Cinta BifokAl

“Set one, ten points, go-go-go!!”
“…lay up, two points!”
“Kiri, kiri!”
“…number twenty six, three points!”
“Hands up, hands up!!”
-PRIIIITTTTTT-
Setengah melamun, Indi menatap lurus ke depan, memusatkan konsentrasinya pada tayangan rekaman pertandingan basket Tim A Putri pada Don Bosco Cup tahun lalu. Ia menandai setiap gerakan, setiap langkah terpilih, setiap strategi yang miss, lalu mendecakkan lidah.
“Pantesan aja…”
Tiba-tiba, pintu ruangan inventaris olahraga berderit-derit keras, seperti yang biasa terjadi jika seseorang yang awam dengan ruangan itu hendak masuk dengan paksa. Indi melangkah cepat ke arah pintu dan berkata,
“…jangan di dorong, bukanya harus di—” pintu telah terbuka, dan mendadak Indi terperangah. Beberapa detik berlalu dan Indi tetap mematung di pintu, menghalangi seseorang di hadapannya yang sedang terburu-buru.
“Alf?”
“..ya, hei—sori—sori, ngg, bisa ‘misi bentar? Gua mau ngambil kostum,” jawab orang itu, bergerak ke kanan kiri sementara Indi membutuhkan beberapa saat untuk tersadar.
“Oh, ya—maaf.” Ia menggeser tubuhnya ke samping, membiarkan Alf melesat masuk.
“Lo mau ke mana?” tanya Indi.
“Pulang. Besok kan tanding, jadi kostumnya mau gua cuci,” jawab Alfaro tanpa menoleh. Indi mengerutkan kening.
“Besok? Ketemu Alan, dong?”
“Ya.”
Penahan pintu bertingkap di ruangan itu bergeser, membuat suara derit yang mengagetkan saat pintu itu menutup kembali secara otomatis. Indi berjalan menuju televisi dan mematikan rekaman yang belum selesai diputar. Dengan ragu-ragu, ia berdiri di depan televisi, memperhatikan Alfaro yang lebih tampak seperti sedang mengacak-acak laci kostum ketimbang mencari miliknya, menimbang apakah sebaiknya ia menawarkan bantuan atau tidak. Alfaro menoleh.
“Ndi, lo liat kostum gua nggak? Bantuin cari dong,” pintanya.
Mengatasi rasa gugupnya, Indi mengambil alih laci itu dari Alfaro dan menarik keluar selembar kostum.
“..yang nomer—” kalimat Alfaro terpotong oleh gerakan Indi yang langsung mengangsurkan kostum bernomor 11 padanya. Rasa terkejut membayang di wajah Alfaro, tetapi ia tidak mengatakan apapun. Kini ganti Alfaro yang berdiri bimbang di tempat, berpikir apakah Indi mengharapkannya untuk membantu merapikan kembali laci itu atau tidak. Namun, sesuatu melintas cepat dalam kepalanya, menggerakannya untuk menyumpalkan kostum itu ke dalam tas dan mendekati Indi.
“Sini, gua bantuin,” ujarnya, meraih tumpukan kostum yang berantakan dari tangan Indi dan berjongkok, melipat kostum-kostum itu pada tumpuan pahanya.
Tanpa ia sadari, Indi mencuri pandang ke arah puncak kepalanya yang tertunduk, menyembunyikan seulas senyum. Setelah memastikan sesuatu, Indi memalingkan wajah dan melipat sisa kostum yang masih berantakan.
“…masih tetap sama,” ucapnya, dalam hati.

**

Semuanya berawal dari setahun lalu, di suatu Sabtu siang yang mendung, ketika Indi sedang duduk termangu di sisi lapangan, menunggu tim basket putra selesai berlatih, sebab pelatih tim putri berhalangan untuk datang hari itu. Jadwal latihan mereka mundur empat jam dari jadwal biasa dan itu berarti masih ada setengah jam lagi waktu bagi tim putra untuk berlatih. Sayangnya, Indi datang lebih awal daripada teman-teman satu timnya karena pemberitahuan perubahan jadwal itu baru sampai ke inbox smsnya setelah ia tiba di sekolah.
“Ya ampuun. Lama bener sih,” keluhnya, seraya meraih telepon genggamnya. Ia telah memutar seluruh isi MP3-nya empat kali dan berulang kali mengecek account Facebooknya. Tak banyak membantu.
Berada dalam posisi satu-satunya perempuan yang menunggu sendirian di tepi lapangan membuatnya merasa serba salah. Indi bukan orang yang cukup luwes untuk membuka pembicaraan atau apapun terhadap lawan jenis yang tidak ia kenal. Mau ikutan menonton latihan mereka pun, Indi takut dikira cari perhatian. Makanya, ia berusaha untuk terlihat sibuk.
“Yah, ini lagi-ini lagi,” gumamnya, mencabut telepon genggamnya dari saku, ketika mendengar intro OST Cinta Silver—You’re My Everything – Glenn Fredly—bergaung untuk yang kelima kali melalui headsetnya. Ia menghela nafas, memandangi layar telepon genggamnya sesaat, lalu kembali mengantonginya, memutuskan untuk bersabar mendengarkannya karena ia tak punya akal untuk melakukan apapun.

