Perilaku

Suatu malam, saya sedang mengantri di kasir restoran siap saji, ketika kasir sebelah dibuka dan petugas kasir, yang kebetulan bertatapan mata dengan saya, mempersilakan saya antri di depannya. Baru saja saya melangkahkan kaki, seorang ibu yang tadinya mengantri di depan saya maju sekuat tenaga ke depan kasir dan jika saya tidak berhenti, niscaya dia akan tersikut (bayangkan hal ini terjadi di pom bensin atau gerbang tol untuk simulasi yang lebih fatal). 

Hal pertama yang dilakukan sang ibu adalah mengeluarkan sejumlah kartu kredit dan bertanya apakah ada promo untuk masing-masing kartu kreditnya. Beberapa kartu kredit di antaranya tampaknya tidak familiar bagi petugas kasir, maka ia memanggil manajenya untuk membantu menjelaskan. Setelah sepuluh menit berlalu dalam penjelasan detail mengenai kartu kredit dan promonya, ibu tersebut mengeluarkan kartu debit dan bertanya kepada anaknya mengenai menu makan malam yang ingin dipesan. Sang anak tidak menjawab, dan ibu tersebut kembali mengajukan pertanyaan mengenai pilihan menu-menu yang dipampang jelas di dinding. Setelah lima menit, sang ibu mengulang pertanyaan kepada sang anak, yang tetap tidak dijawab, dan akhirnya beliau mengambil keputusan sendiri untuk memesan tiga buah paket.

Pesanan tersebut dibayar dan petugas kasir mempersilakan sang ibu bergeser agar antrian berikutnya dapat dilayani. Sementara saya menyebutkan pesanan dan petugas kasir mempersiapkan pembayaran, pesanan ibu tadi sudah diantar ke kasir dan beliau berkata,

"Eh, pesanan saya kan dibawa pulang."

Petugas kasir dengan sigap menggeser nampan yang tadinya ditujukan untuk pesanan sang ibu ke depan saya, dengan maksud, pesanan sayalah yang nanti akan diletakkan disitu, sambil berkata,

"Oh dibawa pulang ya Bu, sebentar ya."

Rekan petugas kasir membawa pesanan sang ibu kembali ke belakang kasir dan mulai membungkus satu persatu pesanan tersebut dengan karton dan plastik. 

"Mas nggak nanya sih, dibungkus atau enggak. Nggak profesional amat sih Mas," tukas ibu tersebut. Petugas kasir hanya tersenyum sementara saya membayar pesanan. Karena pesanan saya memang menu umum yang sudah disiapkan dengan jumlah banyak, petugas kasir mengambil pesanan saya di rak di belakangnya dan meletakkannya di nampan saya.

"Eh, Mas ini gimana sih, kok malah pesanan orang lain yang duluan keluar? Mana pakai bingung segala lagi, Mas ini orang sini apa orang warteg?"

Kalimat tersebut diucapkan keras-keras sehingga semua orang menoleh. Sisi jahat saya ingin melontarkan beberapa kalimat pedas, namun untuk menghindari aksi jambak-jambakan, saya memilih diam dan tersenyum pada petugas kasir yang bingung, berharap dapat memberinya semangat.

Petugas kasir mulai mengangkat nampan saya untuk diberikan, tetapi sang ibu berkomentar ketus,

"Eh, bukan begini caranya. Mana sini punya saya yang ada bawa saja ke sini dulu."

"Sedang dibungkus Bu, Ibu dapat duduk di sebelah sana, nanti akan kami antar."

"Nggak bisa! Mana sini punya saya!"

Akhirnya, saya menghabiskan lima menit ekstra untuk berdiri di depan kasir sementara petugas kasir membantu rekannya membungkus dan memberikan pesanan tersebut kepada sang ibu, yang tidak berhenti berkomentar, tanpa mempedulikan bahwa dirinya sedang ditonton orang banyak. Setelah sang ibu berlalu, petugas kasir mengganti makanan saya dengan yang masih hangat dan memberikannya pada saya seraya mengucapkan maaf.

Ini adalah kejadian umum yang dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dalam lingkup lebih kecil maupun lebih besar. Saya setuju bahwa di sekitar saya, ada banyak sekali manusia yang sanggup, atau bahkan senang, berperilaku seperti ini, dan menganggap bahwa dirinya benar. Tidak semua manusia tersebut berkarakter buruk; saat kita kesal atau berada dalam tekanan, kita bisa saja berbuat serupa. 

Saya paling sering memperhatikan betapa orang sering berbuat ketus pada orang-orang dengan pekerjaan yang mirip: petugas kebersihan, penjaga toko, penjual sayur-mayur. Oke, pembeli adalah raja. Oke, ada memang orang-orang tertentu dengan profesi tadi yang memang menyebalkan dan menyulitkan pembeli. Tetapi mengapa ada orang yang senang berperilaku ketus terhadap pelaku profesi tersebut? Ingin menegaskan status?

Ada dua hal yang dapat direnungkan dari kejadian tadi: pertama, rezeki sudah diatur jumlah dan urutannya. Kalian boleh bilang saya lebay dan cocoklogi, tetapi saya percaya, jika saya sedang mengantri, maka hak saya adalah sesuai dengan urutan antrian tersebut. Bila saya mencoba mengubah urutan tersebut dengan cara yang tidak natural, maka saya sedang mencoba mengambil hak orang lain, dan hasilnya tidak akan baik.

Kedua, seperti yang selalu saya katakan, dunia telah adil, seadil-adilnya. Kita mendapatkan apa yang kita tanam. Hal terpenting yang harus dimiliki manusia adalah hati bersih, yang dapat dicerminkan oleh perilaku yang baik. Mudahnya, pikirkan saja apakah kita akan gembira diperlakukan dengan suatu cara, dan kita akan tahu: apa timbal-balik yang akan kita dapatkan dari perilaku tersebut. 

Menurut pengalaman saya, hal tersebut hanya dapat diresapi dan diamalkan apabila kita cukup rendah hati untuk paham bahwa semua makhluk adalah sama, dan tentu saja, berpikir jernih tanpa--meminjam istilah masa kini--baper.

Comments

Popular Posts