Menjadi Mahasiswa

Menjadi mahasiswa. *nyengir*

Dulu, semasa saya SMA, memikirkan jadi mahasiswa rasanya excited banget. Tidak perlu menyeterika seragam, tidak repot bawa buku pegangan, bisa berkenalan dengan lebih banyak orang dari beragam latar belakang kebudayaan. Hidup di kos-kosan dan mengatur uang sendiri (yang seadanya). Mungkin sebagian orang tidak menyukai perubahan ritme kehidupan siswa menjadi mahasiswa, namun bagi saya, itu sangat menarik! Rasanya seperti belajar menata kehidupan milik saya sendiri, susah maupun mudah, sedih maupun senang, memaksimalkan apa yang ada pada diri saya untuk berkembang menjadi lebih baik lagi.

Sejak kecil saya ingin tahu bagaimana rasanya menjadi seorang dewasa. Ketika saya bisa secara penuh bertanggungjawab atas keputusan yang saya ambil. Berbagi ide dengan orang-orang dewasa lainnya dan bekerjasama membuat hal-hal hebat yang bermanfaat. Menjadi mahasiswa, di benak saya, adalah satu langkah menuju tahap tersebut.

Singkat cerita, jadilah saya seorang mahasiswa di UI. Mempelajari suatu jurusan yang konon, di negara ini, tidak prestisius dan tidak dikenal sebagai pencetak pekerja 'lahan basah': Biologi. Hampir semua orang, mulai dari sanak saudara, kenalan, yang tak pernah sekolah, yang sekolah sampai tingkat doktoral, mengatakan hal serupa pada saya: "..ooh, biologi. Mau jadi guru, ya?"

Saya hanya perlu tertawa, sepalsu mungkin, untuk menjawabnya. Buat apa repot-repot menjelaskan pada mereka yang mungkin memang tak pernah familiar dengan jurusan saya? 

Biologi merupakan ilmu sains dasar yang digunakan untuk mencari solusi dari permasalahan bertema 'makhluk hidup' dengan metode ilmiah. Cakupannya luar biasa luas, dan semakin meluas dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Seorang biolog mempelajari sistem makhluk hidup dari tingkat selular hingga ekosistem. Bisa dibayangkan betapa rumitnya? 

Biolog, tidak hanya menjadi ahli di bidang wildlife seperti yang bisa disaksikan di saluran National Geographic atau pusat konservasi alam. Biolog membuat pemetaan DNA manusia untuk membantu dokter menemukan cara menyembuhkan penyakit. Biolog meneliti perilaku dan kandungan fungsional tetumbuhan untuk membantu farmakolog meramu obat atau membantu petani mendapatkan panenan yang efisien. Biolog meneliti mikroorganisme untuk memanfaatkannya bagi kehidupan manusia: pengolahan limbah, sintesis hormon, penyucihamaan produk. Biolog menjadi salah satu orang pertama di balik layar perkembangan teknologi yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Hanya saja, kabar kiprah itu mungkin tidak pernah sampai ke telinga mereka. Kalau demikian adanya, ya sudah :)

Lanjut ke topik. Menjadi mahasiswa itu, mengutip kalimat teman-teman mahasiswa, adalah "...banyak tantangannya." Saya sering mendengar keluhan teman-teman bahwa panduan dalam berkuliah yang mereka harapkan ternyata tidak didapatkan di kampus. Banyak dari mereka yang boro-boro mengurus mata kuliah, mengurus hidupnya di kos saja masih serba bingung, alhasil kuliahnya jadi berantakan. Tapi kampus, menurut saya, memang tempat di mana kemampuan seseorang bertahan dan berkembang diuji: tidak akan ada penyelesaian yang datang tiba-tiba tanpa dicari. Seseorang yang telah terbiasa berpikir, beraksi, dan berinteraksi dengan orang lain secara mandiri, tidak akan mengalami kesulitan berarti untuk beradaptasi dengan kehidupan kampus. 

Kampus juga tempat di mana seorang manusia, dalam bentuk mahasiswa, berkenalan secara personal untuk pertama kalinya dengan lika-liku kehidupan publik. Fusi maupun benturan dari ideologi, kepentingan, peraturan, dan kebiasaan kultural antar-individu dan kelompok terjadi hampir setiap hari, setiap waktu, bersamaan dengan terjadinya proses sosial sehari-hari yang melibatkan kepedulian dan cinta-kasih. Hal tersebut menciptakan lapisan-lapisan dalam kumpulan mahasiswa, sesuai dengan karakteristiknya: aktivis, apatis, agamis, akademis, terserah saja. Peran mahasiswa, toh, tidak permanen. Suatu saat mereka akan terjun ke masyarakat sebagai manusia dewasa, meneruskan kehidupan sesuai dengan peran barunya masing-masing.

Atau setidaknya, yaah, begitulah gambaran ideal yang sering saya dengar saat kuliah atau diskusi-diskusi di kampus.

Kenyataannya memang tidak selalu seperti itu.

Saya membaca sebuah artikel menarik di website insideindonesia.org berjudul "A Nation of Dunces?". Artikel tersebut menuai banyak tanggapan, pro maupun kontra. Namun ketertarikan saya terhadap artikel tersebut murni karena saya merasakan dan melihat hal yang serupa dalam keseharian saya. Saya jarang menemukan artikel yang mengupas sedalam itu, dari berbagai sudut pandang, mengenai pendidikan di Indonesia, selain yang mengritik atau membela habis-habisan sistem pendidikan kita berdasarkan kacamata partai atau golongan si penulis. 

