Demi Mereka yang Terbiasa Berjuang

Pada awal Maret lalu, dalam rapat mingguan di kantor, CEO kami menyampaikan pesan untuk bersiap menghadapi pandemi SARS-CoV-2. Langkah-langkah yang diperlukan, antara lain: memonitor pesanan pelanggan seakurat mungkin untuk antisipasi peningkatan buffer stock, mengusahakan penerimaan piutang secepat-cepatnya untuk kelancaran arus kas, dan mempersiapkan pengalihan lokasi produksi pada beberapa mitra OEM jika terjadi lockdown. "Kita bisa anggap ini sebagai ujian untuk perusahaan," ucap beliau, tenang dan yakin, "..jika berhasil melewatinya, semoga artinya ke depan kita semakin mumpuni, baik dalam kemampuan managing business maupun dalam persaingan pada keadaan yang menantang."

Saya paham: pihak manajemen sebenarnya telah bersiap menghadapi pandemi sejak awal 2020. Dampak memang telah dirasakan terutama pada pasokan beberapa bahan baku. Terlebih, respon dan antisipasi pemerintah terhadap pandemi tampak mengkhawatirkan. Ini adalah bom waktu; situasi bisa meledak tak terkendali dengan cepat. 

Sebagai penyuplai seasoning dan flavor ingredients untuk industri makanan, hal terpenting memang menjaga pabrik tetap berproduksi. Suplai kami dibutuhkan dalam proses panjang produksi fast moving consumer goods yang harus selalu tersedia di pasar, supermarket, dan gerai makanan siap saji. Kami cukup beruntung karena makanan dalam berbagai bentuknya akan selalu dibutuhkan. Meski demikian, isu global seperti pandemi tetap menyimpan potensi kenaikan biaya operasional yang tidak sedikit.

Ini adalah tahun keempat sejak saya diterima bergabung dengan perusahaan. Pada awalnya sebagai tenaga penjual, dan seiring waktu ditarik ke bagian pengembangan bisnis. Tugas utama saya adalah mengidentifikasi strategi penjualan yang tepat untuk setiap specialty product untuk kemudian mempromosikannya bersama dengan bagian penjualan. Saya juga dapat mengusulkan, berdasarkan analisis perkembangan inovasi ingredients di dunia dan situasi pasar, specialty product baru yang berpotensi dijual atau dikembangkan. Tentu dengan mempertimbangkan biaya dan profit.

Dari sekian banyak kompetensi yang dibutuhkan dalam pekerjaan saya, saya rasa hanya empat hal yang saya dapatkan dari bersekolah selama 16.5 tahun: 1) attitude (walau, harus diakui bahwa kunci terpenting untuk mendapatkan hal ini adalah pendidikan dari orang tua), 2) kemampuan dan kecepatan belajar, 3) logika berpikir yang runut dan benar, dan 4) kemampuan mengidentifikasi, mengolah, dan menarik kesimpulan berdasarkan data yang akurat dan terpercaya, serta menampilkan informasi tersebut secara efisien dan menarik dalam komunikasi tertulis maupun lisan, formal maupun informal.

Hingga saat ini saya belum mencapai kesimpulan, apakah hal tersebut memang seharusnya, atau tidak? Toh, bidang pendidikan dan pekerjaan yang saya pilih memang tidak sesuai. Penyelenggara negara ini pun, tampaknya belum menempatkan kesesuaian antara bidang pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan negara sebagai urusan prioritas. Bagi saya, masih lumayan ada yang dapat diambil, daripada tidak sama sekali.

Di masa-masa baru bekerja itu, sebagaimana lazimnya anak muda--terlebih millenials sangat social media savvy--dengan antusias kita akan saling membanggakan pekerjaan dan kantor pertama. Tentu bukan saya. Jurusan saya bukanlah jurusan seksi dalam bursa kerja, bisa mendapatkan pekerjaan dalam rentang waktu 3-6 bulan setelah lulus adalah anugerah. Saya cukup beruntung langsung bekerja setelah wisuda karena memang mulai mencari pekerjaan jauh sebelum sidang. Di kalangan sendiri pun, pekerjaan saya bukan suatu hal yang dianggap seksi. Pertama, sudah menjadi norma bahwa untuk menjadi lulusan Biologi yang keren, Anda sebaiknya mengejar passion sebagai ilmuwan. Jika tidak, minimal kejarlah sesuatu yang sedang trendi saat itu: kebetulan di masa itu start up dan segala berbau digital sedang hangat-hangatnya. Jika tidak juga, minimal ambil posisi pekerjaan dengan jobdesc menyerempet riset pada perusahaan yang diketahui khalayak luas dan terpampang jelas iklan produknya di mana-mana. 

