Pulang

From : [Indira Citra Santi]
To : [
Alfaro Moses E.]
Subject : Alf !

First…congrats for your cum-laude graduation!
I know you’ve worked hard for your graduation…but you’ve never mentioned about your plan to be a cum-laude! Well, again, congrats.
Alf, aku nggak mau berburuk sangka, tapi sepertinya apa yang menakutkanku selama empat tahun ini nyaris benar-benar terjadi.
Aku tahu kamu pasti bingung apa maksudnya, tapi aku nggak bisa cerita banyak. Aku…aku…aku bahkan bingung kenapa sebenarnya aku merasa takut. Intinya…kita harus ketemu, Alf. Secepat mungkin.
Aku harap, kamu bisa cepat pulang.

P.S. uhmmm, well…, I just wanna remembering you…have you…? You, know, about, that? But yeah, don’t take it seriously if you don’t understand what I mean. I miss you.

**

-Kriingggg-
“Ah,” Indi mengangkat wajahnya yang sejak tadi ia sembunyikan di pelukan kedua lengannya, menoleh ke sekeliling. Tak ada siapa-siapa. Mbah Ipah mungkin sedang belanja kapur barus ke warung dan ibunya sedang berada di kamar. Akhirnya ia bangkit, dan mengangkat telepon.
“Halo?”
“…Indi?” lamat-lamat, terdengar satu suara di seberang sana, dilatari suara-suara operator bandara dan deru mesin pesawat terbang yang akan lepas landas.
Seember air es seolah menyiram sekujur tubuhnya seketika.
“…Alf?!”

**

Suara terkejut Indi membuat Alfaro refleks tersenyum.
“Aku barusan sampai di Jakarta. Sori, nggak bisa pulang lebih cepat. E-mail kamu mendadak banget datang sampai aku nggak bisa reserve tiket,” jelas Alfaro, seraya melangkah keluar Gate 7 dengan tergesa-gesa. Mantel cokelatnya tersampir berayun-ayun di bahu kirinya, sementara lengannya menyeret koper berodanya menuju lobi.
“Jakarta?! Kamu, pulang?! Aaaaalf….kenapa nggak bilang sebelumnya kalau mau pulang? Aku—”
“Emang mau ngapain? Bikin pesta kejutan?” tukasnya meledek. Ia memendekkan pegangan kopernya dan mulai menentengnya keluar lobi. “Yah, banyak kejadian yang bikin aku nggak kepikiran buat telepon dulu. Toh sekarang udah sampai, kan?”

**

Indi memegang teleponnya sambil tertegun, mencoba mencari satu-dua kalimat yang pantas diucapkan untuk empat tahun yang hanya mereka lewatkan via satelit. Terlalu banyak, gumamnya dalam hati, terlalu banyak hal dan kata untuk dikatakan.

**

“Ciledug, Komplek Larangan Indah, Pak,” ucap Alfaro begitu ia memasuki taksi. Sang supir taksi melaju dan didengarnya suara Indi memanggil.
“…Alf? Halo, Alf?”
“Yoo, aku masih di sini. Aku—” Alf menjawab secepat yang ia bisa, tapi suara Indi kembali memotong kalimatnya yang belum selesai,
“…kamu mau ke Larangan Indah?”
“Ya. Kamu bilang pengen ketemu, kan?”
“Tap—tapi, Alf—”
“Iya, aku tau,” giliran Alf yang memotong kalimat Indi, “…di jogging track, bukan di rumah. Tunggu aku, oke?”

**

Telepon Alfaro terputus.
Meninggalkan Indi yang berdiri termangu.
Setelah sekian lama, akhirnya Alf kembali…membawa harapan yang seharusnya juga milik Indi.Tapi…
Kenapa dia tidak memberitahuku sebelumnya? Kenapa harus tiba-tiba begini? Bukan, Alf
, Indi menggigit bibir, bukan pesta kejutan. Hanya satu kejutan kecil. Indi menelan ludah.
Satu kejutan kecil.
Cepat Indi tersadar, lalu ia bangkit, meraih jaket abu-abunya dan pamit keluar. Ia berjalan sambil termenung.

**

“Aku bakal kuliah ke Harvard, Ndi,” cetus Alf suatu sore, seusai mereka merayakan kelulusan bersama beberapa teman seangkatan. Mereka sedang duduk berdua di Food Court PIM 2, menikmati masing-masing semangkuk es krim NNZ. Mendengarnya, Indi refleks menelan es dinginnya, membuatnya terbatuk.
“Uhuk…kamu…uhuk…ke Harvard?”
“Ya. Tiga bulan yang lalu aku nyoba ngirim formulir pendaftaran dan ternyata, baru tadi pagi e-mailnya kubaca, aku diterima. Untungnya, beasiswa penuh,” jawab Alf, tersenyum lebar. Indi terbelalak, jemarinya mengaduk-aduk mangkuk esnya.
“Hebat…jurusan apa?”
“Manajemen sains terapan untuk industri,” jawabnya lagi seraya mengulum sesendok es krim. Indi hanya tertunduk.
“Berarti…bakal ke Amerika, nggak pulang-pulang, dong?”
“Tergantung, lagi ada duit dan waktu atau nggak. Kalo ada, aku pasti pulang,” jawab Alf. Indi membuang wajah. Amerika. Sejuta kesempatan bisa Alf dapatkan di sana, seperti juga ia bisa mendapatkan sejuta kemungkinan bertemu dengan seseorang…
“Ndi?”
Dengan malas, namun perih, Indi menoleh. “Ya?”
“Hari ini, aku mau pamit. Mungkin kita nggak akan lagi ketemu sampai empat tahun ke depan. Semoga waktu itu aku udah lulus. Tapi, sebelum itu…aku mau ngasih tau kamu, kalo aku…aku udah bikin keputusan.”
“Tentang?”
“Selama aku di Amerika, aku…aku bakal belajar tentang Islam.”
-CRANG-
Indi tergagap, menatap Alfaro yang sedang melihat lurus pada matanya. Ia begitu terpaku hingga bahkan tidak mengindahkan pelayan yang memungut sendok esnya yang jatuh dan memberinya sendok baru. Alf yang mengucapkan terima kasih untuk si pelayan, sementara Indi duduk terdiam, menunduk ke arah pangkuannya.
Oh, my...

