Teruntuk

Sore ini, lagi-lagi kau mengisi harimu dalam kesendirian.
Seharusnya terik matahari sudah mulai menghilang, tapi di musim yang serba tak jelas ini, yang bisa kau rasakan hanya gerah berkepanjangan dari hari ke hari, dan kau pun duduk terdiam, melepas kerudung putihmu dan menumpukan wajah di kedua lenganmu.
Satu lagi kisah yang terputus.

Beberapa jam yang lalu, tadi pagi tepatnya, kau putuskan dia oleh—lagi-lagi—sebuah pertengkaran sepele.

Bermula dari sepatah ucapan selamat ulang tahun yang kau sampaikan untuknya via telepon, sengaja kau hubungi ia secepat kau bisa mengingat kalian terpisah jarak begitu jauh. Berkali-kali kau coba menghubunginya, dan setelah beberapa saat, teleponmu pun diangkat.
“...halo?”
“...sayang, selamat ulang tahun ya. Semoga kamu panjang umur, selalu sehat, dan lancar kuliah. Aku nggak sabar deh, pengin ketemu, soalnya...” lalu tanpa terasa kau mulai bicara, bercerita, dengan rindu dan kegembiraan yang meluap-luap. Sayangnya, cuma kau yang merasa begitu.

“...aduuuh, ya ampuuun, jadi kamu telepon cuma buat ngomong begitu?! Nggak penting banget, tau nggak?! Aku kan lagi sibuk kuliah!!”
“...” selama beberapa saat, kau terpana dalam diam.
“...sori, tapi, aku kan cuma—”
“...lain kali nggak usah pakai telepon-telepon segala deh, kalau cuma mau ngomongin beginian! Nggak penting!!”
Dibentak-bentak begitu, kekesalanmu pun memuncak.
“...apa-apaan sih?! Kalau nggak suka ya udah, tapi sopan sedikit dong jadi orang!! Kurang ajar banget, maksudku kan baik!! Ya udah, kalau kamu nggak suka, putus aja sekalian!!”

-TUT-

Dan begitulah, kisah indahmu pun berakhir, untuk kesekian kalinya, menggenapi kisah-kisah lainnya hingga jumlahnya kini genap sepuluh.
“...sepuluh. Setidaknya, itu angka yang bagus. Toh, gue masih bisa cuci mata sama beruang teddy gue...”

Kau pun tersenyum-senyum sendiri di muka cermin, dengan senyuman yang aku percaya, akan dapat membuat para sahabatmu mengulang kembali kata-kata yang sudah sering mereka lontarkan.

“...masya Allah, Nadine...perlu berapa kali lagi sih gue bilang?? Lo dan si beruang teddy itu mustahil banget buat jadian!”
“Termustahil abad ini.”
“Gue setuju.”
Kau bakal memasang wajah merajuk mendengar mereka, tapi tetap saja kau akan tersenyum-senyum, membuat mereka makin habis akal. Bukan karena rasa sukamu pada sosok beruang teddy yang menggemaskan, tapi karena seorang laki-laki lain yang kau beri kode bernama sama dengan boneka kesukaanmu itu, yang suatu hari mampir ke hatimu dan kau tidak mau melepaskannya.
“...aah, tapi dia itu lucuu banget, gemesin, pengin gue cubit-cubit...”
“Gue heran deh, lo kok suka banget sih sama cowok-cowok tua menjelang om-om gitu? Apa bagusnya sih?” tukas Indah.
“Enak aja om-om! Ya gue suka aja...mereka bisa jadi sosok yang dewasa dan ngerti sama gue...,” kilahmu.
“Tapii teteup aja om-om!”
“Eh Nad, kalau soal dewasa dan pengertian sih, cowok yang rada-rada seumuran kita juga banyak! Nggak usah pakai ngincer dia laah,” timpal Nasta.
“Bener, tuh, Nad...si Nasta, buktinya, pacaran sama cowok sekelasnya dan sampai hari gini dia masih bertahan. Orangnya dewasa juga tuh. Pengertian juga tuh,” ujar Indi.

