Rumah Tangga

Di tahun 2016 ini, masih saja manusia bertengkar soal apakah perempuan lebih baik bekerja atau di rumah, apakah perempuan wajib bisa masak dan beberes rumah, apakah tugas-tugas rumah tangga harus dibagi menjadi "pekerjaan lelaki" atau "pekerjaan perempuan". Astaga.

Ini adalah masa gawat darurat ketika isu pendidikan, kesehatan, dan efisiensi hidup seharusnya tidak lagi dipecahkan di tingkat pemerintah, tetapi juga di lingkungan sosial. Di arisan RT, di bengkel, pasar, dan warung-warung tegal. Kita harus bicara soal sopan santun dan sikap saling menghargai, soal disiplin waktu, soal keinginan mendapatkan hasil yang harus seimbang dengan akal dan usaha. Kita harus bicara soal added value dan lifetime learning. Kita harus bicara soal menghargai proses. Bukan hal mudah, tetapi juga rentan diremehkan.

Isu rumah tangga, di Indonesia, selalu sensitif sekaligus menarik perhatian khalayak. Saya tidak mengerti sebenarnya apa enaknya mengomentari kehidupan orang lain yang tidak ada sangkut-paut dan permasalahannya dengan kita. Saya sih suka berkomentar--KALAU diri saya sudah dilanggar oleh suatu sikap. Atau memberikan komentar yang bersifat umum untuk suatu peristiwa umum--tapi tentunya komentar tersebut ditujukan hanya kepada sikap yang memang diberikan kepada masyarakat umum dalam peristiwa tersebut, bukan malah dihubungkan dengan hal lain--you know, gelarnya lah, kebiasaan ibadahnya lah, etc. etc. yang lagi-lagi, tidak ada hubungannya dengan situasi tersebut.

Sebab, komentar, kalau tidak tepat guna, hanya akan jadi annoying.

Setiap pasangan tentu berhak menentukan sendiri bagaimana mereka akan bersikap dalam kehidupan berumah tangga mereka. Mau jungkir balik, atau tidak pakai baju, atau buang sampah sembarangan--terserah. Setiap perbuatan memiliki konsekuensi--TAPI kita tidak selalu memiliki posisi untuk memberikan konsekuensi tersebut! Ini adalah hal yang tampaknya sulit sekali dimengerti masyarakat kita. Ibaratnya, siapa yang bermasalah, siapa kemudian yang menghakimi. Padahal belum tentu mereka akan mau dihakimi bila posisinya terbalik. Belum tentu juga penghakiman yang diberikan tepat.

Saya memang belum berumah tangga, tetapi saya tahu betapa rumitnya persoalan tersebut. Rumah tangga bukan sekedar cinta halal nan mulia antar suami-istri, juga bukan sekedar mengajari anak ilmu dunia akhirat. Rumah tangga adalah sebuah institusi yang beririsan langsung dengan masyarakat. Tanggung jawabnya bersifat sangat publik, sekaligus sangat privat. Bagaimana caranya membedakan dan memberikan batas antara yang publik dan yang privat, yang rigid dan yang fleksibel, serta yang pantas dan tidak pantas pada setiap detik kita berumah tangga?

Hanya orang yang telah siap, secara akal maupun mental, yang dapat melakukannya dengan bijak. Kesiapan akan membuat kita menghadapi setiap masalah dengan tenang dan tajam. Terutama jika masalahnya menyangkut situasi ekonomi! Banyak sekali pasangan muda membayangkan betapa mereka akan tetap memahami dan mendukung satu sama lain dalam kesulitan ekonomi, tetapi percayalah, itu sama sekali tidak mudah. Maka, sebelum berandai-andai, ada baiknya kita gunakan otak ini untuk berpikir: logiskah kemampuan saya dan calon pasangan saat ini bila digunakan untuk berumah tangga? Bila iya, maka akan bagaimana selanjutnya, bila tidak, maka bagaimana usahanya?

Tentu semua pilihan mengandung konsekuensi. Bila memilih menumpang sementara waktu di rumah orangtua, tentu diperlukan sopan santun dan hormat kepada kepala keluarga yang masih ada, tidak bisa semau kita mengatur rumah. Bila memilih berjuang dari nol, tentu diperlukan keteguhan untuk tidak sedikit-sedikit mengeluh. Bila suami dan istri bekerja, tentu harus dimengerti bahwa waktu untuk merawat rumah bagi kedua pihak bisa jadi tidak seragam, terutama setelah ada anak. Bila hanya suami yang bekerja, tentu istri harus memahami bila pemasukan keuangan mengalami keterbatasan. Jangan lantas ingin pemasukan lebih, tetapi juga ingin waktu kerja yang fleksibel, sekaligus ingin bisa selalu piknik keluarga setiap minggu. Mari realistis dan memanfaatkan apa yang ada, bukan mengada-adakan manfaat pada setiap kesempatan.

Rasa-rasanya tidak perlu juga kita meniru, atau sebaliknya, mengarahkan setiap orang untuk menjalani cara hidup tertentu. Jika suka akan suatu cara hidup, lakukanlah, dan diamlah. Bila hasilnya memang baik, orang akan dapat melihat. Mereka mungkin akan mengagumi, dan mengikuti, meskipun dalam diam. Tanpa perlu pengumuman. Tanpa kampanye.

Ingatlah: menceramahi orang lain mengenai "kebaikan" hidup kita, tidak akan pernah mendatangkan manfaat. Sama halnya dengan mengomentari "kebaikan" hidup orang lain.

Put yourself in another' shoes every time you want to assume something about them. Understanding in silence is even better than a loud assumption

Lalu, soal perempuan lebih baik bekerja atau di rumah, wajib masak atau tidak? Aduuh.

Ya, tergantung kebutuhan, dong. Bila manusia merasa butuh sesuatu, mereka tentu akan mencari cara untuk memenuhinya, tak peduli apa komentar orang. Iya, kan?


Comments

Popular Posts