Untuk Fa

Hai, Fa, selamat pagi.
Biar kutebak, langit pagi baru saja merekah saat kamu membaca kalimat ini. (aku benar, kan?) Sudah, nggak usah lama-lama online. Cepat mandi, jadi kamu bisa bermalas-malasan semaumu nanti.
Fa, ada sesuatu yang bikin aku nggak bisa berhenti bertanya-tanya saat aku menuliskan surat ini. Masihkah kamu terjebak dalam masalah yang sama, Fa? Apa kamu masih berpikir kalau ketidaksempurnaan diri akan selalu membuat kamu tidak pantas mendapatkan apa yang kamu inginkan? Masihkah kamu dihantui rasa bingung, Fa?
Kamu pernah bilang hal terburuk dari sebuah hubungan adalah kalau hubungan itu dimulai bukan atas rasa cinta yang serius. Padahal, kamu selalu mengakui kalau hubungan yang kamu punya tidak pernah jadi satu hubungan yang kelihatan serius. Samakah itu dengan mengakui kalau kamu selalu melakukan hal terburuk buat urusan ini?
Fa…, Fa. Kenapa harus begitu? Masa sih, kamu mau mengulangi kesalahan yang sudah aku lakukan?

**

Baris demi baris kutuliskan pada lembar kertas bergaris biru sesuai dengan apa yang melintas di pikiranku. Aku tersenyum. Esok seharusnya menjadi hari yang istimewa, dan meskipun tak bisa berbuat banyak, aku ingin membuat sedikit kejutan untuknya.
Dulu, aku tak pernah bisa merencanakan hal-hal seperti ini dengan mudah. Sikapku pada setiap pacar mungkin nyaris selalu dipertanyakan keseriusannya oleh orang lain. Aku bahkan dibuat bingung sama pikiranku sendiri, apa dan untuk apa sebenarnya yang sedang aku lakukan? Haruskah aku begini dan begitu supaya semuanya bisa berjalan dengan ‘benar’?
Singkatnya, aku selalu merasa aneh pada diriku sendiri. Di saat orang lain bisa begitu terbuka pada pacarnya, menikmati waktu mereka dengan apa adanya, aku merasa sikapku yang apa adanya justru mengacaukan semuanya. Dan kalau aku mencoba untuk jadi seperti yang dia harapkan, aku pasti akan kaku. Ujung-ujungnya, dia akan bilang,
“…aku nggak tahan sama kamu.”
Pacar terakhirku adalah seseorang yang amat sangat sederhana, dibandingkan dengan pacar-pacarku yang dulu. Entah apa rencana yang Tuhan gariskan di balik ini semua, awal kedekatanku dengannya bisa kubilang cukup fantastis untuk seseorang yang ‘kering’ macam aku. Sangat manis, orang bilang, tapi buatku, bahkan kalau aku ingat-ingat lagi sekarang, itu bisa bikin aku tertawa geli saking gombalnya.
Aku tidak akan melupakan hari itu: rapat pertama pra-produksi video klip untuk pelajaran Sinematografi. Dengan sangat mengagetkan, si sutradara memilihku jadi model video klipnya. Alasannya, wajahku termasuk fotogenik. Lalu dengan lebih mengagetkannya, ia menunjuk pacarku—yang waktu itu belum jadi pacar, tentunya—untuk jadi pasanganku. Membuatku terheran-heran, malah sedikit keberatan, kenapa harus dia?
Soalnya, sejak lama, aku sudah merasa sedikit aneh dengan sosoknya. Susah buatku menggambarkannya, tapi, kadang, kalau kami berdua bertemu di satu waktu, saling memapas, muncul dua pikiran yang saling bertolak belakang antara ingin tampak biasa saja sambil mencuri lihat atau membuang muka agar kesalahtingkahanku tidak terlihat. Itu tanda-tanda orang suka, ya kan? Tapi dulu aku tidak percaya.
Bagaimana pun aku mencoba menghindar, nyatanya, ia adalah teman sekelasku. Lebih parahnya, kami tergabung dalam satu klub olahraga yang sama. Dilematis, iya nggak sih? Di satu sisi, kehadirannya membuatku mau tak mau merasa semangat. Ia orang yang kocak, ia memiliki entah bakat humor alami atau memang pembawaannya yang spontan sehingga setiap orang yang ada di dekatnya pasti akan tersenyum melihatnya. Tapi di sisi lain, aku tak suka dengan rasa aneh itu…aku tidak mau mengisi hatiku dengan harapan kosong. Aku juga enggan membuka celah apapun yang memungkinkan seseorang punya hubungan khusus lagi denganku. Aku malas menjadi bagian atau malah membuat sendiri daftar ‘PACAR GAGAL GUE’ sebagai mental note. Sungguh, aku benci itu.