**

Taksi itu melaju sepanjang jalan utama Pondok Cabe yang anehnya, lengang.
Alfaro termenung. Sebuah memori lama berputar di benaknya. Suatu sore, di Food Court PIM 2, setelah kelulusan. Dengan semangkuk Berry Surprise dan Frozen FruityChoc. Ia baru saja mengucapkan terima kasih untuk seorang pelayan yang mengambilkan sendok baru bagi Indi, dan tiba-tiba Indi mendongak, matanya berkaca-kaca.
“…Alf, kamu…kamu nggak perlu…nggak perlu melakukan itu kalo kamu—” namun ia tidak melanjutkan kalimatnya. Ia menatap mata Alf, begitu lama, lalu berkata, “…kamu yakin?”
Alf mengangguk, mantap. “Ya.”
“Kalo gitu,” ucap Indi, bibirnya mulai tersenyum, “…aku bakal tunggu hasilnya. Aku harap kamu nggak pergi terlalu lama.”

Alfaro meletakkan sikunya di sandaran pintu dan mengelus kening. Empat tahun, bisiknya pada diri sendiri. Dan Harvard adalah satu-satunya jalan bagiku untuk mengusahakan ini semua. Setidaknya, lebih baik, daripada terus-terusan berada dekat dengan rumah. Tapi…
Alfaro menghela nafas.
Aku sudah belajar banyak, Ndi. Banyak hal. Tapi aku masih ragu.
Alfaro mengamati gang-gang kecil yang berjajar sepanjang setiap beberapa puluh meter di sisi kirinya.
“Belok kiri, Pak,” ujarnya pada supir taksi.
Jadi, yakinkan aku, Ndi. Yakinkan aku sekarang. Semoga saja aku belum terlambat.
Namun, tanpa sepengetahuannya, jauh di atas sana, langit cerah perlahan bersua dengan kelabu mendung.

**

Indi baru saja memasuki kawasan jogging track yang hijau dan segar ketika ia menyadari, langit di atasnya berubah mendung. Hujan akan turun, entah dalam berapa lama. Tetapi Indi tetap duduk di salah satu bangku jogging track.

“Ndi, kamu kan, sudah cukup lama jalan sama Sakti. Dia sudah pernah bilang, kapan akan melamar kamu?” pertanyaan yang ditakuti Indi itu akhirnya terucap juga oleh Mama suatu pagi, saat ia bersiap untuk berangkat kuliah.
“…ngg, be…lum, tuh,” jawab Indi, singkat. Ia ingin merasa terburu-buru. Ia ingin cepat-cepat menghindar. Tetapi waktu seolah makin berjalan melambat.
“Masa, sih? Kemarin, Mama ketemu sama Mamanya Sakti. Dia bilang, …,”

Cukup sampai di situ, dia berkata pada diri sendiri, tak ada rincian lain yang ia ingat, atau tepatnya, tak ada lagi yang mau ia ingat, dalam kalimat Mama. Ia paham betapa Mama tak mengerti akan keinginannya untuk tidak cepat-cepat bertunangan. Ia paham betapa Mama akan kebingungan jika ia mengutarakan niatnya untuk menunggu, bukan kesiapan dirinya, bukan juga kesibukan Sakti mengendur, tapi untuk seorang lain yang akan pulang dari Harvard, dan kemungkinan, akan jadi mualaf. Tapi ia benar-benar tak paham, mengapa Mama selalu menyanjung Sakti sebagai sosok paling sempurna.
“Apa lagi sih yang kamu tunggu, Ndi? Dia itu pintar. Ramah. Punya rasa hormat. Dan sebentar lagi, dia bakal mapan. Jadi kurang apa lagi, Ndi?” ujar Mama penuh heran, setiap kali Indi mencoba menyelinap dari percakapan mereka soal keseriusan hubungan Sakti dengannya.
“Tapi, Ma…kuliah Indi kan belum selesai. Nggak enak ah kalo cepet-cepet nikah…,” elak Indi.
“Lho, yang bilang kamu harus cepat-cepat nikah itu siapa, Ndi? Tunangan aja dulu, jadi setidaknya ada ikatan yang resmi. Insya Allah kan jalan ke depannya lebih lancar…”
Justru itu, pikir Indi, justru ikatan resmi itu yang pengen gue hindari.
“Tapi, kan, belum tentu Sakti Ma orangnya…”
“Maksud kamu?”
“Ya, siapa tahu, masih ada kemungkinan orang lain yang..—”
“—hus, kamu ini, kok gitu sih ngomongnya? Ada masalah sama dia?”
“Nggak, sih, tapi—”
“—tapi kenapa?”
“—tapi, Indi mau selesain skripsi dulu. Biar pesta tunangannya bareng sama syukuran kelulusan,” jawab Indi, tidak mengindahkan kata hatinya yang menukas, ‘Speeeaaak.’
“Oh, kenapa kamu nggak bilang? Beres aja kalo gitu…bisa diatur…”