Cruising when the sun goes down
Across the sea
Searching for, something inside of me


Indi mengubah posisi duduknya bersila di permukaan lapangan. Sekilas melirik, cowok-cowok di hadapannya sedang berlatih dalam posisi 3-on-3. Sebentar lagi latihan akan selesai.

I would find all the lost pieces
Hardly feel, deep and real
I was blinded now I see

Tiba-tiba, pandangan matanya menangkap satu sosok tak asing yang membuatnya terkejut. Indi menyipitkan mata.
Kok kayaknya gue kenal ya? Itu…lho, itu kan—,”
Sebelum sempat tersadar, sosok yang ia coba kenali mendadak menoleh padanya. Mata mereka bertemu dalam sepersekian detik.
Alfaro??”

Hey hey hey you're the one
Hey hey hey you're the one
Hey hey hey I can't live without you

Ingatan Indi seketika berputar mundur.

**

Sebenarnya, sejak pertama kali mereka bertemu, sosok itu telah menyita perhatiannya.
Sosoknya memang tidak mencolok. Dibandingkan dengan sebagian besar murid cowok lain yang kemampuannya beriuh-rendah pantas disandingkan dengan badut Ancol, ia termasuk pendiam. Namun, bukan itu yang Indi pikirkan.
“Ndah,” ujar Indi, menyentuh bahu Indah, teman sebangkunya, “..gila, putih banget tuh orang,” celetuknya, seraya menatap kulit sawo matangnya.
“Ya iyalah, Ndii…,” jawab Indah gemas, “..dia kan keturunan etnis Tionghoa..”
“Ah, tapi dia nggak sipit, Ndah,” ucap Indi.
“Mungkin dia orang Manado,” celetuk Anastasia yang tiba-tiba sudah berada di hadapan Indi dan Indah. “Kalo liat dari nama belakangnya sih, kayak marga Sulawesi gitu.”
“Bukan, tau. Makassar,” tukas Nadine, ambil bagian.
Sosok itu memang berkulit putih bersih, bermata oval bersudut ciri khas suku-suku Sulawesi, dan berhidung mancung. Secara keseluruhan, ia bukan tipe orang tampan yang akan digilai banyak gadis, tetapi jika seseorang melihat ke dalam matanya, memperhatikan raut wajahnya, ia akan menemukan hal sama seperti apa yang Indi temukan. Telaga.
Bahkan, tak perlu waktu seminggu sampai Indi menemukan fakta lain tentangnya yang membuatnya makin kagum. Indi selalu menyukai kelas matematika, pelajaran favorit yang ia jagokan. Dan secara tak terduga, suatu pagi, sosok itu menyambut kuis yang diberikan sang guru, menulis pembuktiannya di depan kelas, membuktikan bahwa ia juga salah satu jenius matematika di depan 39 murid lainnya. Seperti Indi.

**

Lima meter. Eh salah, lima setengah, ucap Indi dalam hati, setengah menunduk, memprediksi jarak antara ia dan sepasang kaki milik Alfaro melangkah terhentak-hentak di hadapannya. Tiba-tiba sepasang kaki itu berbalik ke arahnya, berbarengan dengan suara teriakan yang membuatnya terkejut dan mengangkat wajah,
“AWAS!”
-BUK-
“AH!”
Dengan jantung berpacu cepat, Indi terpaku, permukaan berbintik bola basket berada tepat di depan hidungnya. Bola basket itu akan pas meratakan wajahnya seandainya saja pemilik sepasang tangan berkulit putih itu tak punya cukup refleks untuk cepat menangkap bola. Bola itu bergerak, jatuh memantul ke atas lapangan, tergantikan oleh sosok Alfaro yang menatapnya cemas.

Take me to your place
Where our hearts belong together


“Sori…nyaris aja lo kena,” ucapnya. Indi hanya menggeleng, masih setengah kaget.