**

Suatu sore, setelah syuting video klip yang melelahkan dan diguyur hujan, aku tengkurap sendirian dalam kamar, berpikir-pikir sambil memejamkan mata. Hal yang aku takutkan sudah terjadi.
Aku baru sadar, begitu sulit ternyata berakting di depan kamera dengan seluruh kru menonton. Apalagi, sosok itu ada di sana, di hadapanku, nyaris tanpa jarak, menunggu kata ‘Action!’ terdengar.
“…camera rolling…and, action!!”
Aneh, ia terlihat begitu kaku, begitu gugup, hingga ia melakukan kesalahan yang membuat take tidak maju-maju. Padahal aku sudah setengah mati berusaha menguasai diri, meski sejujurnya, rasa deg-degan itu semakin lama semakin kentara. Sampai satu saat, setelah take berulang kali, akhirnya, ia mau menatap mataku. Lalu saat kedua mata kami bertemu, …aku menemukannya. Alasan mengapa ia tidak bisa menatap mataku. Alasan mengapa tangannya selalu gemetar saat menyentuh tanganku. Alasan mengapa ia begitu bersemangat menjatuhkan diri dalam adegan yang seharusnya tidak membolehkannya benar-benar terjatuh. Aku meringis. Kubenamkan wajah ke dalam bantal, lalu kugulingkan tubuhku terlentang.
Semoga saja aku salah.
Tetapi, aku juga tak ingin dianggap terlalu percaya diri.

**

Kalau memang itu yang terjadi, kenapa aku tetap memutuskan untuk menerimanya?
Itukah pertanyaan yang muncul di pikiranmu, Fa?
Bukan, Fa. Bukan karena aku tak mau dimakan gengsi. Tapi karena Alia mengatakan sesuatu yang membuatku tersadar, aku tidak perlu bersikap sekeras itu sama diriku sendiri.

**

“…kalo gue boleh tau, gimana cara dia ngomong sama lo, Ndah?” tanya Alia, sesaat setelah kami berdua duduk di dalam bus. Aku hanya menatapnya tanpa gairah. Kejadian barusan membuatku seolah mengalami kerusakan indera saraf permanen sehingga semua yang menyentuhku membuat kulitku tetap mati rasa.
“…yaa, gitu deh, Li. Susah jelasinnya,” jawabku, datar.
“…ayo doong, ceritain,” pinta Alia, membuatku dongkol.
“…aduh Alia…intinya, nih, satu, dia nervous. Dua, kata-katanya sebenarnya bagus, tapi karena dia nervous ya jadinya berantakan. Tiga, itu rame banget…kesel gue sama Catur dkk,” tukasku.
“…lho, emang, di mana dia ngomongnya? Langsung ketemu?”
“…iya. Rinciannya, lebih baik lo nggak usah tahu.”
“…ah, gue mau tau!”

**

Aku nggak menyangka, Fa, ia bakal memiliki nyali sebesar itu untuk langsung bicara kalau ia menyukaiku. Tidak ada tanda, atau bahkan rencana. Aku berpikir ia mungkin punya urusan yang harus diselesaikan saat ia muncul di hari latihan tim putri. Dan ternyata, Fa, hari yang menghantuiku, datang saat itu.

**

Itu adalah hari di mana ia mengungkapkan semuanya padaku. Di sudut lapangan, saat tidak ada cukup banyak orang untuk menjadikan kami pusat perhatian, di mana ia berdiri tanpa bisa berhenti menggaruk rambut, dan aku berdiri mematung, dengan sejuta rasa bercampur aduk, tanpa tahu yang mana yang harus aku ekspresikan.
Awalnya, ia muncul sendirian. Namun saat waktunya tiba, entah dari mana, datang juga sekelompok cowok-cowok sekelas kami, tepat ketika ia sampai di titik pokok masalah.
“…jadi…, lo mau nggak, jadi pacar gua?”
“Eaaa….eaaaa!!”
“Nggak jawab sekarang juga nggak papa, kok, gua—”
“EAAAAA…!”
“BERISIK LO SEMUA!” tanpa sadar, kami sama-sama berseru. Ada hening yang terbawa saat seruan itu terhenti, dan untuk sesaat, kami saling menatap.


