Humanisme dalam Sebuah Film

Sebelumnya, saya ingin meminta maaf. Saya jarang sekali menuliskan hal-hal yang tidak saya mengerti benar seluk-beluknya. Kali ini izinkan saya, dengan segala kebodohan saya, bicara tentang film. Menonton film berawal dari kesukaan membaca. Jika pikiran cukup terbuka untuk menjiwai sebuah buku, maka menonton film adalah kesempatan untuk otak ini berorgasme terus-menerus, dengan catatan: filmnya bagus.

Pendapat awam mengenai bagus tidaknya sebuah film di zaman norak media sosial ini dapat menimbulkan kericuhan yang sama dengan isu bangkitnya PKI. Membicarakan selera memang...sulit. Sejak membaca buku IPS di bangku SD, kita dapat menemukan pernyataan bahwa kebutuhan akan seni dan keindahan adalah yang terakhir dicari setelah tiga tingkatan kebutuhan sebelumnya terpenuhi. Tetapi zaman sudah menjadi relatif, bukan? Kemampuan mengapresiasi dan menilai film tidak lagi relevan dengan tingkat pendidikan dan ketebalan hartanya.

Saya yakin bahwa masyarakat sebenarnya sudah lama merasa sedih atas mayoritas kualitas tontonan yang dapat diakses oleh khayalak umum. Saya pun yakin bahwa mereka yang bekerja di dunia perfilman merasa sama sedih dan selalu berusaha memberikan pilihan dengan kualitas lebih baik. Mari kita lupakan dulu soal teknologi-teknologi pembuatan film yang ditawarkan oleh film blockbuster Hollywood. Mari kita bicara mengenai MAKNA. 

Sebelum saya cukup besar untuk bisa pergi sendiri ke bioskop, saya sudah heran mengapa anak-anak seumuran saya malas sekali mencoba membaca bacaan 'berat'. Saya juga heran dengan kriteria 'berat' ini. Buku biografi dibilang 'berat'. Buku sejarah dibilang 'berat'. Buku sastra dibilang 'berat'. Kalau bacaan 'ringan' hanyalah yang dapat membuat baper dan tertawa-tawa atas humor remeh, lantas untuk apa membaca? Mengobrol sajalah di warung kopi. Selain menghibur hati, kita juga bisa mendapat teman baru.

Mereka juga cenderung menyamakan porsi buku keilmuan dengan buku-buku yang disebut sebelumnya di atas. Jadi bila otak kita sudah cukup pusing membaca buku saintek dan ekonomi, rasa-rasanya kita sudah cukup pintarlah untuk dinilai oleh khalayak. Tak perlu lagi repot-repot memahami makna di balik Tetralogi Pulau Buru dan sejarah dunia. Tak perlu repot-repot menerka apa maksud Joko Pinurbo di balik puisi-puisinya. Akibatnya, mereka tumbuh menjadi manusia berhati batu. Mereka tidak dapat memahami makna kiasan. Mereka tidak dapat tersentuh oleh hal-hal yang tidak tampak di mata.

Ketika akhirnya mereka cukup besar untuk dapat pergi ke bioskop, kita dapat menerka apa yang terjadi kemudian. 

Beberapa bulan yang lalu saya menonton film The Little Prince. Film tersebut diadaptasi dari novella Le Petit Prince karangan Antonie de Saint-Euxpery yang dipublikasi tahun 1943. Buku ini sebenarnya ditujukan untuk anak-anak, tetapi bacalah jika kalian belum pernah, dan bila hati kalian cukup lembut, kalian akan tertawa dan menangis. Bukan karena ceritanya lucu atau membuat baper, tetapi karena kalian akan menyadari peristiwa macam apa yang merasuk dalam hati Saint-Euxpery ketika menuliskan karyanya. Bila kita cukup peka, buku tersebut akan mengoyak-ngoyak hati kita, meruntuhkan kesombongan kita, mendobrak kebanggaan kita menjadi seorang dewasa yang merasa dekat dengan Tuhan dan sukses dalam hidup. If, and only if. Filmnya sangat indah, tidak main-main, dan melebur dengan kemenangan bersahaja bersama dengan jiwa cerita aslinya. Ketika film selesai, serombongan orang yang menonton bersama saya keluar dari bioskop dengan dahi berkerut dan sejuta komentar, "Ini film apaan, sih? Aneh banget."

Dan saya menangis, menangis. Kali pertama saya betul-betul menangis setelah menonton film. Saya menangis karena semua hal yang dituliskan oleh Saint-Euxpery menjadi nyata, tepat di hadapan saya. Saya menangis karena saya tahu mereka tidak akan pernah mengerti mengapa saya menangis.

Jauh sebelum kemudahan informasi dapat dijangkau oleh siapapun, humanisme ada dan terjadi dengan kesunyian yang menenteramkan. Perang boleh berkobar, namun bahasa hati adalah satu-satunya hal yang membuat manusia saling mempertahankan hidup. Masa itu adalah masa ketika humanisme tidak dapat dipamerkan pada publik dan dinilai secara kuantitatif. Tidak ada yang punya waktu untuk menunjukkan seberapa banyak mereka telah membantu orang lain. Kita tahu sama tahu, patuh sama patuh. Kita bersyukur atas kelip bintang dan berbagi meski hanya seember air. Meski tak ada yang tahu.

Kesukaan saya membaca bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Dapatkah seorang anak memahami buku dengan mudah? Tidak. Bukunya begitu tebal sehingga saya pusing dan mengantuk. Tetapi saya ingin tahu. Saya ingin dapat mengerti. Saya ingin mengenal penulis lebih jauh, dan karena banyak dari mereka telah meninggal, serta masanya sudah jauh lewat, darimana lagi saya bisa paham jika bukan dengan membaca? 

Sejarah kehidupan manusia dengan seluruh pergulatannya menjadi penting bagi saya karena dari sanalah saya memiliki bahan untuk mempertimbangkan langkah saya ke depan. Zaman boleh maju, saintek boleh berkembang, tetapi dalam hati manusia akan selamanya menjadi manusia. Kita takut dan ragu-ragu. Kita butuh waktu. Kita boleh saja mampu berhitung hingga semilyar dan paham suatu masalah hingga ke susunan atomnya, namun hanya dengan rasa humanis kita mampu membuat keputusan terbijak dalam sebuah situasi yang sulit.

Bukankah kita telah mulai menyadari hilangnya kepekaan tersebut? Sehebat-hebatnya film blockbuster pun, mari kita lihat pesan-pesan yang mereka sisipkan dalam dialog, dalam pengadeganan, dalam detail-detail kecil yang sering terlewat: manusia tetaplah manusia, dan hidup tetaplah hidup. Tidak ada kekuatan super yang dapat mengubah hal tersebut. Kita semua perlu berjuang. Kita semua perlu merasa. Kita semua butuh manusia lain.

Tidak semua manusia diberi kemampuan untuk tahu peristiwa sebelum terjadi, sebab tidak semua dari kita mampu tetap melangkah, dengan segala keberanian dan kesungguhan, jika kita tahu apa yang akan terjadi.

Katakanlah para seniman film bermaksud mencari uang dengan filmnya, sehingga wajar mereka termotivasi membuat film-film yang bagus. Tetapi bukan itu yang saya persoalkan. Yang saya persoalkan adalah: kita hanya dapat memahami sesuatu dengan utuh ketika kita berupaya merengkuhnya dengan hati dan pikiran yang telanjang.

Tanpa kulit. Tanpa praduga.

Comments

Popular Posts