I will follow you
Cause you`re the reason that I breathe

“Oh, nggak, nggak papa. Salah gue juga duduk di pinggir sini,” jawabnya.
Kening Alfaro berkerut sesaat. “Lo…Indi…Indira, kan? Sejak kapan lo ikut Teksab?”
“Baru kok. Nggak sangka lo ikut juga, Alf.”
Alfaro tersenyum, dan Indi mendadak merasa akan salah tingkah
.

I`ll come running to you
Feel me with your love forever
Promise you one thing
I will never let you go

“Alf!” sang pelatih memanggil Alfaro untuk kembali, yang mana, melegakan Indi.
“Yoo! Ndi, balik dulu, ya.”
“Oke.”

Cause you are my everything

Seraya menatap Alfaro melompat di depan ring, perlahan, Indi mulai menghapus kekesalan dan sesalnya untuk datang terlalu awal hari itu.

**


Kejadian itu berlalu secepat embun menguap, tapi Indi tak pernah menghapus satu milisekon pun memori yang merekam peristiwa itu di otaknya. Tak ada yang benar-benar berubah setelahnya kecuali ritual mengangkat alis yang selalu Alfaro lakukan saat memapas dirinya. Lalu suatu pagi, saat akan melangkahkan kakinya naik tangga, Indi mendengar suara berdebum diikuti suara orang mengaduh dibelakangnya. Saat menoleh, dilihatnya Alfaro yang mencoba bangkit dari jatuhnya, berusaha meraih tas hitam besar yang tergeletak tak jauh di depannya. Indi mengambil tas itu secepat Alfaro bangkit.
“Makasih. Nggak liat-liat gua ada air,” ujarnya, nyengir malu-malu.
“Sama-sama. Ini apa? Kamera?”
“Iya. Mau dibalikin hari ini. Semoga aja nggak ada yang pecah.”
Tak banyak murid yang datang ke sekolah pukul 6 pagi. Indi berjalan bersisian dengan Alfaro menuju kelas.
“Trus kemarin syutingnya gimana? Lancar?”
“Ah, kacau. Udah produsernya nggak dateng… kamera ini juga nggak ada kasetnya.”
“Ya ampun, terus gimana dong?”
“Jadinya gua nungguin di Blok M sampai jam 10 pagi buat beli kaset. Mahal, Rp. 45.000,00.”
“Sendirian?”
“Nggak, berlima sama Fahri, Garin, Ricky, sama Nasta.”
“Nasta?”
“Ya, kan dia sutradaranya.”
“Alf!!” sebuah suara tiba-tiba memanggil Alfaro dari koridor kelas akselerasi lantai dua. Alfaro berhenti, dan menoleh ke arah seorang gadis yang melambai-lambaikan tangan. “Sini!”
“Tunggu ya. Lo duluan aja kalo mau,” ujarnya, melangkah ke arah si gadis. Indi tertegun. Chelsea? Mau ngapain dia?
Beberapa menit berlalu, dan setelah membicarakan sesuatu yang tampaknya penting, gadis itu menepuk bahu Alf dengan akrab.
“Thank’s ya Alf!”
“Yuk.”
Mereka meneruskan langkah dalam diam menuju kelas, dan sepanjang koridor Indi menimbang-nimbang apakah ia pantas untuk bertanya tentang hal barusan. Ia memutuskan tidak.


**

“Nasta! Anastasia!”
Sosok berkacamata yang Indi panggil mengangkat wajah dari majalah yang dibacanya. “Kenapa, Ndi?”
“Sinii.”
Anastasia menutup majalahnya dan duduk di bangku Tia yang kosong. “Kenapa?”
“Lo Rabu dua minggu lalu ke mana sama Alf?”
“Ooh, itu,” Anastasia tertawa. “Ke Citra Alam kan, mau syuting. Tapi sumpah ya Ndi, itu hari terparah gue dalam dua minggu kemarin. Bener-bener capek dan menderita.”
“Katanya lo nunggu sampai jam 10 di Blok M buat beli kaset ya?”
Anastasia tertegun. “Tau dari mana? Yup, dan ralat sedikit, nunggu sampai jam 10 di warnet, nonton tiga badut dan satu pawang freakin out main RF.”
“Hahah, siapa pawangnya?”
“Alf lah. Dan setelahnya, kita semua jalan ke Ciganjur, ganti-ganti angkot, plus jalan kaki beberapa puluh meter masuk ke kompleks Citra Alam. O, ya, dua dari tiga badut itu sempat main koala-koalaan. Betapa autis.”
“Terus…,” Indi melirihkan suara, merapat ke arah Anastasia, “..si Alf ngapain aja di sana?”
“Jadi tukang bawain tas kamera. Kasihan banget. Sempet-sempetnya juga bagi-bagi choki-choki sama anak-anak Citra Alam. For the God’ Sake, Ndi, kalo bukan karena dia juga, gue bakal meninggalkan mereka dalam keadaan marah karena mereka mengubah rencana yang udah kita sepakati sama-sama. Yah, kayak yang sering Alf bilang, Ndi, ‘..so saad.’,” tukas Anastasia. Indi tertawa.
“Sebenarnya, gue pengen cerita sama lo, Ta…soal hari Sabtu kemarin.”
“Emang ngapain lo, Ndi?”
“Gini…”

