Jati Diri


Sudah berbulan-bulan saya tidak menulis. Agak lucu, karena dalam beberapa bulan belakangan orang-orang malah sedang rajin-rajinnya menulis. Banyak sekali isu yang sebenarnya menggelisahkan untuk dibahas, namun saya mendapati diri termenung di depan sekian banyak jendela browser yang memuat sekian banyak artikel dari berbagai penulis, lalu mengurungkan niat perlahan-lahan. Saya merasa mengamati pertarungan tidak berguna yang juga tidak memerlukan saya sebagai komentator, karena ketika saya tidak memiliki wewenang, berkomentar hanya akan memperburuk keadaan.Sejak menjadi mahasiswa, saya rasakan diri saya berubah. Teman-teman datang dan pergi, mengikuti berbagai macam perlombaan yang dirayakan kemenangannya dengan begitu meriah. OIM UI. Olimpiade UI. OSN Pertamina. Mapres.

Jika dilihat dari sejarahnya, saya adalah anak yang sejak sekolah dasar selalu ingin ikut kejuaraan atas dasar keingintahuan. Seharusnya sampai saat ini pun masih begitu. Namun sejak semester satu saya selalu duduk di pojok. Saya berusaha keras membangun ketertarikan diri untuk ikut mendaftar, namun pantat tetap bergeming. Saya seperti berkata kepada diri saya sendiri: ah, it’s just not my thing.

Begitulah saya habiskan kehidupan kuliah dengan aktivitas yang bukan kompetisi. Bahkan saya mulai tidak peduli dengan indeks prestasi. Dulu saya masih memikirkan, siapakah yang akan ranking 1, siapa yang punya ranking lebih tinggi dibandingkan saya, bagaimana caranya agar nilai saya baik—setelah menjadi mahasiswa, setiap soal ujian yang telah saya kerjakan saya kembalikan beserta jawaban kepada dosen pengawas bahkan ketika soalnya boleh dibawa pulang. Saya sudah tahu mana yang bisa saya jawab, mana yang tidak. Saya tidak lagi tertarik mengikuti diskusi membandingkan jawaban satu sama lain. Sebagai akibatnya saya tidak peduli apakah nilai saya adalah yang terbaik atau terburuk, apakah lebih baik dari yang lain atau tidak. Saya benar-benar berubah!

Ada istilah ambi di kalangan remaja (berasal dari kata ambisius) yang merujuk pada sekumpulan orang yang mengejar prestasi dengan begitu mati-matian. Ada yang memang seperti itu, ada yang sekedar kena stempel. Ada orang-orang yang otaknya sudah cair dari sananya sehingga mencoba meniru cara belajar mereka untuk mendapatkan kemampuan yang sama adalah mustahil, ada orang-orang yang mati-matian berusaha agar dianggap sama cair dengan yang sudah cair. Saya masih tetap di pojok, mengamati orang-orang ini, menertawakan diri sendiri: mengapa saya tidak terjun ke dalam kumpulan yang menarik ini? 

Kemudian suara itu kembali berkata pada saya: ah, it’s just not your game.Pada kenyataannya saya menjadi jauh lebih skeptis. Saya tidak punya banyak teman. Bagaimana mau punya teman, saat saya berani-beraninya berkata bahwa postingan info jarkom dalam grup sosmed itu hanya akan mengganggu jika topiknya acak? Bagaimana orang akan menyukai saya jika saya mengatakan dengan terus terang, dalam sebuah lingkungan di mana jilbab adalah tanda keimanan, bahwa jilbab bukan hal penting bagi iman saya? Bagaimana orang-orang akan bersimpati, ketika saya katakan kepada mereka, bahwa saya tidak akan pernah punya sedikit pun simpati pada orang-orang yang selalu mencontek dalam ujian meskipun mereka adalah teman sendiri?


Saya heran melihat betapa banyak diri saya telah berubah, namun di dalam hati, saya tahu hal ini adalah sebuah keniscayaan. Ada banyak hal yang tidak lagi saya anggap penting. Ada banyak hal yang tidak lagi saya butuhkan. Apapun yang terjadi, saya selalu merasa salah tempat dan waktu. 

Dulu ketika saya sedang senang-senangnya berkompetisi di bidang keilmuan dan kreativitas, teman-teman sedang berlomba mengumpulkan pernak-pernik. Saat kau tidak memiliki pernak-pernik yang sama dengan milik mereka, maka tempatmu adalah di sudut, makan bekal sendirian—itu pun jika bekalnya tidak direbut juga. Ketika saya sedang senang-senangnya membaca sastra, mereka sedang rebutan membaca teenlit. Mereka tidak merasa perlu tahu siapa Pramoedya, siapa Sapardi, apalagi Ayu Utami. Sastra tidaklah gaul, dan apa kaidahnya jika saya mencoba menjadikan sastra sebagai barang gaul, karena sastra tidak memerlukan apresiasi seperti itu.

Ketika saya sedang mencoba mengikuti kaidah menulis dengan baik dan benar, mereka sedang tenggelam dalam aktivitas gonta-ganti gadget. Hape yang baik dan benar adalah hape yang memiliki banyak gantungan lucu, dan diganti jika ada yang lebih keren. Blog? Apa itu blog? Ah, gak penting, yok kita selfie dulu...apa? Hape lo gak ada kameranya? Jangan bilang gak ada bluetoothnya juga??


Kemudian masa anak sekolah berganti menjadi masa mahasiswa, dan dunia seolah-olah tumpah di atas kepala. Tertatih-tatih belajar mengenai hidup. Kaget menyadari bahwa proporsi lapangan kerja dan jumlah mahasiswa tidak sebanding. Merasa tertekan oleh begitu banyaknya ideologi yang silang-bersilang di kampus. Merasa bahwa dunia begitu kejam sehingga jika kita tidak menonjol di antara miliaran penduduknya, maka kita tidak akan pernah menjadi apapun. Akhirnya, berlomba-lombalah mereka menonjolkan diri. Mendaftar ke dalam berbagai perlombaan. Mulai membaca buku-buku tebal. Menulis blog. Berdemo. Bertwit-war. Generasi tua melihat gelagat anak-anak muda ini dan mulai merasa khawatir: sebab aktivitas mereka di masa muda, seberapapun cemerlang atau bodohnya, tidak dilakukan dengan ambisi mendapatkan pengakuan yang direpresentasikan oleh jumlah pujian, likes, love, follower, ataupun endorsement yang didapatkan.


Hidup generasi tua ini belum berhenti bahkan setelah mereka mendapatkan kenyamanan hidup sebab bagi mereka kenyamanan hidup itu tidak ada. Kesulitan hidup itu juga cuma lelucon. Hidup adalah hidup itu sendiri dengan segala sulit dan mudahnya, susah dan senangnya, sebab itulah hidup, dan kita sebaiknya menerimanya. Namun generasi muda ini tidak dapat menangkap maksud halus generasi tua. Mereka unggah semua pencapaian diri ke akun sosmed. Mengumpulkan banyak gelar dan setifikat dan piala dan—“Hoi Prith, ikutan OSN Pertamina nggak?”

“Enggak.”

“Kenapa??”

“...” I don’t know...I just don’t want to.

“Menurut salah seorang mapres, Prith, berkompetisi juga menguatkan jati diri loh.”


I think I’ve found it. Long, long time ago.

Comments

Popular Posts