Keluarga dan Emansipasi

Emansipasi. Emansipasi.


Kata itu sudah tidak asing tentunya bagi masyarakat kita sekarang, sejak RA Kartini memelopori persamaan hak antara anak perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan bersekolah yang sama. Ide RA Kartini mungkin berkembang bersamaan dengan ide persamaan hak wanita di belahan-belahan bumi lain pada abad ke-17, yang beliau ketahui dari sahabat-sahabat penanya di Belanda, sebab RA Kartini, sebagai keturunan bangsawan, memiliki kesempatan beroleh pendidikan lebih tinggi dari rata-rata wanita di zamannya.


Persamaan hak itu sendiri kemudian meluas: dimulai dari kesempatan memperoleh pendidikan, bekerja, berpolitik dan berorganisasi, melepaskan diri dari perjodohan dan poligami, hingga mendapat kepercayaan setara dengan laki-laki dalam bisnis. Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa kaum wanita selalu mencoba menunjukkan bahwa perbedaan gender hanyalah sebatas kemasan, dan kapabilitas kaum wanita, meski kecenderungan kinerja otaknya berbeda dengan laki-laki, tidak bisa serta-merta dinilai dari kewanitaan itu sendiri.


Sampai hari ini, perdebatan panjang antara kaum feminis dan non-feminis masih terjadi. Saya sendiri melihatnya sebagai perbedaan pemahaman yang biasa. Bahkan di dalam kaum feminis sendiri terdapat perbedaan pendapat. Saya sering mendengar keluhan klise, "Kaum perempuan itu, masalah gaji minta disamakan, tapi inginnya punya lebih banyak jatah cuti karena setiap bulan menstruasi," atau, "Dasar laki-laki, mentang-mentang saya perempuan kemudian saya tidak boleh mendapat kesempatan naik gaji lebih banyak, padahal saya sudah tidak bersuami." 


Pada kasus-kasus semacam tadi, saya pikir ini bukan lagi masalah mengenai perempuan dan laki-laki, feminis dan non-feminis. Apabila seseorang dapat berpikir jernih, tentang masalah gaji, misalnya, tak peduli laki-laki atau perempuan, pastinya akan diukur dari tingkat produktivitas dan kapabilitas, toh? Dua orang berbeda gender dengan jabatan yang sama, tapi yang satu memiliki attitude, performa, dan hasil pekerjaan yang lebih baik, tentunya dia mendapat lebih banyak bonus ketimbang rekannya, dong? Kecuali...bila atasan atau perusahaan itu tidak menerapkan sistem penggajian yang fair, itu beda cerita.


Ada juga yang berpendapat bahwa sistem sosial budayalah, termasuk konsep keagamaan, yang menyebabkan wanita sulit mendapatkan hak-hak yang sama. Saya, sebagai penganut agama Islam, juga sudah sering mendengar keluhan dari teman seagama maupun pertanyaan dari yang tidak seagama sebagai berikut:


"Saya memang tidak pakai jilbab, tapi apa berarti jika saya diperkosa maka seluruh kesalahan pelaku dapat dibebankan ke saya dengan dalih cara saya berbusanalah yang telah menggoda si pemerkosa?"


"Saya sebenarnya risih akan poligami, tapi apa boleh buat, menurut Islam, istri yang taat harus rela bila suami memang perlu melakukan poligami..."


"Kenapa dalam pembagian hak waris secara Islam, anak perempuan mendapat bagian yang lebih sedikit?"

..dan sebagainya, dan sebagainya.


Saya, umumnya, cuma ber-hmmm panjang sebelum menjawab. Ini dia, pikir saya. Saya bukan oposisi siapa-siapa. Saya yakini apa yang saya anut dengan gamblang, penuh kecintaan. Tapi saya gerah sekali melihat orang-orang yang menggunakan dasar agama ini bagi kepentingannya sendiri. Seperti juga kasus-kasus di atas, yang saya kira bukan masalah ketaatan, bukan juga masalah ketidaksetaraan hak-hak wanita, namun murni tentang pemahaman dan kejujuran individu terhadap kebenaran. RA Kartini memiliki pendapat pribadinya tentang hal ini, "...religion must guard us against committing sins, but more often, sins are committed in the name of religion." (RA Kartini, awal abad ke-20).


Tapi betapapun juga, saya pikir kesadaran akan kesetaraan gender, lagi-lagi, dilahirkan dari lingkup terkecil kehidupan sosial manusia: keluarga. Saya merasa beruntung dibesarkan dalam keluarga dengan pemikiran terbuka, di mana ide-ide bebas untuk dikemukakan dan didiskusikan. Di dalam keluarga kami, segala nilai selain yang prinsipil dipandang baik, asal sesuai dengan kebutuhan. Sebab segala aturan dimaksudkan untuk membuat hidup kita lebih teratur, bukan untuk menyusahkan, demikian kata Bapak.

Oleh karena itu, kesetaraan gender adalah hal yang natural dalam keluarga kami. Anak laki-laki maupun perempuan, semua berhak mendapatkan pendidikan dan kualitas perhatian yang setimbang. Semua diberikan pengertian bahwa setiap orang perlu bekerja keras untuk mewujudkan kehidupan yang diinginkan. Tidak ada istilah anak laki-laki adalah harapan keluarga sementara anak perempuan cukup dinikahkan agar segera beres. Sebab tanggung jawab perempuan dan lelaki dalam keluarga pun sejatinya sama besarnya; hanya bentuknya saja yang berbeda.

Dengan demikian, setiap anak pun belajar menghormati kesetaraan tersebut ketika bersinggungan dengan masyarakat. Yang lelaki, menghargai perempuan. Yang perempuan, tidak manja dan dapat membela diri dari lelaki.

Betapa indahnya, bukan, jika setiap individu di sekeliling kita dapat berlaku seperti itu?

Angka kriminalitas berkurang, moralitas meningkat, konflik masyarakat menyurut, anak-anak bangsa tumbuh optimal dari generasi ke generasi.

Ketika laki-laki dan perempuan telah memahami porsi dan peran masing-masing dalam lingkaran eksistensi mereka, di situlah emansipasi terjadi. Tanpa perlu demo dan anarki. Tanpa perlu basa-basi.



Comments

Popular Posts