Apa itu perusahaan bumbu? Apa itu product specialist? Tidak seksi.

Tetapi, saya merasa sangat beruntung dengan pekerjaan ini. Bisnis B2B--business to business--membuka mata saya terhadap jejaring industri dan memberikan kesempatan bagi saya menghadapi stakeholder yang levelnya tidak main-main. Saya harus dapat membedakan pain points dan menyusun dengan cepat strategi untuk pelanggan dengan putaran milyar atau triliun. Saya dituntut untuk setiap saat siap bersikap profesional tetapi tetap appealing di hadapan pengambil keputusan level manajer, direktur, ataupun owner. Menjadi supplier berarti mendapatkan dan menjaga kepercayaan pelanggan. Satu langkah dapat memiliki efek yang panjang bagi kelangsungan perusahaan.

Di luar itu semua, pelajaran terbesar yang saya dapatkan adalah: bahwa pada akhirnya, hal terpenting adalah how to keep the business real. Kita harus dapat menyadari bahwa realita bisnis akan berkesinambungan dengan realita masyarakat di sekeliling kita, dan satu-satunya cara menjaga kontinuitas bisnis adalah dengan memberikan pelayanan yang relevan. Bisnis perlu ditunjang oleh aktivitas branding yang meyakinkan: karyawan-karyawan yang berpenampilan menarik dan diberi panggung dalam seminar-seminar, gedung kantor yang menjulang megah, kehadiran nama-nama pimpinannya pada pembicaraan publik yang positif--but at the end of the day, managing business is as a truly tiring and mundane job of thinking, keeping a discipline routine, negotiating, calculating, and taking decisions.

Kita tentu akan bicara dalam kesempatan tertentu: sekian valuasi, sekian pabrik, sekian negara. Tetapi pada akhirnya: apa? Berapa? Mengapa? Bagaimana? Deal or no deal?

Saya beruntung: pihak manajemen perusahaan selalu memberikan kesempatan bagi saya terlibat sesuai kapasitas. Setidaknya, sebagai pengamat--untuk saya belajar.

Suatu hari, saat berkunjung ke pabrik salah satu principal, Bapak CEO menunjukkan kepada saya, "..coba, perhatikan. Jepang punya budaya management by form: kerjakan apa yang ditulis, tulis apa yang dikerjakan. Ini untuk melatih disiplin supaya akhirnya, kita dapat mengetahui dan expect standar yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem yang efisien. Ini berbeda sedikit dengan China: China bagus dalam mass-managing, memang dari sejarahnya mereka diharuskan mengelola sesuatu dalam jumlah besar, entah itu barang atau manusia. Keuntungan dari pandai mengelola sesuatu dalam volume besar, adalah harga yang kita tawarkan, bisa bersaing."

Saat itu saya baru satu tahun bekerja, masih sangat junior. Mata sedang lebar-lebarnya menatapi dunia kerja baru, penuh rasa ingin tahu. Kebanyakan rekan seusia biasanya memilih menghindar dari situasi berdampingan dengan CEO, disebabkan perasaan segan dan canggung. Tetapi bagi saya beliau tidaklah intimidatif. Beliau sudah memiliki proven track record dalam mengelola perusahaan. Sebagai orang yang pernah memimpin salah satu perusahaan makanan pionir terbesar era '80-an, tentu beliau sudah banyak makan asam garam; adalah kesempatan berharga untuk berbincang dengan beliau.

"Kalau Indonesia, bagaimana, Pak?" tanya saya.

Beliau menatap ke depan, mengernyitkan dahi, lalu memandang saya dengan sorot serius dan prihatin,

"Di Indonesia," mulainya, "...masyarakat kita tidak memiliki standar pendidikan yang basicnya sama."

