Positif

Sebagai orang yang kurang menyukai basa-basi, reaksi pertama saya saat berhadapan dengan situasi tersebut adalah: senyum.

Walau seringkali, senyum tidak memuaskan bagi lawan bicara, terutama jika tujuan daripada basa-basinya adalah mengorek informasi.

Saya kurang setuju dengan imbauan-imbauan sosial semacam "berpikir positif" untuk menanggapi suatu aksi dari lawan bicara. Hemat saya, lebih tepat bila imbauan tersebut berbunyi "bersikap positif". Artinya, apapun aksi yang dilakukan lawan bicara kita, demi kesantunan hendaknya kita tunjukkan reaksi yang positif, seperti tersenyum, terkekeh, atau melemparkan tanggapan diplomatis--selayaknya manusia dengan kepribadian yang matang. 

Sikap, bolehlah diimbau. Tetapi pikiran, mengapa tidak dibebaskan? Toh, konsekuensi atas pikiran--selama masih berada dalam kepala--adalah milik kita sendiri, untuk dipertanggungjawabkan sendiri baik dan buruknya. Mengenai bagaimana perasaan kita setelah memikirkan sesuatu adalah masalah lain, dan perlu diingat bahwa perasaan-perasaan yang akan muncul pun tanggung jawab kita sendiri pula, bukan pihak lain. Mengasumsikan bahwa orang lain bersikap baik demi ketenteraman hati maupun mencurigai maksud yang buruk dengan alasan kewaspadaan, tidak akan ada bedanya bagi pikiran dan perasaan pihak lain.

Kita dapat menebak arah suatu pembicaraan dari beberapa kalimat pertama. Mungkin juga, dapat ditebak tipe dan "cita-cita" lawan bicara Anda: apakah hangat, apakah rindu, ingin mengobral prestasi--ataukah paket combo mengobral prestasi sembari menendang Anda dengan tutur kata terlatih. Menyadari kesabaran saya yang pendek, saya telah belajar bahwa cara tercepat menghindari percakapan nirfaedah--sekaligus meminimalisir pembicaraan di belakang punggung--adalah dengan tersenyum. Yak. Yak. Baik. Bye (dalam hati).

Namanya juga cara tercepat, biasanya jauh dari sempurna. Orang-orang kita pada umumnya bersifat teguh hati (baca: ngeyel), maka jika niat sudah bulat, berbagai cara tetap ditempuh untuk mendapatkan keterangan yang diinginkan. Keterangan ini kemudian digunakan sebagai materi fit and proper test: uji kelayakan Anda sebagai orang di mata lawan bicara, sesuai wawasan, kapasitas, dan pengalaman hidup yang bersangkutan. Informasi ini dapat saja diteruskan kepada kelompok-kelompok pergaulannya serupa sesi fit and proper test para panelis.

Hal tersebut lumrah, namun karena tertebak, maka langkah berikutnya adalah melemparkan tanggapan diplomatis. Misalnya, ketika ditanya kapan kawin: besok! Berikutnya, sudah isi anak belum? Dijawablah, wah, kebetulan belum bikin. Saya menyadari reaksi orang kebanyakan adalah mendelik atas jawaban-jawaban saya, tapi mau bagaimana lagi. Berhubungan seks tanpa ejakulasi di dalam vagina, bukankah itu sama dengan belum berusaha membuat anak?

Kadang ada juga yang bertanya demikian dengan maksud bercerita kembali, untuk kemudian dipuji. Tentu saya tinggal senyum dan berkata, ooh, bagus. Sulit adalah ketika orang ingin dipuji sekaligus mendengar kita mengaku "kalah". Lha, situ yang berlomba, mengapa saya juga harus jadi peserta?

Terus terang, hidup terasa jauh lebih menarik sebelum ada media sosial, sebab sejauh-jauh melangkah selalu ada sisa misteri. Misteri tidak hanya memberi harapan untuk hari esok yang selalu baru, ia juga melatih saya untuk memutuskan: berpikir pendek dan panjang, luas dan sempit, juga untuk tidak usah repot berpikir sama sekali! Jika hasil pemikiran melenceng, tidak perlu terbawa perasaan. Justru itulah lesson learned.

