Gie, Arief Budiman, dan Romantika Kemahasiswaan Saya

Saya pertama kali mengenal Gie di kelas enam SD, ketika menemukan Catatan Seorang Demonstran yang sudah kuning dan berdebu, dibagian paling bawah rak buku perpustakaan sekolah. Jika diingat kembali, ajaib juga buku semacam itu berakhir pada rak buku sebuah SD negeri, di antara timbunan buku paket, buku lama terbitan Balai Pustaka, dan buku-buku cerita rakyat. Barangkali hasil sumbangan dan segera tersisih, sebab tak berkaitan dengan bahan ajar. 

Saat itu, kegiatan membuat catatan harian sudah rutin saya lakukan. Saya menyenanginya, sebab terasa seperti curhat kepada diri sendiri. Saya memang tipe orang yang sering penasaran dan memikirkan ulang segala sesuatu hingga bertemu pada kesimpulan yang memuaskan. Membaca buku tersebut membuat saya terkesima: oh, pemikiran yang mengagumkan! Entri pertama pada catatan tersebut bertanggal 4 Maret 1957--ketika Gie berusia 15 tahun, tidak terlalu jauh dari saya yang saat itu berusia 12 tahun. Ingin juga rasanya membuat catatan yang bernada dan berisi informasi serius, meski hanya untuk dibaca berulang secara pribadi. 

Membaca semakin ke belakang, semakin tampak konsistensi ketajaman dan semangat intelektual dari Gie, terutama pada masa-masa perkuliahan mendiang. Mengingatkan saya pada kakak-kakak mahasiswa--sepupu--yang saya amati setiap mereka singgah ke rumah Simbah: penampilan seadanya, tetapi mata menyala-nyala dengan semangat. Tulisan Gie memberikan kesan bahwa ia jauh lebih tajam dan berani dari siapa pun yang pernah saya amati. Itulah hari di mana saya begitu bergairah untuk suatu saat menjadi mahasiswa. Saya ingin bebas membaca, menulis, dan berdiskusi, dalam lingkaran-lingkaran dinamis seperti yang Gie miliki. Saya ingin lekas besar, agar boleh mengatur kehidupan sendiri--meski itu berarti siap berhadapan dengan kesukaran hidup.

Di dalam buku tersebut pula, terdapat sepotong tulisan dari Arief Budiman pada Bagian I, yang kemudian saya ketahui sebagai kakak dari mendiang. Nama Arief justru sudah tidak asing untuk saya. Saya tahu Arief pernah mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang merupakan tempat orang tua saya berkuliah. Bapak kerap mengajak kami mengunjungi perpustakaan kampusnya dan saya telah membaca beberapa buku tulisan Arief yang ada di sana. Arief--walaupun telah pindah mengajar ke Universitas Melbourne sejak 1997--masih rutin pula menulis untuk media-media cetak di Indonesia, setidaknya sepanjang masa saya bersekolah. Tulisan Arief Budiman kerap sarat istilah akademis, tetapi tetap mudah untuk dipahami. Menarik juga untuk melihat perbedaan gaya tulisan Gie dan Arief: tulisan Gie lebih luwes, tetapi secara teori, tulisan Arief lebih mengena. Seusai membaca Catatan Seorang Demonstran, saya jadi tertarik menelusuri lebih jauh kisah Gie dan Arief: oh, rupanya Soe Lie Piet (alias Salam Sutrawan), ayah Gie dan Arief, adalah seorang novelis yang juga pernah menjadi redaktur koran. Itulah barangkali asal-usul minat mereka terhadap dunia penulisan.

**

Kelak, ketika saya menjadi mahasiswa, saya merasa telah memiliki kesimpulan yang cukup untuk bersikap kepada narasi-narasi kenegaraan, politik, agama, dan budaya yang ada saat saya berkuliah, di dalam maupun luar kampus. Tentu kesimpulan tersebut tidak muncul begitu saja di kepala dalam hitungan malam atau minggu. Tidak juga muncul semata-mata karena pergaulan yang "inspiratif". Sebab di usia saya yang kedua belas, saya belum begitu memahami seluk-beluk politik dan sejarah negara Indonesia. Informasi baru datang kepada saya dalam bentuk cuplikan-cuplikan. Koran baru saya ikuti secara real time. Teman diskusi yang seusia tidak pernah ada, dan saya masih terlalu muda untuk dianggap serius oleh orang-orang yang lebih senior. 