Indi menghela nafas. Kini ia sungguh menyesal, kenapa ia tidak bisa menangguhkan janjinya lebih lama lagi. Ia juga menyesal, kenapa tidak sejak awal ia berterus terang pada Alf. Pertemuannya dengan Sakti bukanlah satu momen dramatis yang membuat pikirannya tak bisa berhenti berkhayal atau nyaris tak bisa tidur setiap malam. Entah apakah itu bentuk lain dari kedewasaan atau memang kisah mereka terbukti tidak seru, tetapi Indi merasakan hal familiar tentangnya: mereka yang kebetulan satu kampus, lalu satu hari yang entah naas entah bagus mempertemukan mereka saat salinan kuisioner untuk bahan skripsi Sakti tertinggal di tempat fotokopi kampus. Indi mencari pemilik kuisioner bernama Sakti itu ke seluruh pelosok kampus, tanpa hasil, sampai akhirnya ia hampir menyerah, dan terduduk lemas di titik awal tempat ia tadi menemukan kuisioner itu: di depan koperasi tempat fotokopi, tepat di sebelah seorang cowok yang bermuka sama kusut dengannya, dan tiga menit kemudian, mengenalkan dirinya sebagai Sakti, yang rupanya pemilik kuisioner itu.
Begitu saja.
Selanjutnya kehidupannya mengalir persis seperti kisah-kisah Teenlit remaja: perkenalan berlanjut pada obrolan, obrolan berlanjut pada janji bertemu, dan tiba-tiba, bahkan Indi tak begitu ingat kapan, mereka resmi pacaran.
Begitu saja.
Tak ada cerita tentang Sakti yang punya kembaran, menyelamatkannya dari tumbukan bola basket, atau, memutuskan untuk tidak memulai hubungan apapun karena satu perbedaan religius yang rawan.
Semuanya berjalan lancar, manis, dan…datar. Sampai sebuah e-mail datang dari Alf, mengabarkan satu hal: ia telah mulai belajar tentang Islam.

Indi menunduk, menatap cincin putih keperakan bermata berlian di jari manis kirinya. Sakti adalah sosok humoris, ramah, dan romantis. Sakti mengisi kesepiannya saat Indi membutuhkan lebih dari sekedar e-mail atau telepon. Berada di sisi Indi setiap saat ia membutuhkannya secara nyata, bukan virtual. Seluruh keluarganya juga amat menyukainya, dan itulah alasan terbesar mengapa ia mengalah dari ego dirinya: restu dari orang tua pasti akan mempermudah urusan apapun.
Meskipun sebenarnya ia sangat ingin menunggu.
Kalaupun sekarang aku masih menunggu, akankah semua berjalan selancar sekarang, Alf? Akankah Mama tidak cerewet menghadapi kamu nanti? Dan akankah kamu…benar-benar…
Indi menengadah. Awan di atasnya mulai menggumpal, tapi sepertinya belum tampak cukup kelabu untuk bisa menurunkan hujan.
Maaf kalau tidak bisa bilang dari dulu…
Sebab ia takut, jika Alf tahu tentang Sakti, ia akan menjauh dan tidak kembali lagi.

**

“…halo, Alf! Kamu di mana sekarang, Nak?”
“Jakarta, Ma. Aku—”
“Jakarta?! Aduh, kamu, kenapa nggak kasih kabar kalau mau pulang? Eline sudah—”
“Banyak yang harus diurus, Ma, ini juga aku pulang mendadak. Aku nggak kepikiran buat telepon dulu,” jelas Alf, mengetuk-ngetukkan buku jarinya tak sabar sebab jalanan begitu macet. Tak berubah.
“Tapi ya sudah kalo gitu, yang penting sekarang kamu sudah pulang, kan? Mama telepon Eline, ya, dia pasti senang kalau—”
“…nggak usah, Ma, nanti aku telepon sendiri.”
“Ya, terserah kamu. Oh, ya, Alf, kebetulan, tadi Mama baru aja ngomongin sama Alan, …”
“—oh, shit.” Macet total.
“Apa kamu bilang?”
“Bukan, bukan apa-apa. Kenapa, Ma?”
“Itu lho, Mama baru aja ngomongin sama Alan, tentang acara tunangan kamu sama Eline. Kamu bilang, segera setelah kamu pulang, kan?”

“…” nafas Alfaro mendadak berhenti mendengar tiga suku kata yang diucapkan ibunya. Tu-na-ngan.
An engagement? Am I ever mentioned that?

…oh, yes. Once. But NOT for me. Crap. Stupid me.

…NO. Not me. Stupid Alan
.
“Alf?”
“Ya, Ma. Aku dengar. Hp-nya low batt nih, nanti aku telepon lagi ya. Sampai ketemu, Ma.”
-klik-

Kini ia bernafas terengah bagai baru saja berlari sprint.
Ya Tuhan.

