Sebuah Keinginan

Suatu hari, kami berjalan di trotoar kota setelah mengunjungi makam seorang rekan yang telah lama mati. Matahari terik menyengat. Kami berjalan santai sambil memperhatikan manusia berlalu-lalang, sesekali saling menatap. Saya tahu dia memikirkan apa yang saya pikirkan.
Sejak kecil, saya telah yakin bahwa diri ini suatu saat akan menikah. Punya anak, menjadi tua, lalu mati. Apa yang manusia harapkan dari dirinya? Makhluk sombong yang hadir tanpa membawa apapun dan musnah tanpa memiliki apapun, tetapi ia selalu merasa tidak puas atas segala hal yang sebenarnya tidak akan pernah ia miliki. Untuk apa sebenarnya semua kepuasan itu?
Saya pikir saya jarang sekali membicarakan soal pernikahan (ah, saya bahkan jarang bicara mengenai apapun. Manusia suka didengarkan dan bukan sebaliknya; hanya dengan demikian mereka akan berpikir bahwa seseorang adalah bagian dari dirinya). Namun sejak dulu saya menginginkan sebuah pernikahan. Saya akan bertanya pada setiap laki-laki yang memacari saya: bisakah kamu membayangkan kita menikah? Apa yang akan kita lakukan? Pada umumnya, dia jadi salah tingkah. Berikutnya, sikapnya menjadi dingin. Laki-laki sungguh aneh; ketika perempuan menjadi terlalu bergantung mereka merasa terkekang, namun ketika tanggung jawabnya ingin dibagi mereka tidak pernah merasa siap. Ketika dia menyatakan, ah, masih terlalu dini bagi kita untuk membicarakan soal itu! Detik itu pula saya tahu bahwa saya takkan menikah dengannya.
Pernikahan bagi saya sama sekali bukan sebuah hal indah penuh bunga-bunga cinta. Hal seperti itu hanya ada di dalam film, dalam novel, dalam akun instagram milik seseorang yang tampak bahagia dan dicemburui banyak orang. Tidak ada seorang manusia pun yang mampu mengetahui apa yang dirasakan sepasang suami-istri dalam kehidupan pernikahannya. Itulah sebabnya kita memiliki pihak ketiga yang biasa memediasi konflik pernikahan dalam rambu-rambu yang dianggap ‘benar’ secara umum. Begitu rumitnya perasaan manusia sehingga berkomunikasi berdua pun bisa jadi gagal membuat kedua pihak saling memahami.
Saya tidak tahu apa yang membuat lelaki-lelaki yang pernah jadi pacar saya pucat saat saya bertanya tentang pernikahan. Apa yang mereka pikirkan? Mencari nafkah? Bercinta? Berurusan dengan mertua? Namun sudah jelas bahwa lelaki ini tidak mengerti arah pembicaraan saya.
Bagi saya, menikah berarti memiliki seseorang yang rela menghabiskan hidupnya untuk berbagi segala hal secara eksklusif dengan saya. Tanpa bosan. Tanpa mengeluh. Memandang keegoisan manusia, mustahil akan ada seseorang yang sukarela menyerahkan diri terhadap eksploitasi seumur hidup kecuali ia benar-benar mencintai. Oh, dan tidak akan ada manusia yang bisa mencintai tanpa alasan atau latar belakang. Love doesn’t need any reason, but it has a reason. Kita hanya tidak bisa mengungkapkannya. Alasan untuk mencintai inilah yang sebenarnya menentukan seberapa lama cinta ini akan bertahan. Kalimat ‘aku sudah tidak mencintaimu lagi’ adalah tidak logis; seharusnya kita belajar untuk mengatakan, ‘aku sudah tidak punya alasan lagi untuk mencintaimu.’