Sebenarnya tidak ada hal baru yang dituliskan dalam artikel itu. Saya percaya hal-hal yang ada di dalamnya bukan lagi rahasia, bukan lagi hal-hal yang tidak dapat diketahui secara mudah oleh orang-orang yang peduli. Seperti yang saya duga, saat membaca tanggapan-tanggapan terhadap artikel, banyak hal yang membuat saya nyengir sendiri: kalimat sanggahan beberapa guru, kalimat diplomatis orang Depdiknas, kalimat tak terima seorang wanita karier yang anaknya disekolahkan sebagai dokter, kalimat setuju beberapa karyawan swasta, dan lain-lain. 

Saya sendiri memang merasakan demikian: ada hal-hal yang tidak masuk di akal saya tentang sistem pendidikan di Indonesia. Ketika SD, saya melihat oknum-oknum yang mencoba memberikan bocoran UN ketika ujian secara terang-terangan. Ketika SMP, saya melihat oknum-oknum yang menjual jasa mengeluarkan ijazah dengan nilai UN tinggi agar dapat diterima di SMA unggulan. Ketika SMA, saya melihat oknum-oknum yang menjual bangku jurusan favorit di PTN ternama seharga ratusan juta rupiah. Bagaimana saya bisa mempercayai sistem seperti itu?

Tapi tak semua orang peduli. Tak semua orang merasa hal itu perlu dievalusi. Sebagian besar teman-teman saya berkata hal itu sudah lumrah, tidak ada gunanya dipermasalahkan. Banyak teman bahkan berkata, "Elo kan pinter Prit. Elo bisa dapat apapun yang lo inginkan karena lo tahu bagaimana cara mendapatkannya. Gue hanya bisa memakai cara seperti itu kalau mau mendapatkan hal yang sama dengan lo." 

Saya sedih, benar-benar sedih, mendengarnya. Tahukah guru-guru itu bahwa seperti itulah pola pikir murid-murid mereka? Tahukah dosen dan petinggi universitas negeri ternama itu bahwa seperti itulah pola pikir mahasiswa-mahasiswa baru yang mereka jaring? Tahukah masyarakat, bahwa inilah bibit-bibit tokoh akan terjun ke tengah mereka? Sadarkah pemerintah bahwa beginilah kualitas produk-produk manusia yang terjadi di negara pimpinan mereka?

Atau...memang disengaja? Entah.

Kelak teman-teman tersebut akan menikah dan berkeluarga, membawa pola pikir tersebut ke dalam keluarga mungilnya, melahirkan generasi penerus yang terdidik oleh pola pikir orangtuanya. Terus-menerus. 

Semenjak jadi mahasiswa, saya sering teringat akan sejarah. Saya teringat pada mahasiswa-mahasiswa masa lampau yang konon lebih keras kehidupannya. Saya membaca tulisan-tulisan mereka, mengamati catatan tentang kiprah mereka, melihat perbedaan-perbedaan mulai dari jaman STOVIA sampai UI; dari jaman Ir. Sukarno sampai Pius Lustrilanang. Kesimpulannya? Zaman terus berputar!

Puluhan tahun yang lalu, ketika sebagian besar rakyat Indonesia ditempatkan di bawah jajahan Belanda, perasaan senasib mungkin menggerakkan mereka untuk bekerja sama menciptakan kehidupan yang lebih baik. Masa ini adalah masa ketika masyarakat telah mendapatkan banyak contoh betapa nikmatnya kehidupan orang-orang berduit: studi banding sambil jalan-jalan ke luar negeri, punya rumah mewah dan mobil selusin dari deposito uang negara, naik haji dari hasil membuat ijazah palsu. Buat apa pula menjadi orang waras jika kewarasan tak membuat mampu beli galaxy tab? Kenapa harus menolak uang suap yang setara harga Mini Cooper baru buat istri? 

Maka segala hal jadi berujung duit. Mahasiswa pun begitu: kuliah + IP bagus = dapat posisi bagus di perusahaan/jadi karyawan BUMN/jadi PNS berprofesi = duit yang banyak. Padahal di dalam rumus ngaco barusan, ada banyak hal yang tak bisa dikuasai dengan proses instan. Uang memang penting. Tapi uang tidak akan bisa membeli segalanya.

Dulu, di benak saya, menjadi mahasiswa adalah bersentuhan langsung dengan fenomena-fenomena itu, mendiskusikannya, memecahkannya, melakukan sesuatu dengannya, menawarkan sudut pandang lain kepada masyarakat dari sisi orang-orang muda yang belum menanggung konsekuensi dari biaya popok dan susu atau uang sekolah anak. 

Menjadi mahasiswa adalah memperlihatkan pada masyarakat tentang opini seseorang yang belum terinfiltrasi oleh kepentingan oknum manapun.

Menjadi mahasiswa adalah melakukan perubahan dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, tanpa pamrih apa-apa.

Menjadi mahasiswa bukan sekadar datang kuliah, ngerumpi tentang artis Korea, ngumpul untuk main Pro Evolution Soccer, mencari cowok ganteng dan tajir sebagai suami impian, menceramahi teman soal agama, membangun sistem politik kampus yang sama maruk dan kacaunya dengan politik negara, dan hal lain semacam itu.

Saya? Saya hanya bisa menulis, itu pun jarang, terutama ketika musim ujian. Semakin sulit mencari teman bicara yang tidak akan menimpali dengan tatapan kosong, lambaian tak peduli, atau "...sebenarnya elo ngomongin apa sih, Prit?"

Saya berbaur. Bertukar pendapat. Bercerita untuk mereka yang ingin mendengar. Mendengarkan mereka yang haus didengar. Mengerjakan pekerjaan saya sebaik mungkin. Memaksa diri tetap tenang dan dingin meski situasi memanas. Membaca. Menelaah. Mengamati. Belajar, sebanyak mungkin. Menulis. Bergerak. 

Mencoba, menjadi, mahasiswa. 




Comments

Popular Posts