“Alf..?”
Alfaro baru saja meletakkan barang-barang yang akan dibawanya ke Harvard di bagasi ketika gadis cantik berambut bob itu menyentuh bahunya.
“Ya?” Alfaro menoleh. Eline menatapnya dengan raut wajah seorang anak kecil merajuk.
“Cepat pulang, ya. Belajar yang serius.”
Alfaro tersenyum. Sebab hanya itu yang bisa dilakukannya. “Sip.”
Ia berpamitan, dan melangkah masuk mobil, tapi Eline lebih cepat menariknya keluar dan mencium pipinya.
“Tolong janji,” ucapnya, mata sipitnya membulat saat menatap Alfaro, “satu saat kamu akan pulang dengan selamat.”
“Aku janji,” jawab Alfaro, dengan wajah memerah. Tiga tahun di SMA masih saja tidak membuatnya terbiasa dengan hal-hal semacam itu. “I’ll be there. And bring the best thing.”Saat mengatakan itu, ekor matanya menangkap sosok Alan yang duduk dengan gelisah di kursinya, seolah ingin cepat-cepat menstop adegan itu.
“Alf! Lo bakal ketinggalan pesawat kalo mesra-mesraan terus kayak gitu.”
“Ya, iya! Berisik ah,” tukasnya, lalu kembali menatap Eline, “…aku pergi, ya.”
Pintu mobil menutup, dan mobil itu mulai melaju.
“Heh, empat tahun bakal jadi waktu yang lama, Al. Jangan habiskan semuanya dengan bertindak bodoh,” ujar Alf pada adik kembarnya.
“Maksud lo?”
“Jujur sama gua, ya,” Alf memutar wajah, menunjuk Alan, “…lo naksir sama Eline, kan?”
“Ah, ngomong apaan sih—”
“..iya nggak?”
Alan menatap Alf, lalu membuang pandangan ke depan.
“Naah, kan,” Alf berseru. “Lo nggak bisa bohong sama gua, inget tuh, Al. Nggak akan pernah.”
Itu adalah percakapan langsungnya dengan Alan, empat tahun yang lalu. Tak banyak yang Eline tahu tentang apa saja yang mereka obrolkan di dalam mobil, juga kesepakatan antara mereka berdua, sesaat sebelum Alf take off menuju Amerika.
Take care of yourself, Bro,” seru Alan, melambai dari jauh.

Take care of myself? I do. But you…what the hell are you doing there?.
Alfaro melengos. Entah apa yang berhasil Alan mengerti, atau mungkin temukan, tapi sejak kepergiannya, ibunya malah makin sering menyebut-nyebut nama Eline. Sesekali ia datang ke rumah, hanya untuk bantu-bantu memasak atau bersih-bersih, meskipun tidak ada seorang pun yang ingin ia temui. Sebelum ia pergi, hubungannya dengan Eline baru berjalan sekitar tiga bulan, tapi tiga bulan setelahnya ibunya selalu menceritakan setiap detil yang terjadi seolah-olah gadis itu sudah jadi istrinya.
Istri? Ngebayanginnya aja nggak berani.
Alfaro mengubah posisi duduknya dengan gelisah. Baru tiga bulan. Itu sebabnya ia tidak pernah sengaja berniat terus terang pada Indi. Bukan hanya karena ia tidak tega atau takut ditinggal.
Tapi…karena sejak awal, yang ada dalam daftarku memang cuma kamu. Indira. And I’ll bring the best for Eline…who is, actually, not me. But HIM.
Teleponnya mendadak berdering. Alfaro memeriksa layar telepon genggamnya dan nyengir.
“Oi…apa kabar lo sekarang?”
Suara di seberang menyambutnya dengan sama antusias. Mereka bercakap-cakap selama beberapa menit sebelum air muka Alf berubah.
“Apa…?!”
Alfaro mengulum bibir. “…ck, ah…ada satu hal yang nyaris gua lupain empat tahun belakangan ini, Al. Kenyataan kalo lo emang selalu bertindak bodoh.”

**

Indi hampir memutuskan bahwa Alfaro tak akan bisa sampai di sana sebelum titik pertama hujan menetes, maka ia beranjak dari bangkunya untuk pulang sejenak, dan kembali dengan membawa payung jika Alf menelepon lagi. Namun baru beberapa langkah berjalan,
“…Indi!”
Secepat kilat, ia berbalik, nyaris tidak mempercayai penglihatannya saat ia melihat sosok Alfaro beberapa meter di hadapannya, telah tumbuh jauh lebih tinggi. Rambutnya yang dulu jabrik, kini tumbuh menghitam, melemas, dan dibiarkan tumbuh lebih panjang dari saat terakhir kali mereka bertemu empat tahun lalu. Namun ia tetap menjadi sosok Alf yang sama, dengan mata telaga, senyuman dan jaket cokelat yang tersampir di bahunya. Indi ingin berseru, tapi seruannya tertahan.
“…Alf.”
Alfaro melangkah cepat ke arahnya, hingga mereka berdiri dalam jarak satu setengah meter. “…aku pulang, Ndi. As what I’ve promised.”