“Tapi gue nggak suka sama cowok-cowok kacangan begitu...”
“Idih, kacangan! Eh, si beruang teddy tuh istilahnya udah kematengan buat lo!” tukas Indi lagi.
“Lagian, lo nggak takut bakal diremehkan atau apa? Mereka kan lebih tua..,” timpal Indah.
“Mmm, lima dari sembilan mantan gue lebih tua lima sampai tujuh tahun kok...gue safe-safe aja, tergantung kitanya juga kali...”
“Lah, orang si beruang teddy beda 13 tahun sama—oh my God SEMBILAN??”
“Gue satu aja nggak punya...” sahut Indah.
“Nad, yang namanya pacaran tuh, nggak bisa main suruh si dia harus ngerti kita dan sebagainya gitu. Kalian harus sama-sama belajar, pengertian kan nggak tiba-tiba muncul dari sononya. Itu cuma lo yang bisa nyiptain,” ujar Nasta panjang lebar.

“Pokoknya pacar gue minimal harus tujuh tahun lebih tua lah....”

Ketiga sahabatmu pun terdiam, setengah ternganga.
“Ya udah sih...”
“Terserahlah, gue ngantuk nih.”
“Yaa, paling ntar kalau ada apa-apa, dia ngeluh lagi sama kita.”

Sejujurnya, kau benar-benar tak mengerti mengapa sahabat-sahabatmu tersayang menentang perasaanmu habis-habisan. Selama ini, hanya itulah yang kau tahu, dan dialah yang kau suka, lalu apa yang salah?

Kupikir, mungkin juga bukan kau yang sepenuhnya salah. Sejak kecil, kau begitu manja, dan tak ada seorang pun yang dapat cukup memanjakanmu di rumah, karena itulah, ketika kau cukup besar untuk tahu ‘cinta antar-lawan jenis’, kau bertemu dengan seorang mahasiswa—saat itu kau baru duduk di kelas dua SMP—dan darinya, kau mengenal dan merasakan banyak hal. Cinta tidak kenal usia, dan sikapnya yang bersahabat membuatmu tidak merasakan betapa usia kalian berbeda jauh. Sampai suatu hari, ia memberikan sebuah kabar padamu, yang tidak kau tangisi karena gengsi, tapi sebenarnya sangat kau sesali: dia akan segera menikah.

Dan begitulah kisah pertamamu berakhir; karena dia yang kau sayangi meninggalkanmu yang belum benar-benar beranjak dari masa kanak-kanakmu untuk menikah dengan orang lain.Kau amat terpukul, tapi niatmu tak pernah surut. Kau terus mencari, berkenalan dengan sejumlah mahasiswa atau anak-anak SMA lainnya, berharap, akan ada seseorang yang bisa menggantikan tempatnya di hatimu, menyembuhkan lukamu, tanpa pernah kau sadari, bahwa Tuhan tak pernah membuat kopian dari seseorang yang sama persis.

Sampai ketika kau duduk di bangku SMA, kau temukan sosok beruang teddy-mu yang lucu dan menggemaskan ini. Sikapnya lugas, tegas, cerdas, perhatian, mencerminkan seribu satu macam hal yang kau inginkan dari seorang pacar. Lalu kau pun mulai menaruh hati padanya. Tanpa pernah mengerti, mengapa sahabat-sahabatmu tersayang begitu menentang perasaanmu padanya.

“...Ndi, gue putus.”
“Demi apa?! Kapan??”
“Minggu lalu.”
“Kok bisa?”

Tanpa bosan, kau menceritakan segalanya.

“Yah, Nad, gue turut prihatin deh...tapi gue kan udah bilang...”
“Ah, gue nggak sedih kok. Emang dasar dia-nya aja yang kurang ajar. Lagian, kan, masih ada beruang teddy gue...”
“NADIIINEE! Kok dia lagi-dia lagi siih??”
“Dia tuh lucu banget, Ndii—”
“Oke, oke, cukup, cukup—gue udah bosen dengerinnya.”
“Yaah, gue masih bisa cari cowok lain...”
“Nah, ITU tuh. Banyak cowok lain, sayangku...”
“Tapi dia tetap lucu buat gue.”
“Haah. Terserah deh Naad.”

