Kritik

Saya memiliki seorang teman yang tampak suka sekali ‘tampil di depan’. Dia seperti memiliki ambisi menjadi ‘yang terdepan dan yang berwenang’ dalam bidang apapun, kapan saja, di mana saja, melebihi siapapun yang pernah saya kenal. Tak lupa dia katakan setiap kali jabatannya diperkenalkan secara formal dalam forum-forum mahasiswa: “Bila ada kritik atau saran, jangan sungkan-sungkan untuk bicara pada saya, ya. Kritik dan saran kalian sangat berarti.”

Namun apa yang terjadi? Selama empat tahun kehidupan perkuliahan berjalan, tak jarang saya temui orang-orang mengeluh dibalik punggungnya: “Dia tuh, ya, kalau dikritik dengan halus, gak peka. Dikritik keras, malah berdalih. Kalau dibiarkan saja tanpa kritik, ternyata tidak akan ada perbaikan sama sekali. Gimana sih.”

Terus terang saja saya tertawa terbahak-bahak mendengarkan keluhan-keluhan ini karena saya menyadari banyak orang yang sependapat dengan saya. Menyenangkan rasanya ketika orang yang tidak kita sukai ternyata lebih tidak disukai oleh orang banyak dan diperbincangkan dengan hangat. Tetapi ini bukan perilaku terpuji, jadi sebaiknya tidak dilakukan. Cukup saya saja yang brengsek.

Mengherankan sebenarnya melihat manusia yang tidak pernah menulis satu artikel pun bisa menuliskan setumpuk argumen ketika ia dikritik. Alasannya bisa macam-macam: bahwa bukan dia yang salah, bahwa sistemnya memang seperti itu, bahwa itu bukan tanggung jawab dia, bahwa dia adalah orang tua yang kata-katanya selalu benar, bahwa si penyampai kritik bahasanya tidak sopan dan menyinggung perasaan, bahwa yang dia lakukan adalah perintah Tuhan sehingga mengritik perintah-Nya sama dengan mengritik Tuhan—namun pada akhirnya, orang-orang yang dikritik ini—kecuali customer service, public figure yang kebetulan diliput media, dan beberapa orang yang baik budi—hampir tidak pernah menerima kritik dengan senyuman, tanpa berdalih, dan berkata: “Baiklah, terima kasih atas kritiknya, maaf telah mengecewakan Anda, sekarang kami akan berusaha lebih baik lagi.”

Terlepas dari salah atau tidaknya kita, meminta maaf tampaknya belum menjadi kebiasaan yang populer, baik maaf basa-basi atau maaf sungguh-sungguh. Seseorang mungkin saja memiliki cukup budi untuk membiasakan diri minta maaf terlepas dari kekuasaan yang sedang dimilikinya, namun ketika kekuasaan telah terletak di sebuah institusi yang berkuasa atas sekelompok orang, barangkali meminta maaf atas nama institusi jadi semakin sulit. Negara, misalnya. Ini sepertinya karena saya masih muda dan bodoh, sehingga saya tidak pernah mendengar negara ini minta maaf atas apapun yang dikeluhkan oleh rakyatnya sepanjang hidup saya yang masih pendek ini.

“Saya, atas nama negara, meminta maaf terhadap Anda sekalian sebagai rakyat Indonesia atas kesulitan dan kekecewaan Anda terhadap peristiwa ini. Saya akan bertanggung jawab secara penuh memastikan agar negara menindaklanjuti kritik yang telah masuk hingga masalah ini tuntas.” (lalu, benar-benar menyelesaikan masalahnya, bukan menimpanya dengan peristiwa lain dengan harapan rakyat lupa)

Hmm...tidak pernah.

Ketika kita meminta maaf dan menerima kritik tanpa berdalih, diri kita dipaksa mengakui kenyataan: dibalik betapa hebatnya diri kita, betapa kerasnya kerja kita, kita tetap bisa salah. Kita salah. Bagi sebagian orang, menjadi salah adalah kenyataan yang amat tidak nyaman dan melukai harga diri habis-habisan.

Wong saya ini sudah sekolah jauh-jauh, ke luar negeri, jadi Profesor Doktor, riset dua puluh tahun, bikin tulisan setebal lemari, masak saya masih dibilang salah.

Wong saya ini orang tuamu, saya banting tulang ngasih kamu makan, membesarkan kamu, memberikan apapun yang kamu minta, masak saya masih dibilang salah.

Wong saya ini anakmu, apa yang kamu suruh saya kerjakan, saya rajin belajar, saya mencari uang buat bantu adik-adik sekolah, masak saya masih dibilang salah.

Wong saya ini shalat lima kali sehari ditambah tahajud, dhuha, saya berzikir, puasa sunah, hafal Al Quran, sering sedekah, sudah haji, masak saya masih dibilang salah.

Wong saya ini istrimu
Wong saya ini suamimu
Wong saya ini
Wong saya ini

Ra uwis-uwis.

Poinnya adalah: siapapun kita, apapun yang sudah kita lakukan, sekeras apapun juga, sesulit apapun juga, kita masih bisa salah. Saya yakin sekali manusia memiliki kemampuan untuk menyadari kesalahannya sendiri, namun biasanya kesadaran ini tidak menimbulkan suatu aksi sebelum kesalahan ini menjadi bencana.

Oops. Ternyata nyenggol mobil sebelah.