**

“…hahahahahahahah. Kocak, kocak. Gue suka tuh Ndah,” komentar Alia.
“…kocak, kocak. Coba lo yang ada di sana,” tukasku, menggerutu.
“…terus, lo mau jawab apa, Ndah?”
Aku termangu. “Tau nih…apa nggak aja ya? Gue males.”
“Eh, jangan gitu, Ndah…lo males sama Catur, Reza dan kawan-kawan bukan sama dia kaan? Ntar lo nyesel lagi.”
“Tapi…lo tau kan, Li, cerita-cerita lama gue. Masa gue mau nambahin satu lagi yang kayak gitu?”
“Ya, yang ini jangan dibikin sama kayak yang dulu-dulu, dong, Ndah. Siapa tahu orangnya beda. Siapa tahu dia bisa bikin lo seneng. Jangan bohong sama diri lo sendiri…”

**

Dan di sinilah aku sekarang, Fa, dengan hampir setahun lewat. Nggak terasa, ya?
Fa, saat-saat pertama memang nggak pernah mudah. Aku takut. Takut semuanya bakal berakhir sia-sia seperti kisah-kisah sebelumnya. Makanya, aku sempat memutuskan untuk menjaga jarak, jadi seandainya kisah yang satu ini berakhir tanpa perbedaan, aku nggak akan jadi terlalu sakit.
Tapi dalam perjalanannya, Fa, aku malah menemukan hal-hal menakjubkan yang nggak pernah aku duga sebelumnya.
Kamu tahu, Fa,
Orang itu berhasil bikin aku simpati, saat dia nggak melakukan atau bahkan mengatakan apapun kalau aku cuma bisa berjalan dalam diam di sampingnya setiap sore, sepulang sekolah. Ia bakal mengantarku ke perempatan, dan menemaniku di sana, sampai aku mendapatkan bus, juga dalam diam. Tapi kalau sesekali aku menoleh ke arahnya setelah aku masuk bus, ia akan tersenyum, melambai, dan berucap, “…hati-hati,” membuatku mau tak mau balas tersenyum.
Orang itu berhasil bikin hatiku terketuk, karena dia nggak pernah memprotes, saat aku menjawab setiap pesannya dengan singkat (karena aku selalu bingung bagaimana aku harus menjawabnya) atau kadang malah membiarkan beberapa di antaranya nggak terjawab sama sekali. Tapi, yang bikin aku heran, setiap pesannya selalu datang di saat yang tepat. Aku nggak ngerti bagaimana caranya dia bisa melakukan itu, tapi kupikir, apa yang dia lakukan nggak dibuat-buat. Dia hanya…tahu.
Dia bikin aku merasa jadi cewek yang beruntung, karena dia nggak marah waktu kubentak saat memanggilku sementara aku sedang dibuat stres oleh deadline autobiografi dan kehilangan flashdisk tempat aku menyimpan soft-copy-nya, padahal aku yang ceroboh menjatuhkannya di jalan sehari lalu, saat aku menaiki bus, dan ia memungutnya. Lalu ia datang pada suatu sore, menjengukku yang terbaring sakit karena terlalu banyak pikiran dan flu parah bersama teman-teman lain, sambil menyerahkan buku autobiografiku yang sudah rapi terjilid, persis seperti yang aku mau.
Dia juga membuatku merasa nyaman…karena dia nggak pernah mencecarku dengan pertanyaan tak penting soal raut mukaku yang mendadak senang atau mendadak murung.
Karena dia nggak pernah bertanya, “…kamu tuh, serius sayang nggak sih sama aku?”
Karena dia nggak pernah mempersoalkan kenapa aku belum juga mau menggandeng tangannya. Kenapa aku telat mengucapkan selamat ulang tahun, dan kenapa aku tidak begitu suka memakai rok. Karena dia akan selalu menyapaku di pagi hari tak peduli kemarin aku melupakan janjiku untuk sama-sama mencari bahan kerajinan tangan.
Puncaknya, Fa, dia berhasil bikin aku kangen, sama gestur salah tingkahnya yang menggelikan, sama sosoknya yang tak banyak bicara tapi selalu ada buatku, untuk setiap hal kecil yang dia lakukan, tapi memang benar-benar aku butuhkan.
Satu saat, di hari di mana kami tepat empat bulan pacaran, dia bilang,
“Ndah, maaf, kalo aku nggak bisa jadi cowok yang sempurna buat kamu. Aku nggak bisa bikin kata-kata puitis. Nggak bisa ngarang lagu-lagu yang lembut. Nggak bisa mengatasi rasa gugup kalo ada di dekat kamu. Nggak mampu beli hadiah-hadiah mahal, dan nggak jago bikin sesuatu yang bisa kamu anggap imut. Aku bakal berusaha bikin kamu merasa nyaman…seperti kamu bikin aku merasa nyaman. Dan kalo rasa nyaman kamu adalah dengan nggak jalan sama aku, …ya, udah, aku bakal kasih itu.”
Tadinya aku berpikir, if nothing’s going well, lebih baik aku selesaikan saja semuanya. Tapi ketika dia bilang begitu, Fa, entah kenapa, aku merasa nggak rela.
Aku merasa nggak rela untuk melepas dia begitu saja. Lalu aku sadar,
…dia sudah berhasil bikin aku benar-benar jatuh cinta.
Dia memang bukan orang romantis.
Dia cuma nganterin aku ke perempatan setiap hari, ngasih aku sweaternya kalau aku mengeluhkan hujan, dan menabung untuk beliin lima belas cupcakes sebagai hadiah ultah.
Tapi justru hal-hal kecil itulah yang bikin aku menghargai apa yang dia lakukan buatku, tanpa pernah sadar, kalau sebenarnya, dia berhasil meyakinkan aku kalau dia orang yang tepat.
Jadi..., Fa,
Masihkah kamu merasa ragu?
Karena ternyata, bukan kesempurnaan yang akan membuat satu hubungan terasa sempurna. Tapi cara kita untuk melihatnya sebagai sesuatu yang sempurna. Nggak ada satu pun dari kita yang sempurna. Dan itulah alasan kenapa aku ada di sini.
So, tetaplah jadi seperti itu, Fa.
Rafa yang bisa membuatku merasa sempurna. Happy anniversary…


