatakan juga bahwa ada banyak hal di dunia yang tidak akan mungkin. Kita, mungkin, hanya tak sampai hati atau terlalu malu untuk mengakui kebenarannya. 

Maka kupikir hidup adalah soal bagaimana bisa bekerja dengan hal-hal yang masih mungkin, untuk mencapai potensi-potensi dalam jarak sekemungkinan. Di luar jarak itu, potensi bisa dicapai dengan lebih banyak kehilangan: sebab energi adalah kekal dan tak dapat diciptakan. Karena soal berikutnya adalah apa-apa saja yang rela untuk kita hilangkan, dan bagaimana selanjutnya hidup dengan kehilangan-kehilangan itu. Tetapi anehnya hidup pun memiliki misterinya sendiri: justru pada saat kehilangan dihadapi dengan perasaan rela, saat itulah apa yang kita miliki akan bertambah. Sebaliknya dengan memberikan apa yang bukan milik kita, kita justru akan semakin kehilangan....

...begitulah aku merenung di sisi anakku malam ini. Merunut parasnya hati-hati, bagaimana ia bisa tumbuh besar?

Hingga malam ini, apa yang hilang dariku hanyalah waktu. Itu memang bukan milikku. Tiada siapa pun memiliki waktu; kita hanya dapat menggunakannya dengan pilihan-pilihan. Kesedihanku adalah seberapa pun aku berikan, rasanya akan tetap kurang...ia akan bergulir tanpa ampun seperti hidup terus berjalan. Tidak juga dapat ditambah-tambah sebab apa yang kali ini bertambah besok tentu akan berkurang. 

Aku sudah lama tahu bahwa menjadi ibu adalah mematut senyum dalam diam seumur hidup. Kepada yang lain aku dapat merespon seketika tapi tidak untuk anakku; dalam setiap aksinya aku dipaksa menunggu sambil berpikir: apa yang ia pikirkan? Apa yang ia katakan? Kemudian lama-kelamaan begitulah pula aku bersikap kepada yang lain, persis seperti Ayahku. Kupikir setiap yang bijak batinnya akan tersiksa: tahu ke mana larinya, tapi terlatih untuk menanti. 

Aku pun banyak diam sebab kini lebih-lebih semua laku akan bertaut bukan hanya denganku. Aku bukan lagi sekedar sebab melainkan juga akibat. Bukan sekedar citra melainkan juga mirat. 

Tetapi akan kukatakan pada anakku besok: pilihlah apa yang menurutmu mungkin, dalam kemungkinan-kemungkinanmu. Tidak perlu menjadi siapa-siapa kecuali dirimu. Tidak perlu juga membayar yang sudah lewat, sebab itu hanyalah waktu. Tidak juga perlu bertanya apa yang ibu ingin, sebab telah kuselesaikan keinginan-keinginanku.

Sekali lagi aku termenung: apalah mengandung, melahirkan, dan segala-gala yang terkait dengan keibuan? Semoga lama hidupmu di sini, Nak. Melihatku, berjuang sampai akhir.

Setahun bertaut.






Comments

Popular Posts