**

Tanpa menyadari kalimat apa yang telah menarik Alfaro untuk melibatkannya dalam pembicaraan lebih jauh, tetapi Kamis itu, setelah ia mengambilkan tas kamera bagi Alfaro yang terpeleset di lantai satu, untuk pertama kalinya, mereka berdua mengobrol. Awalnya, Alfaro mengingatkannya soal 18 LKS Biologi milik murid X E yang raib entah ke mana, lalu mereka memutuskan untuk memeriksa seluruh isi kelas, sekali lagi.
Ternyata Alf bisa menjadi teman bicara yang menyenangkan. Ia bicara dengan sopan, tidak mengalihkan kontak mata saat mendengarkan Indi, dan menimpali setiap hal yang ia dengar tanpa berlebihan. Kejadian saat Alfaro mengerjakan proyek film dokumenter di Citra Alam, kesukaan mereka akan Matematika, basket, dan warna merah, kebiasaan dalam keluarga, sampai pada satu waktu, Indi memberanikan diri untuk bertanya,
“Lo deket sama Chelsea, ya?”
“Lumayan.” Hanya itu jawaban Alf.
“…pacar lo?”
“Hah? Bukanlah. Kenapa emangnya?”
“Hehe, nggak papa. Kayaknya dia antusias aja kalo ketemu lo.”
“Yah, biasalah, cewek. Punya banyak urusan.”
Indi terdiam selama beberapa saat, menerka apakah rasa teriritasinya tadi betulan atau cuma halusinasi. Alfaro menegakkan punggung dan melipat siku, lalu berkata,
“Sabtu besok, ikutan tanding?”
Indi menggigit bibir bawahnya. “Di 43? Iya.”
“Tempatnya di mana sih?”
“Di Menteng bukannya? Gue nggak tau persis tempatnya, tapi gue bisa tunjukin jalannya.”
Alfaro memiringkan kepala, berpikir. “Ngg…yah, di rumah gua nggak ada orang Sabtu besok…” kemudian ia menatap Indi dengan begitu tiba-tiba hingga Indi sedikit berjengit. “…tunjukkin gua jalannya dong, mau nggak?”
“Boleh aja, tapi…gimana caranya?”
“Naik motor. Ntar gua jemput di Parish depan RSPP. Gimana?”
“Hah? …ngg, tapi—” Indi menelan ludah, mengalihkan tatapannya pada tumpukan LKS Biologi yang mereka temukan di laci meja guru, alih-alih menatap Alf. “Emang nggak papa gue berangkat bareng lo?”
“Emang kenapa?”
“..ya udah. Jam 7 ya, gue tunggu.”

**

Sabtu pagi, pukul 06.55, Indi tiba di pelataran toko kue Parish, tepat di seberang RS Pertamina Pusat, Kebayoran Baru. Ia memesan secangkir cokelat panas dan duduk, menenangkan perasaannya yang bercampur aduk. Mimpikah aku? Ia bertanya pada diri sendiri. Bagaimana mungkin kekagumanku akan Alf tiba-tiba berkembang menjadi sesuatu yang tidak terduga seperti ini? Adakah sesuatu yang salah?
Ah, mungkin, dia cuma nggak pengen nyasar hari ini. Dia cuma minta tolong gue tunjukkin jalan sampai ke SMA 43, nggak lebih.
Tepat pukul 07.00, telepon genggamnya bergetar. Pesan dari Alf.
‘Gue lagi parkir di RSPP. Kalo udh smp, msk aj dulu k dlm.’ (received on 07.00)
Indi mengembalikan telepon genggamnya ke saku celana dan beringsut masuk ke dalam toko, mencari toilet. Toko itu kecil, tetapi bersih dan dingin. Begitu kontras terasa setelah duduk di teras yang hangat. Dengan cepat Indi melangkah menuju papan tanda TOILET digantung, namun sebelum ia berbelok, ia melihat sesuatu. Tepatnya, seseorang.
Alf?
Indi berbalik, berjalan cepat-cepat menghampiri meja di mana cowok itu duduk. Dan seketika ia terhenyak.
Chelsea?!
Indi membeku di tempat ia berdiri selama beberapa detik. Seolah tidak meyakinkan, ia mengamati lekat-lekat dua sosok di hadapannya—Alf yang berjaket biru, duduk berdua dengan Chelsea yang tampak riang bercerita sambil sesekali menyuap kue di atas piringnya. Sebuah tas hitam besar diletakkan di bawah kursi Alf—Indi menduga isinya pastilah kostum basket. Kini rasanya ribuan semut mulai menggigiti tubuhnya dari segala arah.
Chelsea memotong kue dengan sendoknya dan menyodorkannya ke arah Alf, yang langsung menyambut dengan mulutnya. Indi meringis.
Tanpa mengatakan apapun, ia meletakkan uang di meja kasir, beranjak keluar, dan menyetop sebuah taksi di luar.
“SMA 43, Pak. Menteng.”
Sepanjang jalan, Indi menatap keluar dengan muram. Menangis kesal.