With love,
Indah

P.S. aku bakal seneeeeeng banget kalo kamu mau cepetan mandi, Fa. Bener deh.

**

“…sebenarnya, kamu nulis apa, sih, Ndah? Kok kayaknya urgent banget?”
Cepat-cepat, kuangkat wajahku, dan kulihat wajah Rafa yang membungkuk di mejaku, penasaran.
“Bukan, bukan apa-apa. Ngg…rangkuman buat retell sinopsis di kelas Mr. Fendy besok,” jawabku, memasang muka innocent.
“Oooh. Ya udah. Udah selesai?”
“Udah. Ayo, pulang.”
Saat Rafa meraih tas cokelatnya dari atas meja, kuselipkan lipatan kertas itu ke dalam dompetnya yang tergeletak di atas mejaku.
“Fa, dompet kamu…jangan sampai lupa.”
“O iya. Thank’s.” kami beranjak keluar kelas. Rafa menutup pintu. Saat kami berjalan bersisian di koridor, ia menatapku. Kedua tangannya tersimpan di saku sweater merahnya.
“Kenapa, Fa?”
“Aku inget sesuatu deh…tapi lupa-lupa inget. Besok hari apa sih?” tanyanya, tangan-nya menyusuri rambut ikalnya.
“Sabtu, kan?”
“…bukan hari ulang tahun kamu, kan?”
“Ih, ngaco. Masih lama, kali, Fa.”
“…besok tanggal berapa?”
“14 Mei.”
“Hmmm,” Rafa bergumam, menyipitkan mata dan meletakkan tangan kanannya di dagu. “Duh, aku beneran lupa, nih. Ada apa ya besok?”
“Udah, nggak usah dipikirin. Paling besok inget sendiri,” ujarku, tertawa. Melihatku, Rafa juga ikut tertawa.
“Dasar. Muka kamu tampang-tampang mencurigakan, nih.”
“Ih, apanya? Ngarang deh, Fa,” tukasku lagi, semakin tidak bisa berhenti tersenyum gugup. Dan seperti biasa, Rafa hanya tersenyum. Ia tidak menanyaiku lebih jauh lagi. Hanya tersenyum.
“Iya deh. Apa katamu aja,” ucapnya, seraya mengeluarkan tangannya dari saku sweater dan meraih tanganku.
Ich liebe dich, Fa, balasku, dalam hati, tentu saja.

**

Comments

Popular Posts