 Sebagai orang yang selalu ingin tahu, saya mengamati setiap kehidupan pernikahan yang cukup dekat untuk diamati. Dimulai dari orangtua. Sanak saudara. Teman. Saya menyimpulkan bahwa di negara ini (maklum saya belum pernah pergi mengamati ke negara lain), adalah tidak umum jika pasutri memutuskan bentuk kehidupan pernikahan yang mereka inginkan secara mandiri. Terlalu banyak intervensi. Pandangan keluarga dan masyarakat disekitarnya menentukan standar bagaimana seseorang seharusnya menikah. Beberapa generasi yang lalu, menikah di KUA atau catatan sipil tanpa pesta, tanpa saksi lebih dari dua, dan tanpa menyebarkan undangan adalah hal yang biasa-biasa saja sebab semua orang sedang hidup susah. Berhubung saat ini kita menganggap kehidupan kita lebih makmur dibandingkan generasi pendahulu, mengadakan pernikahan yang ‘pantas’ adalah wajib (walaupun tentu saja kita akan menyangkal ‘ketentuan’ ini).
Etiket kepantasan tersebut seringkali membuat biaya pernikahan menjadi mahal, sehingga pasutri membutuhkan bantuan dana untuk menikah. Inilah, sepanjang pengamatan saya, sumber dari intervensi seumur hidup terhadap kehidupan pernikahan yang akan selalu jadi sumber kebingungan dari pasutri. Diintervensi itu tidak nyaman, tetapi bagaimana, kita kan sudah utang budi. Huft.
Di luar biaya pesta, kehidupan pernikahan saya tetap akan memerlukan banyak biaya karena kami perlu rumah. Hidup seatap dengan orangtua setelah menikah adalah mimpi buruk sebab di mana-mana, kepala keluarga jumlahnya satu, bukan dua. Ya, ini barangkali karena saya yang tidak bisa menempatkan diri, tetapi saya memang tidak bisa menjadi anak dari sepasang manusia sekaligus istri seorang lelaki dalam satu tempat. Terlalu banyak peran bersilangan. Terlalu banyak kepala. Terlalu sempit ruang untuk berkontemplasi.
Belum lagi memikirkan aktivitas bermanfaat dari pernikahan tersebut. Aside from our career, apakah kami ingin berbisnis? Melakukan bakti sosial? Menjadi peneliti? Guru? Seniman? Atau sekedar menikah saja? Apa yang akan kami lakukan ketika anak telah lahir? Bagaimana cara kami mendampingi anak ini dalam prosesnya menjadi manusia? Hal-hal esensial seringkali terlupakan akibat bungkus-bungkus tak penting yang manusia inginkan agar sesuatu tampak cantik.
Manusia konstan mengalami evolusi psikologis. Sewaktu lebih muda saya akan menangis jika pacar saya menyakiti hati, namun saat ini saya akan menjitak kepalanya jika ia keterlaluan. Saya telah sampai pada satu titik di mana, jika seorang laki-laki merendahkan saya, saya akan menendangnya keluar rumah. Jika ia tak kunjung mau menyelaraskan pandangannya terhadap pandangan saya yang ‘illogical’, saya akan memberikan pilihan: mau pergi, atau saya yang pergi? Saya mengerti harga diri pria terlalu tinggi untuk mengakui bahwa dia ‘memutuskan seorang wanita’ sebab ini akan membuatnya tampak jahat. Sebaliknya, saya tidak masalah dicap apa saja. Itu semua hanya bungkus.
Saya gelisah melihat betapa banyak wanita mendambakan sosok lelaki hingga bisa jadi terjebak bersama seseorang yang ternyata tidak memuaskan hatinya karena ‘dia adalah satu-satunya yang datang kepada saya. Bukankah ini namanya jodoh? Saya harus mencoba bertahan.’ Saya pikir Tuhan terlalu baik hati untuk memberikan pasangan yang tidak akan membahagiakan seorang wanita. Tetapi saya setuju bahwa pasangan ideal perlu ditemukan. Untuk menemukan sesuatu, seseorang harus mencari. Alternatif lainnya adalah membangun. Meminta pasangan ideal tanpa usaha untuk mencari sama dengan bertanya kepada ibu kita mengenai baju lama yang disimpan di lemari sebelum mencarinya terlebih dahulu. Kita akan ditimpuk.