**

“Ndi?”
Mendengar suara itu, Indi menoleh. Menatap sosok bercucuran keringat di hadapannya dari atas ke bawah, lalu bangkit. Menjauh.
“Ndi? Indi!”
Indi terus berjalan, tak peduli pada Alf yang terus memanggil namanya. Namun, Alf dapat berjalan lebih cepat dan menangkap bahunya. Indi tahu ia melakukannya dengan sopan, tapi Indi menyentakkan tangannya seolah Alf seorang pencopet.
“Apa sih, panggil-panggil?”
Wajah Alf berkerut. “Lo kenapa sih, jadi aneh begini? Tadi pagi ke mana?”
Indi mencibir. Dasar brengsek.
“Lo tuh yang harusnya gue tanya. Tadi pagi, lo ke-mana?”
“Gua kan udah bilang, gua lagi parkir, tungguin dulu sebentar. Gua tungguin setengah jam lo nggak datang-datang juga. Bilang dong kalo tiba-tiba nggak bisa datang…untung gua masih bisa nyampe di sini,” ucap Alf, setengah memprotes.
“Ya jelas aja masih bisa sampai…nggak ada gue pun lo tetap bakal bisa sampai!!”
“Apa sih maksud lo? Aduh, Ndi—lo tuh, aneh banget hari ini! Kenapa sih? Kalo emang lagi kesel cerita kek, jadi gua yang di bawa-bawa, jadi gua yang kena getahnya! Apaan sih?”
“Apa maksud gue?! Oh—demi Tuhan, Alf! Apa lo pikir gue nggak tau? Lo pikir gue nggak sadar? Lo suruh gue tunggu di Parish, lo suruh gue masuk ke dalam untuk ngeliat Chelsea berduaan sama lo—ITU maksud lo dengan janjian sama gue pagi ini, Alf?! Lo tuh—nyebelin, tau?!” jerit Indi, cukup keras untuk membuat orang yang lewat di sekeliling lapangan outdoor itu menoleh, tetapi di luar dugaan Indi, Alf malah terbengong-bengong menatapnya.
“Lo bilang tadi…Chelsea? Gua? Berduaan di Parish?” ucapnya keheranan, seraya memutar kedua bola matanya, mencoba mengingat sesuatu.
“Oh—ya Tuhan, Indi…,” Alf menangkupkan kedua tangannya pada wajahnya. “Yah,” ucapnya, mengangkat wajah, “…sori…salah gua.”
“Udah kepergok masih aja berlagak lupa!” Indi menatap Alf dengan nanar, menahan air matanya agar tidak menetes. Dengan cepat ia berbalik, namun Alf menahan lengannya.
“…Ndi, dengerin—please, dengerin dulu—”
“Udah. Cukup.”
“Ndii,” Alf menarik lengan Indi lebih kuat dan membalikkan tubuhnya hingga wajah mereka berhadapan. Air muka Alf berubah saat melihat air mata Indi, sehingga cepat ia berkata, “…emang salah gua. Nggak ngasih tahu sebelumnya—”
“..kalo Chelsea itu pacar lo, kan?”
“—bukan. Indi, yang tadi lo lihat pasti bukan gua. Gua punya kembaran.”
Indi membutuhkan waktu lebih dari lima belas detik untuk mencerna pernyataan sederhana itu, sebab seluruh isi perutnya mendadak terasa dijungkirbalikkan.
“Hah…kem…baran?”
“Ya. Namanya Alan.”

Gelap. Semuanya terlihat gelap.