“Apa kabar?”
“Baik,” jawab Alf, kembali tersenyum. “Empat tahun kerasa singkat, ya, kalo kita udah ketemu begini. Jujur, aku kangen Indonesia. Suhu di Amerika cepat berubah. Dan makanannya membosankan.”
Bukan cuma membosankan, Alf. Haram. “Bagus, kalo kamu masih inget Indonesia.”
“Yah…something’ still waiting for me, here,” ucap Alf, mata telaganya menatap Indi penuh arti. “Kamu…,” tetapi Alf tidak melanjutkan kalimatnya. “—eh, apa yang gawat? Kamu belum banyak cerita sejak terakhir kali aku telepon. Kamu bilang, kamu baru bisa pastiin kalo kita udah ketemu, kan?”
Indi menelan ludah. Ulu hatinya bergolak mual.
“Duduk, yuk?” Alf menunjuk bangku taman, tetapi Indi bergeming.
“Alf…,” ucapnya, mengepalkan tangan kanannya di atas tangan kirinya yang bercincin, “…sebelumnya, aku mau minta maaf.”
“…untuk?”
“Untuk…untuk minta kamu cepat-cepat pulang, untuk udah bikin kamu khawatir, untuk…,” air mata Indi menggenang. Perasaan harunya bermuara pelan-pelan jauh dalam rongga dadanya, siap tumpah. Perlahan, takut-takut, ia membuka kepalan tangannya dan mengangkat tangan kirinya, tepat di depan dada Alf. “…ini.”
Tidak ada cukup sinar matahari pada cuaca mendung itu untuk memantulkan kilau cincin berlian Indi, tapi, warna putih keperakan yang terlihat sakral itu membuat Alf otomatis mematung.
Wajahnya seolah membeku.

**

An engagement’s ring???
Oh. Bangunkan gua dan bilang, ini cuma mimpi buruk
.
Tapi, tidak. Ada cukup banyak hembusan angin dingin, deru mobil yang lewat, juga siulan seseorang dan yang terpenting, ada Indi, juga cincinnya di sana. Di hadapannya. Alf tertegun.

**

“…Alf?”
Sesaat, Indi mengira Alfaro akan benar-benar marah. Ia tak pernah melihat wajah Alf mengeras sedingin itu sebelumnya. Namun matanya tetap menatap Indi dalam-dalam, seperti akan meluapkan sesuatu yang dibendung tanpa terkatakan empat tahun belakangan ini.
“…Alf?” Indi mulai terisak. Ia menggigit bibir, menangis sambil menunduk, menyembunyikan cincinnya dalam kepalan tangan kanannya.
Namun beberapa saat kemudian, sepasang lengan merengkuhnya. Alf memeluk tubuhnya, menyandarkan kepalanya pada bahunya, dan mengusap punggungnya.

**

“Sssh, udah. Nggak apa-apa,” ucap Alf, mencoba menenangkan Indi yang terisak. Ia terdiam sesaat, lalu berkata, meki terdengar lebih ditujukan untuk dirinya sendiri, “…lepasin semuanya. Lepasin semua yang kamu simpan empat tahun kemarin…ssh.”
Tanpa sadar, ia juga ikut menangis, seiring dengan turunnya gerimis.

**

Alfaro masih mematut diri di depan cermin, menatap bayangannya dengan tegang seraya mengikatkan dasi kupu-kupunya. Setelan tuksedo hitamnya dijahit khusus; harus diakuinya, membuatnya terlihat kokoh dan cukup keren untuk acara penting hari ini.
“…Alf,” pintu kamarnya terbuka, dan muncul sosok Alan dari baliknya, dengan setelan jas abu-abu. Eline bersikeras bahwa empat tahun belakangan telah menimbulkan perbedaan pada diri Alf, yang mana, semakin menyulitkannya untuk membedakannya dengan Alan, maka ia memutuskan bahwa setelan jas yang mereka pakai harus berbeda warna. Melihat penampilan Alf, Alan terkikik.
“Waah, gua nggak nyangka lo bisa kelihatan ganteng, Alf. Buruan! Tuh sedannya udah dateng.”
“Sialan. Kurang apa lagi sih lo bikin gua sengsara? BTW lumayan juga tuh jas abu-abu.”
“Beruntunglah lo bakal punya istri yang berselera tinggi,” ujar Alan sebelum menutup pintu dan menuruni tangga dengan suara berisik.
Lucky me? No, lucky her.
Alfaro mengancingkan lengan kemeja dalaman putihnya, dan memeriksa kembali bayangannya di cermin tanpa tersenyum.
It’s not the same thing I’ve seen out there. Ia menatap matanya sendiri dengan tajam.
After all the four years I’ve spent outta here…here I am now. Trapped in a tragic ending I’ve wrote by myself. Is it my fault? Because I was trying to abandoned Him?
But love is His charity. And I love her…more than even myself. Maybe I was just murmuring, but…I found something irreplaceable in her. A peace for ourself. Which is, she gets from her God. Can’t I say sorry for that? Can’t I?

“…Alf!” terdengar suara ibunya memanggilnya dari lantai bawah.
“Ya, ya, aku ke bawah,” jawabnya, merapikan ujung poninya, dan melangkah keluar.