Mungkin karena terbiasa demikian, media sosial jadi mirip Yellow Pages di mata saya. Semua tertera, tertebak, dan lebih mudah diketahui. Terutama karakter manusia! Sebenarnya tidak mengganggu, hanya kadang saya berharap saya tidak tahu, sebab akan menimbulkan heran. Saya lebih baik tidak tahu, daripada heran.

Kita memiliki tujuan masing-masing dalam bersosialisasi, termasuk dalam menggunakan media sosial. Baru-baru ini ada #dollypartonchallenge yang menjelaskan bahwa kita cenderung menampilkan persona yang berbeda pada media--atau kiasnya, lingkungan--yang berbeda.

Saya sempat berpikir ketika menatap challenge tersebut pertama kali. Does this apply to me? Saya meneliti persona pada akun-akun media sosial saya dan menyimpulkan, sepertinya tidak, setidaknya untuk saya. Persona saya pada Instagram, Facebook, Blog, LinkedIn (Tinder, saya tak punya) semua sama--datar saja. Hanya informasi yang ditampilkan berbeda-beda. Saya rasa pada berbagai lingkungan tempat saya berada, personanya pun seperti itu. Hal itu tidak baik dan tidak buruk, semata sesuai kebutuhan. Barangkali, akan berbeda kebutuhannya jika persona saya adalah sebuah komoditas yang memang diperdagangkan.

Adapun tujuan saya menulis, utamanya adalah refleksi. Berikutnya adalah berdialog. Saya tahu tidak banyak yang akan membaca tulisan saya, dan kalaupun ada, timbal-baliknya mungkin perlu pertimbangan-pertimbangan dari pembaca, sehingga cukuplah saya berdialog dengan diri sendiri. Sebetulnya dua hal itu--refleksi dan dialog--adalah apa yang terjadi saat saya membaca sesuatu. Setelah beberapa lama membaca dan pikiran berbuah, manusia bisa jadi tergerak untuk menulis. Begitulah.

Ada masanya jiwa ini meluap-luap ingin berbagi informasi, tetapi dengan cepat saya menyadari: profesi saya tidak membawa stempel pembicara publik (melainkan pembicara pada ruang tertentu), saya bukanlah manusia yang relevan dengan kebanyakan orang, dan, lagi, tidak pintar basa-basi. Berbagi informasi yang tidak diperlukan, tidak berkaitan, terlebih tidak disukai oleh orang lain dapat menimbulkan riuh simpang-siur persepsi yang tidak perlu. Oleh karenanya saya memutuskan sebisa mungkin tidak bicara bila tidak terlibat dalam pembicaraan. Juga enggan menyediakan informasi yang mudah diunduh. Pemikiran, bolehlah. Sisanya, biarlah menjadi misteri. Jika memang ingin berteman, maka orang akan mendekat tanpa perlu promosi, tanpa terlalu banyak basa-basi.

Lagipula siapa juga yang mau tahu isi kepala saya? Memangnya saya ini siapa, hehehe. Kalau isi kepala saja tidak relevan, apalagi aksesori hidup yang lain: pertimbangan finansial, pemilihan pasangan, prioritas hidup, benda-benda yang digunakan, etc, etc...

Menampilkan informasi yang cryptic juga bagi saya merupakan kesenangan. Akan tersaring dengan sendirinya antara yang genuine, yang insightful, yang sekedar penasaran, dan yang memang butuh panggung. Banyak juga kejulidan dalam kepala saya, meski sejauh ini saya belum pernah membenci siapapun. Cuma sangat ingin menggoda! Ingin tahu, sejauh apakah, sedalam apakah. Knowing is not enough, we must apply.* Ah, biarlah saya bertanya-tanya. Setiap orang bebas memilih caranya sendiri untuk dapat bersikap positif.



*Johann Wolfgang van Goethe

Comments

Popular Posts