**

Indi tak lagi ingat rangkaian hal yang terjadi setelah peristiwa itu. Entah apakah Alf mengucapkan lagi kata maaf sambil menyodorinya kertas tisu atau apakah sebelumnya menangkap tubuh Indi yang melemas dan mendudukkannya di tepi lapangan. Juga kalimat-kalimat Alfaro yang sepertiga heran, sepertiga berharap, tapi juga sepertiga meledek,
“…untung gua, bukan Alan yang lo marahin. Bisa tambah kacau semuanya, heheheheh.”
“…lo baru tau gua kembar Ndi? Ya ampun, ke mana aja??”
“…Ndi, emangnya…,” Alf mengucapkannya tanpa gestur salah tingkah sedikitpun, membuat Indi merasa meleleh, “…emangnya kenapa sih kalo gua jalan sama Chelsea? Kok kayaknya…lo nggak suka banget?”
Satu hal yang Indi ingat, speaker yang ada di salah satu sudut lapangan sedang mengumandangkan lagu yang amat ia suka.

Cause you are my everything

**

“…ahahahah, Indii..Indi, ahahahahah,” Anastasia tertawa terbahak, menutupi mulutnya dengan separuh tangan. Indi melongo menatapnya.
“Apanya yang lucu, sih, Ta?”
“Lo tuh yang lucu. Masa baru tau kalo dia kembar??”
“Ssst, jangan keras-keras, ah! Ya, kan kenal juga belum lama…”
“Empat bulan! Nyaris satu semester. Untung nggak ngamuk lo di depan si Chelsea, ahahahahahah.”
“Ah, udah ah, Nasta nih…” Indi mengguncang-guncang bangku tempat Anastasia duduk, memintanya berhenti.
“Pertanyaan terakhir: apa jawaban lo untuk pertanyaan dia yang terakhir?” tanya Nasta seraya mengusap titik air yang muncul di sudut mata akibat terlalu banyak tertawa.
“Ya…itu…gue…,”Indi menggigit bibir dan memainkan ujung rambutnya. Anastasia mengedipkan mata.
“Apa?”
“Gue nggak jawab. Dan dia cuma senyum, ketawa, dan melemparkan sebungkus sisa tisunya ke gue. Dia bilang,
‘Sebentar lagi lo main, kan? Ayo, lo harus siap-siap.’
Jadi gue pergi. Dengan rasa malu yang amaat sangat.”
“Dia pulang?”
“Ng…nggak. Dia nonton gue main. Dan pulangnya, dia ngenalin Alan ke gue. Ternyata beneran mirip. Gue baru sadar, hoodie Alfaro warnanya cokelat, bukan biru tua. Hehe.”

**

Negeri dongeng.
Berulang kali kata itu melintas di pikiran Indi, mentang-mentang ia baru saja membaca kumpulan komik bertokohkan Oki, Nirmala, dan Ratu Bidadari. Tetapi, bukan negeri dongeng Ratu Bidadari yang sedang ia bayangkan. Sebuah tempat indah yang lain. Tempat ajaib yang dapat mengubah imajinasinya menjadi kenyataan. Namun setelah beberapa saat berkhayal, ia mengibaskan tangan dan menggelengkan kepala.
Bodoh. Bodoh. Bodoh. Tapi…kenapa?
Pikirnya, merenungi diri. Kenapa tempat seperti itu tak akan pernah jadi nyata? Senyata mata telaga Alf. Senyata tawa dan senyumnya. Senyata sosoknya yang bersahabat.
Senyata masjid dan gereja, Al-Quran dan Al-Kitab. Senyata perasaanku dan Alf yang sama-sama tahu tentang kenyataan menyedihkan ini….
Sebuah tempat yang bisa menghapuskan semua perbedaan hingga hanya akan ada seorang gadis bernama Indi dan seorang pemuda bernama Alfaro.
Surga? Ah…bahkan surganya saja berbeda.

**

Hari Jumat itu seharusnya menjadi hari paling menyenangkan bagi Indi. Mereka telah libur sekolah semenjak Kamis, dan baru akan masuk sekolah Senin minggu berikutnya. Sebuah kompetisi olahraga kembali digelar dan tentu saja, Indi dan Alfaro ambil bagian di dalamnya. Mereka dijadwalkan bertanding sore hari, tapi seperti biasa, tim mereka tiba terlalu awal. Merasa tanggung untuk pulang lagi ke rumah, Alfaro mengajak Indi makan siang.
“Tenang, gua yang bayarin, deh,” tukasnya. Indi tertawa.
“Duh, nggak usah juga nggak papa. Tapi mau makan di mana?”
Akhirnya, motor Alfaro berhenti di depan restoran Hoka-Hoka Bento.
Mereka melangkah masuk, memesan makanan, dan duduk di salah satu kursi.
“Lihat deh, jam kukuk-nya, Alf. Lucu banget, bentuknya kayak rumah makan,” ujar Indi, menunjuk ke arah jam kukuk merah yang berbentuk replika Hoka-Hoka Bento.
“Lucu kayak rumah makan atau lucu karena warnanya merah?” tanya Alf, tersenyum.
“…dua-duanya.”
Mereka berdua terdiam sesaat. Alunan lagu dari stereo mengalun jernih di ruangan itu.