Tapi, kalaupun aku adalah salah satu dari mereka, aku pun akan memikirkan hal yang sama. Bagaimana mungkin aku akan turut bergembira bersamamu, terkikik saat kau membicarakan tentangnya dan menawarkan diri jadi sukarelawan yang mengumpulkan info-info terbaru tentangnya layaknya wartawan infotainment, jika setiap kali kau ceritakan tentangnya, ia akan datang, masuk ke kelas, dan berkata,
“...selamat siang semua.”
Yang mana harus kujawab dengan,
“...siang Paak.”

Dia adalah seorang guru, dan kau adalah murid. Seberapapun cintanya kau padanya, aku tidak berhak untuk melarang, tapi sebagaimana sahabat-sahabatmu, aku tidak ingin melihat kau kecewa.Namun, aku telah melihatnya, lagi, sore ini.
Ketiga sahabatmu duduk mengelilingimu, saling melempar pandang dan giliran untuk bicara. Tak satupun dari mereka berminat memulai. Namun akhirnya Indi angkat bicara.

“Nad...”
“Ya?”
Indi menelan ludah, dan Indah meneruskan, “...si teddy...mau nikah. Dua hari lagi.”
“...ooh.”
Pelan, perlahan, senatural mungkin kau coba ucapkan itu, dan menelan pahit yang kau rasa bulat-bulat. Glek. Kau isi rongga mulutmu dengan seteguk teh botol yang manis, dan kau menyahut,
“...iya, gue udah tau kok.”
Ketiga sahabatmu berpandangan.
“Benar, nih?” Nasta mencoba mengonfirmasi.
Kau mengangguk. “Iya lah. Apa sih yang nggak gue tau tentang dia...”
“Baguslah, kalau gitu,” sahut Indi kemudian.

Dan siang itu pun berlalu begitu saja.
Hingga sore ini. Yang lagi-lagi, kau lewatkan dalam kesendirian. Kisah kesepuluhmu baru saja berakhir, dan beruang teddy yang kau puja akan segera menikah. Meninggalkan. Meski sebenarnya, kasusnya tak sama dengan yang dulu karena sang guru tak tahu apa-apa.

Barangkali kau yang salah mengartikan arti senyum manisnya yang sebenarnya tak berbeda makna untuk semua murid beliau. Barangkali ia yang memendam perasaan terhadapmu karena tahu ia tak akan bisa menunggumu untuk jadi cukup dewasa baginya. Tak ada yang tahu. Aku sendiri juga tak tahu.
Atau, barangkali kau sendiri heran mengapa aku bisa begitu banyak tahu tentang dirimu?
Untuk yang satu ini, cukup aku sendiri yang mengerti.Bukan aku ingin berahasia; aku cuma tak mau melihatmu kecewa, lagi.
Satu hal yang aku ingin kau tahu: cinta itu tidak dangkal, sayang. Dia bisa hadir di mana saja, kapan saja, oleh dan untuk siapa saja. Kau tidak pernah sendiri. Kau tak pernah tidak disayangi. Dan kau tak akan pernah tahu siapa aku sebenarnya. Mungkin, hanya orang iseng yang kebetulan lewat sebagai pengamat. Atau, pengagum rahasia yang betulan setia memandangimu setiap hari, mencari tahu, ikut resah jika kau sedih tapi gelisah saat kau tersenyum, tanpa sepengetahuanmu, tentu saja. Terserah, mau percaya mau tidak. Tapi aku mau kau percaya ini: bahwa aku memang ada. Dan akan ada untukmu saat waktunya tiba.

Teruntukmu,
Dariku,
yang selalu menyayangimu

Comments

Popular Posts