**

Altar resepsi berkarpet merah itu berjarak sekitar sembilan meter dari tempat mobil pengantin akan diparkir. Sebuah kue pengantin bersusun tiga terletak anggun di atas meja bundar di ujung altar.
Indi meraih telepon genggamnya. Seharusnya, acara pemberkatan pengantin selesai setengah jam yang lalu.
“Udah dateng, belum, sih, Ndi?” tanya Sakti yang menemaninya duduk diseberang meja. Indi menggeleng.
“Gerejanya lumayan jauh. Mungkin jalanan lagi macet.”
Sakti mengangguk-angguk seraya menggeser-geser kerah kemejanya. Lokasi resepsi itu berada di tempat terbuka, dan setelan jas bukanlah jenis pakaian yang ia harapkan dapat dipakai pada suhu panas seperti ini.
Indi mengenakan gaun merah marun berkerah oval berlengan tiga perempat dengan sehelai pita perak melingkari pinggangnya. Seuntai gelang berhiaskan batu rubi melingkari pergelangan tangan kanannya. Sakti menatap Indi dan berkata, “…tumben banget kamu dandan.”
“Iya nih. Aneh ya?”
“Nggak sih. Cantik.”

**

Toyota New Camry yang membawa pasangan pengantin itu dihias karangan bunga berpita putih dan biru muda. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang, menuju ke tempat resepsi yang tinggal berjarak kurang dari 200 meter.
Di kabin depan, Alan yang duduk di kursi penumpang mencuri lihat sebentar-sebentar ke belakang lewat cermin yang terpasang pada penahan sinar mataharinya, menatap wajah Alfaro yang memerah. Ia nyaris saja terbahak kalau saja ia melupakan Eline yang bergaun pengantin warna biru muda, duduk dengan senyum bahagia di sisi Alfaro.
Beberapa saat tadi, sesi pemberkatan berjalan lancar, sampai akhirnya sang pendeta sampai pada bagian yang selalu menjadi daya tarik dalam film-film Hollywood,
“…you may kiss the bride.”
Seandainya Alan tega, ia akan berkomentar, “…gaya ciuman lo bahkan nggak cukup pantes untuk lolos audisi pemain layar tancep.”
Tapi, ia cukup tahu diri untuk tidak banyak bicara. Ia sadar, ia telah membuat satu-satunya harapan hampir mustahil yang Alf inginkan jadi benar-benar mustahil untuk terwujud.

**

Malam itu, di hari ketika Alfaro tiba di rumah untuk pertama kalinya sejak ia berangkat ke Amerika, Alan naik ke loteng, menyusul Alfaro yang duduk mencakung di atap rumah. Langit masih mendung, sehingga tak ada bintang yang terlihat.
“…Alf.”
“Kasih tau gua satu alasan kenapa gua harus membatalkan niat buat mengirim lo ke pabrik pengolahan kornet besok pagi, Al. Ngapain lo ke sini?”
“…karena kita kembar? Gua mau mastiin lo nggak melakukan hal-hal yang membahayakan. Loncat ke bawah, misalnya.”
“…bukan. Bahkan kalo kita kembar dempet di kepala pun, gua nggak akan segan-segan membagi kepala kita jadi dua bagian. Gua menyetujui ini buat Mama. Dan sori, kewarasan gua masih jauh di atas level desperate. Setidaknya gua nggak sebodoh lo.”
“Bohong. Lo mungkin belum cukup nekat buat loncat ke bawah. Tapi lo patah hati.”
Alfaro memutar tubuhnya dan berteriak.
“Terus, alasan apa yang bikin lo mengkhianati gua?! Agama?! Atau lo emang udah nggak bisa ikut rasain apa yang gua rasain?! Apa rasanya memaksa diri ngelawan apa yang seharusnya udah jadi jalan hidup gua—punya otak nggak sih?!”
Alan hanya terperangah.
“Oh, gua lupa. Lo punya otak. Tapi nggak punya hati.”
“…sorii, Alf—”
“Turun sono. Bete liat tampang lo.”
“Eh, dengerin dulu—”
“Nggak usah banyak omong!”
“Alf, gua—”
“Berisik!”
“IYA, SALAH GUA! SALAH GUA, ALF, INI SEMUA SALAH GUA! KARENA GUA TERLALU CINTA—” mendadak, Alan menghentikan seruannya, tersadar akan posisinya di atap rumah pada pukul 10.00 malam. Ia menoleh ke bawah, memastikan tak ada siapapun yang sedang terbelalak menatapnya.
“Bagus, tontonan gratis, malem-malem gini—”
“..karena gua terlalu cinta sama Eline.”
Alfaro menatap Alan seolah ia sedang memeriksa kekambuhan seorang mantan pasien rumah sakit jiwa. “Apa lo bilang?”
Alan menghela nafas. “Bahkan selang seminggu setelah lo pergi, gua udah move on. Tapi…semakin dekat gua sama dia, semakin banyak hal-hal tentang hubungan kalian yang dia ceritain ke gua. Mulai dari gimana kalian ketemu, ngapain aja kalo pacaran, sampai rencana-rencana dia kalo lo pulang nanti…dan yang paling menyakitkan, dia menganggap gua Kakak. Apalagi yang mau gua bilang? Kasih tau kalo gua sayang dia dan dia lebih baik milih gua karena lo suka orang lain? Gua nggak tega, Alf. Matanya nggak pernah berbinar seterang saat dia melihat lo. Masa, sih, gua harus bikin dia nggak bahagia?”
Alfaro tertegun, dan membuang wajah. Kenyataan itu pahit, tapi, Alan benar.
“Hey, gua tau, lo suka orang lain. Tapi, sejauh ini, lo nyaman sama Eline, kan?”
Alfaro mengembuskan nafas. “Ck. Cobaa si Sakti itu juga terlalu cinta sama Indi…”
“Yaa, beda, Alf. Gua senang kalo Eline senang. Mungkin buat Sakti nggak gitu. Lagian, emang Sakti tau? Dan seandainya lo punya kesempatan buat jalan sama Indi—”
“Apa?”
“…emang lo yakin bakal dapat restu?”
“Yakin.” Nggak sih, sebenarnya.
“Hmm. Terserah lo. Gua sih, nggak masalah lo mau jadi apa. Lo berhak ambil keputusan buat hidup lo sendiri. Termasuk soal agama.” Alan bergerak, menggeliat, dan menguap.
“Gua ngantuk. Tidur duluan, ya.”
Alfaro menanggapinya dengan anggukan.
Terpikir olehnya percakapan antara ia dan imam di sebuah masjid dekat Hypermart tempat ia biasa berbelanja tentang Islam dan cara masuk Islam.
“Allah will always lead people in His Way, my son. Just say, ‘La ilaaha illallah’.”
La ilaaha illalah.