Terlebih, tidak banyak bahan lain yang bisa didapat di luar kurikulum sekolah negeri, yang terus terang membosankan. Ambil contoh materi Sejarah: dari SD hingga SMA, rumusannya adalah masa prasejarah, kerajaan, "penjajahan", kemerdekaan, dan Orde Lama hingga Reformasi. Jarang ada guru yang tidak sungkan memberikan diskursus berbeda, dan kalaupun ada, usaha mendapatkannya akan menarik perhatian teman lain di kelas, satu hal yang saya tak suka. Saya tidak suka tampak mencolok, sebab saya belajar bahwa zaman saya berbeda dengan zaman Gie. Di zaman Gie, hal-hal tersebut sepertinya tidak tampak terlalu mencolok, dan kalaupun iya, akan lebih diapresiasi--atau setidaknya, jarang dibungkam. Saya merasakan di zaman saya, tampil mencolok tidak terlalu ada artinya, dan kalaupun ada--artinya adalah dibungkam; dianggap membahas hal-hal yang tidak perlu, dan jika perlu langkahnya dihambat, karena dianggap mengganggu.

Maka sikap saya saat mahasiswa merupakan sebuah proses pemikiran panjang selama 6-7 tahun sebelumnya melalui berbagai bacaan dan pengalaman. Saya merasakan betul bahwa sistem di Indonesia tidak dibuat untuk orang-orang biasa, seperti saya dan keluarga. Dikatakan pada publik, bahwa siapa pun berkesempatan atas kehidupan yang lebih baik dengan otak yang cemerlang serta niat dan kerja yang keras. Bagi saya dan keluarga, jargon tersebut tidak pernah terbukti. Kami semua bisa hidup atas usaha sendiri, tanpa pernah merasakan kemudahan yang diiklankan lima tahun sekali. Banyak orang menyalahkan, itu karena kami tidak mau "meminta" dan "mendekat" kepada sistem; tentu saja mereka "lupa" atau "tidak tahu" bahwa hak dasar warga negara seharusnya diberikan tanpa perlu permintaan dan pendekatan. Keluarga kami bahkan tidak pernah menganggap "hak-hak" tersebut perlu dihitung ketika mempersiapkan biaya hidup. Sebagaimana jutaan orang lainnya kami memilih melakukan saja kewajibannua bertahun-tahun, daripada ribut, sementara menyaksikan pihak-pihak yang karib dengan penyelenggara negara memanfaatkan keistimewaan dengan tingkah laku yang menjengkelkan. Saya tuangkan pengalaman itu dalam catatan-catatan, sekedar mengusir rasa gemas. 

Saat lulus SMA saya sampaikan pada orang tua: sebenarnya saya tertarik belajar ilmu politik atau humaniora. Bukankah kamu ingin jadi dokter? Ya, tetapi itu mimpi yang jauh dan mahal. Bagaimana kalau teknik? Ah, saya, matematika dasar saja saya tak pandai, apalagi matematika teknik. Saya tidak suka menguasai sesuatu setengah-setengah, dan kalau memang tidak mampu, buat apa dipaksakan. Saya ingin ambil Politik, atau Filsafat, atau ilmu sosial semacamnya.

Tapi kamu jurusan IPA, tukas ibuku, kamu belajar Biologi dalam-dalam sejak SMP, apa tidak sayang? Lagipula, kalau kamu belajar politik, orang seperti kamu pasti makin banyak musuhnya.

Saya menurut, malas ribut, dan berakhir di kampus yang sama dengan tempat Gie dan Arief berasal. Siap dan semangat untuk ikut kegiatan kemahasiswaan. Tetapi dengan cepat saya kecewa: oh, lagi-lagi, zaman Gie dan zaman saya sudah jauh berbeda. 

**

Satu hal yang membuat saya yakin kepada Gie dan Arief adalah konsistensi mereka semasa hidup. Sebab bagi saya, untuk dapat diakui, pertama-tama manusia perlu konsisten dulu. Apakah dia konsisten pada hal yang dianggap orang banyak baik atau buruk, bagi saya tak jadi soal. Konsisten buruk lebih baik daripada munafik, sebab sekurang-kurangnya ia konsekuen dengan keburukannya, bukan lantas buruk tetapi ingin dilihat baik.