Bagi saya, romantisme hanyalah fantasi. Entah romantismenya berupa setangkai mawar atau sebait ayat, tetap hanya fantasi.  Lamaran ideal bagi saya adalah pengakuan jujur dari sang lelaki mengenai kondisi dan visi hidupnya serta pernyataan jujur mengenai penilaiannya terhadap saya sebagai alasan mengapa ia ingin menikahi saya. Mengapa saya? Mengapa kamu? Apa istimewanya? Apa tujuan kamu? Seperti lamaran perusahaan? Ya, kehidupan pernikahan ini akan seperti sebuah perusahaan. Ada visi, misi, budaya kerja, kontrak, target jangka panjang dan pendek. Tetapi kita adalah manusia yang penuh dengan emosi, maka perjalanan ini tidak sesederhana sebuah karir. Selalu ada hal yang tak bisa dilihat mata.
Alasan dari ini semua hanyalah karena saya membutuhkan seseorang yang bisa diajak saling memahami. Saya paham betapa sulitnya bagi orang lain untuk memahami saya, sehingga tak patut bagi saya meminta pengertian dari setiap orang. Mungkin orang akan berkata mereka paham saya, menyebutkan nama, alamat, anggota keluarga, dan riwayat hidup lengkap saya sebagai bukti; namun tak ada seorang pun yang pernah menyebutkan mengapa saya menjadi saya. Mengapa saya tidak menjadi bukan saya. Mengapa saya memilih dan menolak sesuatu.  Tidak ada yang akan bertanya bahkan setelah kita menanyakannya lebih dulu. Hal-hal seperti ini tidak lagi penting sebab riwayat hidup sudah cukup bagi kita untuk merasa memahami seseorang.
Ketika berteman sudah cukup rumit, bercinta menjadi semakin rumit. Saya telah bertemu banyak lelaki dan tak satu pun dari mereka menarik. Terlalu hipokrit. Terlalu kaku. Terlalu berangan-angan. Terlalu besar kepala. Terlalu lepas tangan. Terlalu rendah diri. Terlalu mudah percaya. Siapa yang dapat memegang kendali tanpa meletakkan saya terlalu tinggi atau rendah?
Pacar saya saat ini telah menyatakan keinginannya untuk menikahi saya. Mengenai waktu pernikahannya, ia berkata: gajiku tidak besar, dan kita membutuhkan banyak biaya, tetapi jika kamu membantuku, kita bisa menikah lebih cepat. Kalimat ini membuat saya tertegun.
Sebagai lelaki, dia tidak menghindari tanggungjawab atau melepaskan sama sekali tanggungjawab tersebut dari wanita. Dia tidak mengatakan, ‘aku akan menikahimu X tahun lagi.’ Dia tidak mengatakan, ‘telah kusediakan segalanya bagimu, Adinda, karena aku begitu mencintaimu.’ Dia mengatakan bahwa jika saya menginginkan kami menikah cepat, maka sebaiknya saya membantu mengumpulkan uang, sebab pertanggungjawaban atas usaha pernikahan ini terletak pada dua manusia yang ingin menikah. Dia dapat saja memikul tanggungjawab penuh atas keinginan saya, namun hal tersebut menimbulkan konsekuensi pada kapan keinginan saya dapat tercapai. Saat itulah saya menyadari bahwa mungkin, semoga saja, saya telah menemukannya.

Kami meneruskan berjalan di bawah terik yang memanggang, sebab saat itu musim hujan belum tiba. Gedung-gedung menjulang di balik rumah-rumah papan. Pepohonan tumbuh diantara ilalang. Sungai mengalirkan airnya yang busuk. Tetapi hari masih panjang, sebagaimana perjalanan kami. Sebuah kesunyian yang bersimpuh anggun di antara keinginan dua manusia untuk berdamai dengan hidup.

Comments

Popular Posts