**

"The bride is coming, all set in place!
Seruan itu diteriakkan oleh seorang wanita dari Event Organizer yang membawa HT. Ia berlari ke sana kemari, memastikan semua kru dan anak buahnya berada di tempat yang tepat. Semua tamu diminta berdiri untuk memberi penghormatan terhadap kedua mempelai.
Indi bangkit dari tempat duduk, mencoba menyikapi debaran jantungnya dengan wajar. Jika nanti mereka berpapasan, Indi akan tersenyum dan memberikan selamat, seolah di antara mereka tidak pernah ada ikatan apapun yang lebih dari sekedar teman.
“Indi…”
Indi menoleh, dan terbelalak.
“Indah!”
Indah, yang mengenakan gaun berwarna peach, memapas dan meraih bahunya. Mereka berpelukan sejenak.
“Aduuh, apa kabar? Datang sama siapa?”
“Tuh,” Indah menunjuk satu sudut di belakangnya, “..Fa!”
Rafael yang sedang mengambil segelas air itu menoleh, dan berjalan ke arah Indah. Alisnya bertaut, dan ia tertawa saat melihat Indi.
“…wah, Indira! Apa kabar?”
“Baaik,” Indi menyalami tangan Rafael yang terulur. Ia memperkenalkan Indah dan Rafa pada Sakti. “Ini, gimana ceritanya, kok tau-tau kalian di sini? Gue kira Alfaro nggak—”
“Rafa satu kampus sama pengantin ceweknya. Namanya Eline. Eh, omong-omong, Ndi, lo…gue kira, lo nggak akan datang,” ucap Indah, melirihkan kalimat terakhir. Sakti yang sedang berdiri di belakangnya tidak cukup dekat untuk memperhatikan, sementara Rafael hanya menatap mereka tak mengerti, sesekali memandang altar pengantin.
“…justru gue harus datang, Ndah. Soalnya—”
Kini mobil pengantin hitam itu berhenti di ujung altar, membuat Sakti refleks menggamit tangannya.
“Kita berdiri di sana, yuk.”
Rafael dan Indah mengikuti langkah mereka dan berdiri di satu tempat.
Pintu mobil itu terbuka. Sepasang kaki bersepatu hitam melangkah keluar, bersamaan dengan sosok Alfaro yang membungkuk, membantu Eline keluar dari mobil.

**

Alfaro menekuk siku lengannya, membiarkan Eline meletakkan tangan menggandengnya. Simfoni-simfoni pernikahan mulai terdengar, bunga-bunga mulai ditaburkan di sepanjang altar. Alfaro melangkah maju.

**

Indi berdiri dengan mulut terkatup, menatap pengantin di hadapannya yang melangkah perlahan. Ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengacaukan peran yang akan dimainkannya di sini. Tapi, ia tak bisa menahan diri mengakui perasaan kecewa dalam hati.
Dia ganteng. Eline…huff, cantik banget.

**

Seraya berjalan menuju kue pengantin, Alfaro mencoba menatap sebanyak mungkin tamu yang tersenyum, membalas senyuman mereka. Saat ia memapas teman-teman kampusnya, bayangan satu sosok tertangkap tiba-tiba oleh ekor matanya. Ia memutar wajah ke kiri dan melihat wajah Indi.
Selama beberapa detik, mereka saling menatap.
Lalu Indi tersenyum.
Sesuatu yang hampa memenuhi rongga dadanya saat menatap senyum Indi.
Dia…cantik. Cowok di sampingnya itu pasti Sakti.