Dulu ku tak pernah
Percayakan cinta
Yang tak harus memiliki


“Ndi,” perlahan, Alfaro bicara, duduk tegak menekuk kedua sikunya di atas meja dengan jemarinya saling bertaut, sambil menatap Indi dengan serius. “…gue…mau nanyain sesuatu sama lo.”

Pernah kupaksakan
Walau tak sejalan
Meski kutahu ku salah

Entah mengapa, jantung Indi berdebar. Ia meluruskan posisi duduknya dan bertanya,
“Kenapa? Tanyain aja.”
“Gue cuma pengen tau,” ucap Alf. “Apa pendapat lo tentang—”
“Meja nomor 20, silakan pesanannya,” seorang pelayan berbaju kuning meletakkan nampan-nampan pesanan di hadapan mereka, membuat Indi sesaat ingin memasukkan hidung si pelayan dalam kuah sup udang.
Ya udahlah. Toh tadi gue laper.
“Makasih Mbak…,” Alfaro berkata manis. Satu hal yang selalu membuat Indi leleh olehnya.
“Hmm, karena makanannya udah datang, mendingan kita makan dulu yuk,” tukasnya lagi, antusias.
Indi tersenyum. Ia merobek bungkus sumpit dan berdoa dalam hati, siap makan, ketika,
“…atas nama Bapa, Bunda, dan Roh Kudus. Amin.”
Lirih, begitu lirih Alfaro mengucapkannya. Namun Indi telah terbiasa mendengar suara Alf hingga sepelan apapun, suara itu masih tertangkap jelas di telinganya. Lagipula, gerakan tangannya dari dahi, ke dada, menyentuh bahu kiri dan kanan lalu bibirnya masih terlalu mencolok untuk disembunyikan, seperti apapun caranya.
Indi terdiam, sumpitnya tertahan di pangkuan. Ditatapnya puncak kepala Alf yang setengah menunduk, seraya menggigit bibir penuh getir.
Seandainya saja, Alf.

Dan ku berhenti berharap
Akan cintamu yang dulu
Ada di hati
Dan ku coba tuk bertahan
Walau berat
Kini ku berhenti berharap

Alfaro mengangkat sumpitnya dan menatap Indi heran.
“Kenapa, Ndi?”
Indi tertegun. “Nggak. Nggak papa.”
“Makan, dong. Nggak enak badan?”
“Nggak kok,” tukas Indi, mengambil sepotong chicken katsu.

**

Waktu menunjukkan pukul 14.30 di sudut Hall Basket yang cukup sesak oleh penonton. Serombongan cewek lewat dengan suara komentar yang ribut. Beberapa cowok lalu lalang, sebagian panitia yang kalang kabut, sebagian lainnya sibuk tebar pesona. Indi merasa terhimpit.
“Panas. Keluar yuk.”
“Ng—”
Indi telah berjalan keluar. Alfaro mengurungkan niatnya untuk bicara, dan mengikuti Indi keluar Hall Basket.