Dalam kasus Gie dan Arief, jika ingin diakui sebagai seorang intelektual, tentu seumur hidup harus siap dengan konsekuensinya: bahwa ketika suatu hal yang diyakini sudah berubah keadaannya, kita harus mau mengakui perubahan tersebut, dan memberikan analisis objektif sekalipun hal tersebut berarti menyerang kemapanan--yang bisa saja dulu ikut kita bangun--yang tidak mau ikut berubah. Sebagai seorang intelektual, harus pula siap dengan kenyataan: kita bisa selalu sendirian, tidak pernah punya zona nyaman, selalu kesulitan mencari uang, dan diapresiasi baru setelah mati.

Rata-rata, orang yang begitu lantang semasa mahasiswa, akan kempes bagai kerupuk ketika terhantam biaya hidup, pengucilan, atau tawaran kemudahan untuk "mendekat dan meminta" kepada sistem. Sedangkan sebagai manusia yang konsekuen, sikap kita pun harus konsisten--di dalam maupun di luar sistem. Tidak ada celah untuk yang lain-lain. Segala kepentingan pribadi kita harus diusahakan sendiri dengan cara bekerja, dengan hasil yang didapatkan secara konsekuen pula. Misal: jika mengajar per jam dihargai Rp 500,000,-, maka mengajar dua jam memberi konsekuensi upah sebesar Rp 1,000,000,-. Jika menjual semangkuk bakso memberi keuntungan Rp 5,000,-, maka menjual 10 mangkok memberi konsekuensi keuntungan sebesar Rp 50,000,-. Lebih dan kurangnya harus diatasi dengan cara berpikir, bukan dengan mendekat dan meminta. 

Karena tidak berhasil menemukan kegiatan mahasiswa dan lingkaran-lingkaran mahasiswa bertema politik yang benar-benar konsisten dan konsekuen, saya memilih tidak ikut sama sekali. Kendati demikian saya mengamati tokoh-tokoh yang terlibat sampai hari ini, dan semua sejauh ini masih berjalan sesuai dugaan saya. Bahwa si A akan merapat ke sana ke mari, sebab tujuan utamanya bukan ide itu sendiri melainkan demi mendapat posisi. Bahwa si B, ujung-ujungnya duit. Bahwa si C, mengeluhkan toleransi di saat dirinya sendiri tidak mau memberikan toleransi dengan alasan "ini prinsip saya", dan enggan menganalisis pemikiran lawan dengan posisi yang berimbang. Ada pula si D, yang sampai hati menjual suatu ide kepada suatu segmen masyarakat (baca: pasar) dengan hidup kembang-kempis, meskipun dia sendiri jelas-jelas merupakan representasi dari segmen lain, yang bisa memiliki gaya hidup lebih tinggi sebagai konsekuensi dari menjual ide tadi.

Tidak ada yang salah dan benar, sebab hidup pilihan masing-masing. Tetapi, menjadi manusia tidak konsisten juga ada konsekuensinya: suatu saat, kita harus siap menjilat ludah sendiri, mungkin pada situasi paling menyakitkan. Sampai hari itu tiba, saya anggap pengamatan ini belum dapat disimpulkan.

Kesimpulan dari Gie dan Arief sudah jelas: mereka sendirian, mereka sulit mencari uang, dan tiba-tiba banyak dibicarakan orang--baru setelah mati.

Saya membaca banyak orang berpendapat: kita membutuhkan Arief Budiman yang baru, tetapi, Arief Budiman adalah satu-satunya, dan tidak akan tergantikan. Saya pikir hal tersebut benar. Sebab persoalan selanjutnya lantas: siapa sanggup menjadi Arief Budiman berikutnya? Siapa mau hidup seperti Gie sampai mati?

Betapapun, tulisan-tulisan Gie dan Arief adalah salah satu oase dalam hidup saya, yang memberi semangat untuk setidak-tidaknya hidup konsisten pada jalan yang sudah dipilih. Dunia membutuhkan orang-orang seperti mereka. Di sisi lain, dunia adalah tempat terburuk untuk mendukung kehidupan orang-orang seperti mereka. Seperti rantai makanan, hanya ada satu predator puncak di setiap rantainya demi keseimbangan biologis.

Adapun romantika Buku, Pesta, dan Cinta ala Gie dalam kehidupan kemahasiswaan saya?

Bubar!

Comments

Popular Posts