Kārunya

What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.

Apalah arti sebuah nama? Tutur Shakespeare melalui "Romeo & Juliet", berusaha mengejawantahkan dialog antidot terhadap isu kelas yang memisahkan sepasang kekasih dalam romannya. Sebagaimana buah pemikiran yang menggugah, larik itu lantas abadi, disadur dan direnungkan kembali beribu-ribu kali setelahnya pada kejadian yang relevan. -- setidaknya, demikianlah yang terjadi pada diriku.

Sebulan lalu aku berpamitan dengan atasanku. Pamit penghujung tahun untuk seterusnya di tempat kami bekerja. Aku masih ingat kalimat pertamanya memulai wawancara untukku beberapa waktu sebelumnya:

"Selamat siang, Pritha. Saya Adi. Apa kabar?"

Aku cukup tajam menilai orang pada kesan pertama tetapi pandemi lebih-lebih menajamkan hal ini: wow, dia kelihatan muda. Dan lelah. Mengapa?

.

Waktu bergulir. Aku menemukan bahwa dia adalah seorang profesional yang cakap. Muda, tidak banyak bicara, tidak punya ego, dan tidak butuh panggung. Meski kadang dalam hati aku jengkel sekali karena merasa untuk kapasitasnya dia sebenarnya berhak bersikap lebih keras. Tapi begitulah Pak Adi.

Suatu hari, dalam keadaan sudah cukup mempercayai satu sama lain, aku berkata terus terang padanya.

"Pak, saya dihubungi headhunter."

Dia menatapku dan membenamkan wajah dalam kedua telapak tangan. Tapi dia tertawa:

"Go for it, tes harga market kamu. Jangan mau dihargai rendah."

.

"Saya sudah dapat offering, Pak," kataku beberapa waktu kemudian. Kali ini dia menatapku dengan tajam. Aku tidak tahu apa yang terjadi di balik masker itu: apakah bibir yang mengatup ataukah seringai yang semakin lebar.

"Silahkan duduk."

"Ya, Pak."

Dia menatapku lagi, beberapa lama. Aku pun menatapnya, lurus. Dia pernah bicara padaku: Pritha, kadang-kadang menghadapi sesama gender yang suka mengambil simpati manajemen, bisa jadi kita harus ikut bermain. Idih, Pak, tukasku, ketinggian harga diri saya! Dan ia mengangguk-angguk, iya sih, itu bukan kultur yang bagus. Biarkan saja, Pritha, ia mengetuk-ketuk pelipisnya dengan telunjuk, sukses itu ditentukan oleh mindset. 

Dan siang itu ruangannya terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku kadang berpikir betapa kesepiannya dia dalam ruangan ini: tersudut, dingin, dan seolah kedap namun diam-diam setiap suara dari luar menggema ke dalam, berebut perhatian dan hal terbaik yang dapat dilakukan mungkin adalah berpura-pura masa bodoh. 

Tetapi, pelan-pelan sorot matanya menghangat.

"As your boss," dia memulai, "I am not happy to see you leaving. You are one of my best talent."

Saya terdiam. Matanya menyala.

"BUT. I will be most unhappy if you are staying just because you are not growing."

"..."

"And this is actually a proof that you had, in fact, outgrew your current position. So as your friend..., I would like to say, congratulation."

Mataku sebenarnya berkaca-kaca, tetapi aku tidak mau menjadi wanita yang menangis di kantor.

"I believe this is all thanks to your coaching, Pak. Had we never met, or all this situation happened several years prior, I may not pass."

"Nope," dia menggeleng keras-keras, "I just did what I can, sharing the best of my knowledge. You always had it in you, not yet awaken."


Hari ini, menelusuri lembar-lembar bingkisan dari beliau, aku merenungi perjalananku berkarir. Inside every cynical person, is a dissapointed idealist. Tetapi kupikir ada benarnya: apa yang kita kerjakan hari ini akan tertuai hasilnya hanya di kemudian hari. Setiap kejadian dalam perjalanan memperkaya pengalaman dan memperdalam kemampuan. Ketajaman dan kebijaksanaan tidak mungkin dikarbit. Barangkali itulah dasar kekagumanku pada Pak Adi: dia adalah antidot dari segala hal yang telah kuanggap hampir mustahil terjadi. Lalu tanpa kusadari menulariku dengan semangat: jika dia saja bisa, kenapa aku tidak. Sebab aku begitu kompetitif. Dan dia tahu persis hal itu.

Aku tidak akan lupa: namanya Adi, Adi Kurnia. Coba saja ketik namanya dalam kolom mesin pencari dan resapi artinya. Percayalah padaku, hati dan pikirannya sejernih arti namanya. Doa orangtua saat menamainya telah dikabulkan dan aku yakin semua yang disentuhnya akan meneruskan harapan-harapan yang baik, tidakkah itu merupakan sebuah kārunya?

Angkat topi, setinggi-tingginya.

Comments

Popular Posts