Idola
Rasa-rasanya, seumur hidup, saya tidak pernah memiliki idola. Atau barangkali, saya yang tidak mengerti arti dari 'idola'? Orang biasa
mengatakan pada saya betapa mereka mengidolakan A, B, C, lalu menghabiskan sisa
pembicaraan dengan menceritakan kebaikan-kebaikan setiap tokoh hingga sang
tokoh pantas, atau bahkan wajib, untuk diidolai. Rupanya pada pertemuan-pertemuan
berikutnya mereka akan mengulang cerita tersebut kepada subjek-subjek pembicara
berbeda. Mereka mengaitkan identitas diri dan berupaya meneladani sang tokoh
idola. Tokoh idola mungkin adalah salah satu cahaya penyemangat dalam jiwa
mereka selama hidup. Kalau idola seperti ini, saya memang tidak punya.
Hidup saya terisi oleh saya dan sejuta makhluk lain yang melangkah, entah berupa semangat atau beserta raganya, keluar-masuk: sekedar lewat, mampir lebih lama, atau dengan sadar memutuskan untuk tinggal. Apapun pilihannya, kehadiran mereka memberikan kesempatan bagi saya untuk mengamati, mengadopsi, memberi, menerima, membagi, dan menolak hal-hal yang mereka bawa ke dalam hidup saya. Suka atau tidak suka, baik atau tidak baik, sedikit atau banyak, mereka turut serta pada proses pembentukan saya menjadi ‘saya’. Saya belajar dan bersyukur, juga karena mereka.
Mereka mungkin menjadi alasan mengapa saya bergerak atau diam. Tetapi ini bukanlah permasalahan selera. Tidak ada kompetisi dalam hati saya. Pemikiran adalah bentuk pertimbangan yang terjadi terus-menerus berdasarkan pengalaman dan bukti-bukti yang ada. Saya tidak memiliki idola.
Atau, punya terlalu banyak idola?
Ah. Bukankah tidak ada bedanya?
Hidup saya terisi oleh saya dan sejuta makhluk lain yang melangkah, entah berupa semangat atau beserta raganya, keluar-masuk: sekedar lewat, mampir lebih lama, atau dengan sadar memutuskan untuk tinggal. Apapun pilihannya, kehadiran mereka memberikan kesempatan bagi saya untuk mengamati, mengadopsi, memberi, menerima, membagi, dan menolak hal-hal yang mereka bawa ke dalam hidup saya. Suka atau tidak suka, baik atau tidak baik, sedikit atau banyak, mereka turut serta pada proses pembentukan saya menjadi ‘saya’. Saya belajar dan bersyukur, juga karena mereka.
Mereka mungkin menjadi alasan mengapa saya bergerak atau diam. Tetapi ini bukanlah permasalahan selera. Tidak ada kompetisi dalam hati saya. Pemikiran adalah bentuk pertimbangan yang terjadi terus-menerus berdasarkan pengalaman dan bukti-bukti yang ada. Saya tidak memiliki idola.
Atau, punya terlalu banyak idola?
Ah. Bukankah tidak ada bedanya?
Comments
Post a Comment