Saya mengerti: pendidikan yang dimaksud beliau adalah soal karakter. Attitude.

"...karena dasar pendidikan yang diberikan orang tua di rumah berbeda-beda, begitu masuk ke perusahaan, akan sulit sekali bagi kita mendidik. Apalagi, tidak ada dukungan atau tekanan dari negara untuk pendidikan. Ini menyebabkan manajemen perusahaan lebih rumit dilakukan. Masalah utama kita selalu SDM. Belum lagi bicara pengelolaan bahan baku, operasional pabrik, rantai distribusi, strategi pemasaran, dan kebutuhan teknologi untuk inovasi. Inilah tantangan terbesar yang harus terus-menerus kita cari tahu, bagaimana menyelesaikannya." 

Saya termenung.

Selama empat tahun bekerja, saya mengamati: semakin tinggi posisi seseorang dalam perusahaan, semakin canggih cara mereka bekerja, namun semakin sederhana pula cara mereka hidup. Alasannya juga sederhana: ketika pekerjaan kita menuntut lebih banyak waktu dan tenaga untuk berpikir, dan semakin banyak beban yang kita tanggung, akan semakin sedikit tersisa ruang dalam hati untuk menginginkan hal-hal yang banal. Bagi kita, mereka mungkin memiliki gaya hidup yang menggiurkan--except that was never a lifestyle. Mobil berharga tinggi, rumah besar, liburan ke tempat-tempat jauh--semata adalah sesuatu yang umumnya dapat mereka jangkau dengan wajar, atau bahkan dengan pertimbangan ekonomis, pada tingkat kemampuan finansial mereka. Sampainya mereka di sana tentu bukan kebetulan, keberuntungan, apalagi hasil seminar--melainkan kerja keras berkecimpung dengan dunia nyata selama puluhan tahun, itupun setelah berhasil melampaui persaingan dan kesialan. Kita semua tahu apa isi dunia nyata: keterbatasan, kegagalan, tagihan--yang tak lain adalah keringat, derita, dan air mata. Tetapi manusia hebat tak pernah mengeluh, apalagi di depan umum.

Dengan catatan, ia adalah manusia yang memang berprinsip kepada hal-hal nyata. Penjabaran barusan tidak akan berlaku bagi tukang gorengan politik, pengusaha kelas bagi-bagi jatah, dan makelar proyek tujuh turunan yang dilindungi negara. 

Memang tidak ada tempat bagi moral dan etika dalam formula matematika bisnis. Hal tersebut merupakan hak masing-masing untuk memilih. Tetapi menariknya, pilihan ini akan tampak perbedaannya terutama pada masa-masa seperti sekarang: situasi pandemi nan paceklik. Mereka yang terbiasa dengan kehidupan nyata, akan menarik napas panjang dan menggeser kopling ke gigi perjuangan yang lebih tinggi. Bersiap untuk yang terburuk, tetapi dengan tenaga yang sedikit lebih tahan lama. Sama-sama lelah, hanya lebih terlatih. Sama-sama saling bantu, hanya bunyinya lebih tenang.

Mereka yang tidak? Panik, ribut sana sini, menyelamatkan diri sendiri (bahkan sampai merasa perlu mencuri), lalu sembunyi. 

Maka jangan merasa kecil hati ketika mendapati diri sebagai kaum yang hidupnya susah. Sejatinya, semua bentuk kehidupan tidak dimaksudkan untuk mudah. Muda dan tidak pernah kelebihan duit? Itu normal. Bekerja baru sebentar, jika kelebihan harta, justru kita harus bertanya--apakah benar ini harta kita? Tidak muda dan masih pusing? Tarik napas sedikit lagi, mungkin sebentar lagi akan lewat. Tuhan tidak tidur. Pasti juga banyak hal dalam hidup ini yang sudah layak menjadi bagian dari syukur. Nanti jika bertemu kembali dengan musim panen, kita simpan sebagian untuk bersiap lagi menghadapi paceklik--bukankah roda hidup ini sedemikian teratur?

Mari kita berjuang bersama-sama, demi mendukung mereka--apapun profesinya--yang sudah lebih lama berada dalam perjuangannya. Sebab dunia ini tidak dapat Ada sendirian.

Comments

Popular Posts