Surat
Kita tidak pernah saling berkirim
surat, memberikan kejutan, atau kencan romantis. Hidup kita cukup pahit untuk
bersentuhan dengan realita. Hati kita cukup teguh untuk menepiskan air mata. Kita
tidak pernah memiliki apapun, selain satu sama lain.
Kita mengerti apa yang terusik pada
benak masing-masing saat berjalan malam-malam menatap bulan. Bulan yang kuning
dan jauh. Langit malam yang kelabu. Kita cemas akan hari esok seperti kita
gelisah tentang saat ini. Tetapi kita tidak pernah berhenti berjalan.
Tahukah kau bahwa diam-diam aku
mengagumimu? Sorot mata dan caramu bicara. Bangunlah, Pemalu. Kau yang ajarkan
aku membatukan niat dan mengacuhkan prejudis. Dapatkah kau lihat setapak
berserakan di dunia busuk ini? Mari pilih satu. Putuskanlah, sebab tugasku
adalah memandumu.
It’s
all for one or nothing at all. Jangan kita
berbangga menjadi manusia serba tanggung. Kaya tidak, miskin tak mau. Pintar
tidak, bodoh malu. Lurus tidak, belok ragu. Tinggal menghitung waktu sampai
kita terpaksa mengudap kemunafikan. Tetapi aku yakin perut kita berselera
terhadap kerja keras, maka Sayangku, hidup akan selalu bisa kita cukupkan.
Mari lemparkan mimpi ke langit agar
seisi dunia turut ingat tugasnya untuk menjadi hidup. Memang hidup ini adalah
untuk mati, Sayangku, tetapi apa gunanya mati sebelum hidup itu berarti? Ingat
kematian agar kau selalu takut berbuat buruk. Tetapi ingatlah hidup agar kita
selalu siap berlari mencapai mimpi.
Cintaku adalah bulan yang merangkul bumi berevolusi sekehendak dan seperlu hidup membutuhkannya. Aku ingin mencintaimu tanpa air mata. Aku, yang tidak pernah kehilangan keperempuananku pada setiap gejolak yang hidup timbulkan.
Mari menari dan nikmati geliat hidup
ini dengan mesra. Mengulum setiap perpisahan dan pertemuan tanpa ragu. Menyetubuhi
jiwa. Mengarsipkan penantian. Menghormati proses.
Tidak ada lelaki dan perempuan di
sini; yang ada, hanyalah kita.
Comments
Post a Comment