“Lo udah janji sama gua untuk nggak bakal nangis, kan?” ucap Alf, mencoba menghibur Indi yang duduk membelakanginya, menangis tanpa suara. Ia melihat ke sekeliling. Taman bermain itu sepi.
“Nggak, gue nggak nangis.”
“Trus apa itu namanya?” Alf berjongkok di hadapan Indi, menyeka air mata di sisi wajah Indi dengan buku telunjuknya.
“Gue…terharu.”
Alf menampakkan wajah antara ingin terbahak dan bersimpati, tapi ekspresi yang keluar justru datar.
“Dasar aneh.”
Alf meletakkan telapaknya di permukaan kepala Indi.
“Gue nggak habis pikir, Alf,” lanjut Indi, “..kalo gue boleh jujur, gue nyimpen perasaan ini sejak pertama kali gue liat lo di kelas X E.”
“Wah, satu lagi persamaan yang kita punya,” Alf menimpali, kini ia duduk di sisi Indi, “…gua juga sama.”
“Gue merhatiin lo setiap hari, setiap lelucon yang lo bilang, setiap hal yang lo lakukan,” ucap Indi lagi, “..dan gue nggak pernah berharap lo bakal ngerasain hal yang sama, atau bahkan tau. Cukup gue yang tau.”
“…gua juga, Ndi. Tapi kadang gua berharap lo tau.”
“Dan sekarang pas kita udah akrab, pas kita udah menemukan waktu yang tepat buat saling berterus terang, ternyata kita berdua masih punya keputusan yang sama,” Indi mulai sesenggukan. “Kalo aja, Alf, seandainya aja lo nggak bilang begitu tadi, gue udah mulai meyakinkan gue bahwa nggak ada yang salah sama ini semua. Selama nggak ada ikatan yang formal. Tapi ternyata—” Indi kini menangis.
Alfaro terhenyak.
“Ssh…,” ujarnya, perlahan mengalungkan lengannya ke sekeliling bahu Indi. “Jangan bikin gua merasa bersalah sama keputusan yang gua ambil, Ndi, tolong. Lo cewek yang menarik dan menyenangkan…tapi gua nggak mau bikin lo susah nantinya.”
“Chelsea, Alan? Sama aja, kan? Kenapa lo nggak?”
“Justru gua bikin keputusan ini karena gua belajar dari mereka. Dan asal lo tau,” Alf menatap mata Indi, “…Alan nggak pernah menganggap Chelsea serius.”
“…kasihan,” gumam Indi.
“Yah…tapi dua-duanya sama aja, sih,” ujar Alf seraya nyengir, tanpa mengartikan apapun yang bisa dimengerti Indi. “Jangan nangis. Gua nggak suka liat lo nangis.”
“Karena gue kusut?”
Alfaro terdiam, mata telaganya berpendar. “…karena itu bikin gua pengen nangis juga.”
“Hahahah,” Indi malah tertawa. “Hahahah, sori, nggak bermaksud meremehkan, tapi itu lucu, Alf. Serius.”
“Gua memang serius.”

**

“Nah, selesai juga akhirnya,” ujar Alf, menyodorkan kostum terakhir yang ia lipat pada Indi. Indi memasukkannya ke dalam laci dan menutup laci itu. Kini mereka berdua berdiri berhadapan, masing-masing merasa enggan beranjak.
“Lo nggak pulang, Ndi?”
“Baru mau pulang. Gue tadi nonton video rekaman pertandingan tahun lalu.”
“Ckckck, rajinnyaa. Mmm…mau gua anterin sampai Mayestik? Lo ada BTA kan?”
“Iya. Ngg…boleh, deh.” Indi berbalik, meraih tasnya, namun sebelum mereka mencapai pintu, Indi berhenti.
“Alf?”
“Ya?”
“Tentang kejadian setahun lalu…gue cuma pengen bilang, makasih. Makasih untuk menyadarkan gue bahwa ada banyak hal yang bikin kita nggak boleh dibutakan cinta. Cerita Chelsea cukup terdengar buruk buat gue.”
Alfaro tertegun cukup lama. “Itu…tepat setahun hari ini, ya? Nggak terasa,” ia mengibaskan hoodie cokelatnya yang sudah mulai kekecilan. “Sama-sama. Makasih juga…udah menyadarkan gua bahwa ketakutan malah akan menyingkirkan semua kemungkinan terbaik.”
“Alf, kita emang nggak bisa jadi pacar buat masing-masing, tapi…gue boleh nggak, minta waktu sedikit dari lo sekali-sekali? Soalnya…kadang-kadang cuma solusi dan kata-kata lo yang bisa bikin gue percaya lagi sama diri gue.”
“Boleh aja sih Ndi…,” Alf menarik risleting jaketnya. “Bahkan mau minta banyak waktu pun gua kasih, tapi,” Alf memicingkan mata dan mendekatkan hidungnya pada Indi, “..kalo gua bilang, gua ini Alan yang lagi tukeran sekolah sama Alf, percaya nggak lo?”
“Hah?”
“Lo baru aja ngingetin gua kalo masalah gua sama Chelsea belum selesai. Tapi mungkin gua bakal cerita soal pendapat lo tentang dia.”
“Eh…Al…Alan, gue..nggak serius! Maksud gue, gue cuma…”
“Ndi,” ucap Alf, serius. “Gua cuma bercanda. Mana mau gua tukeran sekolah sama Alan. Cari sensasi. Ayo, pulang. Tapi gua serius Ndi, ..you can have me anytime.”
Indi tertegun dengan mulut terbuka, menatap sosok Alf yang masih berdiri di pintu, menunggunya.
“Kenapa? Ini gua. Alfaro,” ujar Alf, tertawa kecil. Indi menekuk wajah.
“Aaaaalf, nggak lucuuuu!!”

**

Comments

Popular Posts