Eh...ternyata, saya salah baca...

Waduh, singanya lepas!

Damn it, kebakaran hutannya ternyata meluas! Ah, gak papa, nanti juga reda apinya. Eh...kok, asapnya tambah tebal ya? Eh....

Pret.

Jika kritik memiliki kegunaan, maka inilah salah satu manfaat sebuah kritik: memperingatkan manusia sebelum bencana benar-benar terjadi. Di lain pihak, ada banyak manusia yang tidak terganggu dengan kritik. Sebagian dari mereka benar-benar berterima kasih saat dikritik, dan bersungguh-sungguh dengan janjinya atas kritik tersebut. Sebagian lagi menganggap kritik hanyalah omong kosong dan ungkapan iri belaka, jadi tidak perlu dipikirkan. Keberagaman ini tentunya membuat hidup kita makin indah.
...

 Tapi tentu saja tidak ada yang bisa mengatakan benar salahnya sikap seseorang saat menanggapi kritik. Lagipula, saat mengatakan sesuatu adalah salah, manusia bisa memiliki bermacam-macam maksud. Bisa jadi ini salah karena saya tidak menyukainya. Bisa jadi ini salah karena saya lagi kepingin main salah-salahan, atau lari dari kesalahan saya. Sehingga kebenaran penafsiran atas maksud si pelontar kritik adalah sangat relatif dan bergantung kepada si penerima kritik itu sendiri. Pada situasi inilah, menjadi manusia yang tidak tahu apa-apa menjadi sangat menyenangkan, sehingga kebanyakan manusia memilih untuk pura-pura tidak tahu. Oooh...begitu ya. Habis perkara.

Saya sendiri pun sering sekali menerima kritik. Kadang saya tanggapi manis, kadang saya marah-marah. Tetapi jeleknya saya adalah, saya ini sangat, sangat pelupa. Ketika saya diberikan kritik yang membuat kesal, saya membatin, wahai orang yang menyebalkan, saya tidak akan pernah melupakan apa yang telah kamu lakukan kepada saya! Kelak ketika kita berjumpa lagi, ketika kamu sedang kehausan dan saya sedang berdiri di dekat sepanci air, akan saya siramkan airnya ke atas kepalamu! Jilat sana airnya dari kulitmu! (Lagi-lagi, perilaku ini buruk sekali, dan sebaiknya tidak ditiru jika Anda masih peduli terhadap kesehatan batin dan reputasi Anda. Kalau saya mah, apa, atuh)

Kenyataannya, setelah beberapa hari lewat, saya akan melupakan peristiwa tersebut sama sekali. Ketika orang menyebalkan ini ada di depan saya, sekuat tenaga mencoba ketus pun saya tidak bisa. Bahkan pangkal perseteruan yang lalu pun tidak bisa saya ingat. Kalau sudah begitu, boro-boro saya ingat kritik menyebalkan apa yang pernah diberikan pada saya, sehingga bisa saja saya melakukan hal yang sama—dan terlibat perseteruan serupa lagi. Payah.

Saya juga sering memberikan kritik. Ada yang halus sekali sampai-sampai kritik ini dianggap pujian. Tetapi bila saya sedang sebal maka saya akan memilih kata-kata paling tajam yang bisa saya berikan. Saya terutama sebal terhadap sebuah kepura-puraan. Pura-pura miskin, agar dibelikan sepatu mahal oleh pacar yang bapaknya kaya. Pura-pura tidak korupsi, tapi semua orang melihat bahwa dia melakukannya. Pura-pura bodoh, tapi lihai sekali mencontek dari hape. Seandainya mereka melakukan hal-hal tersebut dengan terus terang, saya tidak akan pernah melontarkan kritik karena mereka telah mengakuinya: bahwa minta sepatu mahal, korupsi, dan mencontek adalah gaya hidup mereka. Mereka tidak bisa hidup tanpa itu. Jika seperti itu keadaannya, ya sudah. Life is a choice...but you have to admit it.

Ya, rasanya berat. Ya, itu memalukan. Ya, semua orang akan mencemooh kita, menghukum kita, mengasingkan kita sampai tujuh turunan. Tetapi jika kita sudah tahu apa akibat yang akan kita tanggung dari melakukan sebuah kepura-puraan, seharusnya itu cukup untuk membuat kita berhenti berpura-pura. Berhenti korupsi. Berhenti mencontek.

Kritik yang menyakitkan tidak akan pernah timbul jika setiap orang mengakui kesalahannya sebelum orang lain menyadarinya, sebab musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Bukan orang lain. Bukan sistem yang salah. Bukan pertanggungjawaban yang salah. Yeah, Prit, it’s you. You!!

Salah seorang teman yang pernah saya kritik, langsung membagi tautan sebuah quote di akun sosmednya yang berbunyi:

Kelak kau akan mengerti, bahwa menahan diri untuk membuat seseorang tak tersinggung dengan lisanmu, lebih mulia daripada mengutarakan isi hati.

Sebagai manusia muda yang bodoh, apa yang bisa saya lakukan jika dunia memang berjalan dengan cara seperti ini? Setidaknya, ketika seseorang melontarkan kritik pada saya di kemudian hari, saya dapat membagikan tautan ini kepadanya. Bagus sekali.


Saatnya mengheningkan cipta.

Comments

Popular Posts