Diamante Bulan Purnama

Purnama, adalah suatu ketika, kita duduk bersisian memandangi jalanan arah Lembang yang telah sepi angkutan. Kita pesan sebuah mobil berikut supirnya dari hotel dengan harga yang mahal. Aku menyayangkan uangnya, tapi kamu menutup perdebatan dengan mengatakan, tak ingin pulang malam-malam di kota asing bersama wanita cantik yang harus dipertanggungjawabkan. Maka aku terdiam dan bersila di sisimu dengan cemberut.
Bulan berpendar pelan-pelan di kegelapan langit Bandung yang melarut. Aku sibuk memperhatikan lampu-lampu tanam di dalam keramik lantai, sementara kau menoleh ke belakang, menatap papan besar bertuliskan: GUMILAR REGENCY. Kau tertawa, disusul tawaku beberapa detik kemudian. Kita baru saja menonton satu konser tunggal band lokal terkeren—barangkali sepanjang masa—dengan penuh perjuangan: berjibaku dengan angkutan umum, nyasar di sembarang tempat, bengong menyadari betapa cupunya outfit bila dibandingkan dengan orang-orang Bandung yang suka dandan, dan di sanalah kita, terdampar di pelataran resort mewah menanti jemputan menjelang pukul satu pagi.
Sweetheart, that was the sixth months of us, going together.

Purnama berikutnya tiba ketika aku turun dari kereta, di stasiun dekat rumah. Langit di atas tempatku tinggal cenderung mendung saat malam, maka purnama yang datang tak selalu kelihatan. Tapi malam itu dia bersinar, lembut dan cantik, memberikan rasa hangat yang mengingatkanku tentang hari-hari hujan dan genggaman tanganmu, tentang lelucon dan kisah-kisahmu.

“Aku masih nggak ngerti kenapa kamu milih yang kayak gini,” kamu berkata sambil menunjuk diri, tertawa-tawa. Kita sedang mengunyah roti produksi sebuah toko baru di mall paling mewah sepanjang kawasan Margonda. Bukan untuk sebuah gaya hidup, melainkan untuk mencicipi kualitas yang ternyata sepadan dengan harga. Aku menelan potongan rotiku dan menjawab, “...haven’t I give you many answers for that?
Really?” kamu meremas plastik roti kacang merahmu sampai berbentuk bola dan membuangnya ke asbak. Pernahkah kukatakan betapa aku heran padamu? Sudah jauh-jauh ke toko roti ala Paris, masih juga kau pesan roti isi kacang merah atau hijau yang mirip onde-onde. Apa yang akan terjadi kalau nanti kita tinggal di Boston, yang langka akan beras dan rempah Jawa?
They said, true love never really need a reason,” ucapku, “...but if you really need to know, I would say, because you’re, originally, a true person.”
Kamu mengacak-acak rambutku dan mencium keningku. Kalau ini terjadi di fakultas kita, kita akan dicap hobi bermesraan di tempat publik. Tapi tampaknya kita terlalu masa bodoh untuk peduli.

Sejak saat itu, purnama selalu tiba setidaknya satu kali dalam sebulan. Hadir ketika aku merindukanmu yang pergi jauh. Hadir ketika kita melewatkan waktu semalaman dalam perbincangan abstrak, saat aku berkeluh-kesah padamu tentang dunia.

“Aku benci orang yang tidak mau ikut aturan,” ucapku, memeluk sebelah lenganmu sambil tengkurap. “Aku tidak mengerti isi kepala orang-orang yang pergi bekerja nine to five setiap hari, meninggalkan anak di rumah dengan babysitter dan uang saku besar, lalu menghabiskan weekend dengan pengeluaran tinggi. Aku tidak mengerti isi kepala orang-orang yang melamar jadi guru hanya agar bisa menerima insentif dua kali lipat setelah sertifikasi. Aku tidak mengerti isi kepala orang-orang yang berbohong pada setiap masa pemilihan caleg hanya untuk korupsi di kemudian hari. Aku benci orang yang memblokir jalanan umum untuk memasang tenda nikahan, yang naik motor melawan arah, yang meminta-minta di jalanan, yang merasa paling suci, yang menyuap birokrat dan pegawai negeri, dan paling benci, orang yang merasa itu tidak benar, namun hanya diam dan malah ikutan berbuat salah! Benci! Aku benci!!”

Kamu terperangah, mengusap-usap punggungku. Memelukku erat begitu lama. Kamu yang tidak pernah cerewet dan jarang berdebat. Kamu, yang barangkali hanya akan berkata-kata kepadaku seorang.

“Aku janji,” ucapmu akhirnya,
“..kita tidak akan jadi salah satu dari mereka.”
Itulah detik pertama aku menyadari alasan sesungguhnya aku menyukaimu.

And that, Sweetheart, was just the eigth months of us, going together.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok, lusa, atau sepuluh tahun lagi. Tapi aku tahu, aku takkan berhenti mengejar apa yang aku inginkan. Tidak juga kau, akan berhenti.
Mari berlomba dengan waktu untuk menikmati hidup kita dalam keberartian kita layaknya manusia. Setegar angin. Selarut laut.
Mencinta diri kita yang saling mencintai.



Purnama
Menjelma, malam
Diamante penghujung bulan
Melambai mengerjap tanpa suara
Pada sepasang manusia
Bercinta memuja


Bulan

Comments

Popular Posts