**

“Ndi, …aku mau pamit.”
Indi menatap Alfaro penuh selidik, berpikir bahwa ia mungkin sedang bercanda.
“Kamu mau pergi ke mana lagi?”
Alfaro menatap Indi dengan sedih. “Nggak, nggak ke mana-mana.”
“Terus pamit buat apa?”
“Aku mau…,” Alfaro berhenti sejenak, sementara di luar kedai kopi itu, awan mendung menggelegarkan petir. “…nikah.”
-DUARR-
“Hah?” sesuatu yang rapuh terobek dalam diri Indi.
“Aku tau, aku udah sangat terlambat untuk bilang maaf. Tapi, aku juga salah, nggak terus terang sama kamu, Ndi…aku udah punya pacar. Tiga bulan sebelum aku kuliah.”
“…oh.”
Selama sepuluh menit, mereka berdua terdiam dalam kecanggungan, mencoba meresapi pikiran masing-masing. Semuanya berawal dari satu tunas yang tumbuh, berakar, menjalar ke atas…tapi tidak pernah cukup tua untuk berbunga. Setiap kuncup selalu terpotong jauh sebelum waktunya mekar. Tunas-tunas daun muda memucat tanpa sinar matahari yang cukup, hingga tinggallah batang dan daun hijau yang mulai melayu, menjadikan tanaman cinta itu bergelung bagai bonsai.
Indah, artistik, tapi membatu.
“Well…,” ucapan Indi terdengar setelahnya, “selamat kalo gitu, Alf. Semoga pernikahan kalian nanti langgeng.”
Alfaro mengangguk, bingung harus menanggapi apa. Indi meraih tas punggung mungilnya.
“Ada lagi yang pengen kamu bilang?”
Alfaro menggeleng. “Aku cuma pengen pamit. Kamu…kamu boleh datang ke resepsinya kalau mau. Nanti undangannya bakal dikirim.”
“Makasih banyak. Makasih buat kopinya juga. Mm…aku…aku buru-buru, Alf. Aku pulang, ya?” sebelum Alfaro mengatakan apapun, Indi sudah menggeser kursinya dan bangkit. Ia menoleh pada Alf sebelum pergi, dan berkata, “Daah, Alf.”
“Ndi, di luar hujan—”
“Aku bawa payung,” jawabnya tanpa menoleh. Gadis itu menghilang di balik pintu, meninggalkan Alfaro yang duduk dengan gemetar. Alfaro menatap keluar. Hujan turun dengan deras. Tanpa banyak berpikir, ia beranjak keluar untuk menyusul Indi.
“Ndi! Indi!” Alfaro berlari dalam hujan, menyusul sosok Indi yang berpayung merah. Gadis itu berhenti, tapi tidak menoleh. “Ndi…ada satu hal yang aku lupa bilang.” Alfaro tidak mempedulikan guyuran deras hujan dan orang-orang yang lewat di sisi kafe kecil itu. Indi menoleh. Matanya berkaca-kaca.
“Ndi…,” Alfaro melangkah mendekat, tapi tidak cukup dekat untuk ikut terlindung payung Indi. “Makasih juga…untuk waktu dan semua yang udah kamu kasih. Aku memang salah, nggak bisa menjanjikan sesuatu yang pasti buat kamu, tapi…kamu bikin aku bahagia.”
Indi menggigit bibir, dan seketika mendekat. Memeluk Alf dengan sebelah tangannya yang tidak memegang payung. Alfaro balas memeluknya. Namun saat wajahnya bergerak, hendak mencium kening Indi, Indi menengadah dan meletakkan tangannya di bibir Alf.
“Kamu basah. Kalo nggak cepat-cepat ganti baju, kamu bakal masuk angin.”
Alfaro bergerak melepaskan pelukannya, tertegun. Dibiarkannya Indi menariknya menuju mobil. Tanpa perlu berkata apa-apa, ia sudah mengerti maksud Indi.
“Cukup sampai di situ, Alf. Kamu sudah cukup banyak meninggalkan kenangan. Jangan bikin gue tambah luka.”

**

“…Alf?” bisikan lembut Eline menghentikan lamunan Alf. “Kenapa berhenti? Ayo, jalan.”
“Sori. Belum makan siang, jadi nggak konsen,” Alf balas berbisik.
Eline terkikik, ia masih membalas senyum tamu-tamu sepanjang altar. “Kamu masih kepikiran buat makan di acara resepsi?”
“Iyalah.”
“Tenang aja, kue itu cukup banyak untuk di simpan seminggu.”
“Aku pengen nasi Padang.”
“Wah,” ucap Eline, “..aku nggak pesan katering itu, Sayang.”

**

Pasangan pengantin itu meneruskan langkah ke ujung altar dan memotong kue pengantinnya. Potongan pertama dipersembahkan kepada seseorang—yang tidak begitu Indi perhatikan—lalu tamu-tamu dipersilakan duduk. Resepsi kini dibuka dengan lebih santai. Indi menatap pasangan pengantin yang mulai menemui tamu-tamu satu persatu secara lebih pribadi itu sambil lalu. Ia menggamit tangan Sakti.
“Aku capek. Cari tempat duduk, yuk? Nanti, aku kenalin sama mereka kalo mereka udah keliling.”
“Itu temen SMA kamu, kan? Kok kayaknya cuma kamu yang dateng?”
“Yaah, yang lain paling-paling belakangan datangnya. Sini, deh, aku mau cerita…”

**

Surat terakhir Alf masih tersimpan dalam laci meja Indi. Ia meletakkannya di depan pintu rumah, lalu memencet bel, namun sengaja pergi sebelum Indi sempat membuka pintu dan melihat sosoknya. Dalam sebuah amplop cokelat, bersamaan dengan undangan pernikahan dan setangkai mawar di atasnya.
Mawar merah.

‘Aku pulang, Ndi, as what I’ve promised,’ tulisnya, ‘tapi, maaf, kali ini…aku nggak bisa pulang ke hatimu.’

Comments

Popular Posts