Hikayat Sebuah Perjalanan

Beberapa waktu sebelum akhir tahun lalu, saya dan suami melakukan perjalanan selama seminggu ke Jawa Tengah. Rencananya adalah cuti dan menyepi, sengaja bukan pada masa orang berlibur. Tetapi karena ada kabar kapundhutnya Simbah Putri dari suami, perjalanan akhirnya dimulai dua hari lebih awal.

Kami bergantian menyetir, berangkat pada Sabtu larut malam. Saya memang senang menyetir jarak jauh pada malam hari. Ada kesunyian dan misteri tersendiri yang bagi saya menenteramkan, selain juga lalu-lintas yang lebih lengang. Meskipun, hal ini sebaiknya hanya dilakukan dengan stamina dan penguasaan medan yang baik.

Apa yang biasa dipikirkan manusia ketika menyetir?

Pertanyaan ini muncul pertama kali di benak saya semasa kecil, saat memperhatikan Bapak yang menyetir. Bapak adalah lulusan Agronomi UKSW yang ndilalah, hampir sepanjang hidupnya, bekerja menangani standar bahan baku segar di perusahaan swasta. Pekerjaan Procurement (sebagaimana bidang apapun yang berkaitan dengan benda spesifik) adalah pelik, menuntut mobilitas tinggi, dan penuh teka-teki tak masuk akal hingga lama kemudian sikapnya menengarai bahwa menyetir sendirian--kadang antar pulau--mungkin adalah salah satu upaya Bapak menghibur diri.

Hidup kami sekeluarga berpindah mengikuti dinamika pekerjaan Bapak. Sebagai anak bungsu dari kota kabupaten kecil yang seluruh keluarganya mengabdikan diri sebagai pegawai pemerintah (sebab pekerjaan apalagi yang bisa Anda dapatkan di kabupaten pada 1989?), lulus sarjana dari fakultas pertanian untuk bekerja di perusahaan orang di Jakarta adalah suatu hal yang umum dikasihani, pada masa itu. Jakarta terkesan angkuh dan tidak kenal ampun: pekerjaannya tidak memiliki zona aman, sebab dapat dipecat sewaktu-waktu; masa pensiun pun harus dijamin oleh diri sendiri. Maka bayangan yang ada di pikiran orang-orang tua adalah hidup yang penuh kekhawatiran. Lupakan hamparan sawah menghijau dan matahari di ufuk timur saat mengayuh sepeda atau mengengkol vespa di pagi hari. Lupakan tindak-tanduk kebudayaan yang mudah diwariskan pada anak-cucu.

Tetapi Bapak toh hanya angkat bahu. Pikirnya, hidup ini jika memungkinkan, adalah berjalan lebih jauh dari hari kemarin. Maka ia mencicil rumah tipe 36 di kawasan Bintaro yang pada 1991 kawasannya masih berupa separuh rawa. Menikah pada 1992. Memiliki anak pertama pada 1993, saat vitrage masih diganti dengan kertas koran jika sedang dicuci. Tidak mau menerima apapun dari orangtua--sebab Simbah yang berprofesi sebagai penilik toh tidak kaya, meski tidak juga kekurangan. Bukankah lucu jika suatu keluarga yang masih impas dengan penghasilannya masih harus juga memikirkan keluarga lain yang sama-sama dalam status (nyaris) impas? 

Bapak mulai merenovasi rumah. Selesai renovasi, lahir anak kedua pada 1997 dan Bapak mendapatkan pekerjaan baru di Medan. Kami semua harus pindah. Yha!

Kata Bapak di kemudian hari: itulah kenikmatan hidup. Di mana letak nikmatnya? Ya tidak ada, jika yang diinginkan adalah suatu masa bebas dari masalah. Masalah itulah hidup.

Kehidupan bergulir hingga beberapa perusahaan kemudian saat anaknya berjumlah tiga. Jika kebetulan sedang libur sekolah dan ada pekerjaan luar kota, kami akan diajak. Kadang menginap di hotel, kadang di rumah petani--sebab mana ada hotel di pedesaan. Beberapa nun di atas gunung, sebagian tepat di tepi laut. Tentu belum ada jalan tol sehingga pilihan jalurnya terbatas: pantura, atau pansel. Alat navigasi favorit Bapak adalah kompas, letak gunung, dan arah matahari. Kecuali jalan di hadapannya berakhir pada garasi orang, Bapak terus melaju. Jika sekarang salah belok, maka belok nanti di depan. Kalau jalan semakin menyempit, berputar saja ke arah semula. Melaju, malam demi malam. 

Saya tidak pernah melihat raut takut pada wajahnya, apalagi mimik melamun. Bapak adalah semata ketenangan berbingkai sorot serius, yang tersenyum lebar menampakkan gigi bila menyalami orang. Sekian tahun berselang baru saya menyadari, begitulah ia menyalami segala perkara dalam hidupnya: naik, turun, lubang mendadak--ayun ke bahu, sandang ke tujuan.

Kepada saya, Bapak tidak pernah bertanya nilai rapor, menjanjikan hadiah, atau membelikan mainan saat saya tidak meminta. Bapak menunjukkan cara berkebun, memberi makan itik, dan menggunakan tustel. Bapak mengamati buku dan kaset yang saya pandangi di toko, lalu menawari apakah saya ingin ia membelikannya. Bapak menyetel Hotel California dan menyetir sambil menggumam, menunjukkan: kebun bawang merah, pasar, PLTU, tambak bandeng, hutan karet, pedagang air nira, Goa Jepang, Benteng Pendem van den Bosch, Candi Gedong Songo, Telaga Warna, Museum Ronggowarsito...tak lupa sesekali menepi jajan: lihat, ini yanko, ini telur ikan nila, ini bakso Tamansari. 

Sebagai kanak-kanak, tentu setiap perjalanan bersama Bapak menyimpan kesan dan bahan imajinasi yang menggairahkan. Bapak betul-betul tahu setiap apa yang ditunjuknya; ia bercerita, kadang membumbui dengan sejarah hidupnya sendiri sambil tertawa. Pada akhirnya nasib membawa kami semua kembali ke Jakarta, ke rumah Bintaro yang dibeli pada 1991. Usia saya telah menginjak remaja muda, ketika dalam pertemanan muda-mudi saya bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing, untuk kemudian mengetahui: tak seorang pun tertarik mendengar perjalanan-perjalanan saya bersama Bapak!

Mereka ingin tahu, saya sudah pernah ke Disneyland? Sudah pernah makan di resto B? Nongkrong di Mall C? Majalah D bulan ini sudah baca? Aksesorinya lucu banget loh, kita beli sama-sama yuk! Tinggallah saya mengerjap-ngerjap seraya mencoba tersenyum lebar, berkata, wah, belum, coba nanti gue lihat...oh ya? boleh juga, hehe...oh, itu, itu juga belum sih, habis kayaknya nggak kepengin hehehe...

Tidak perlu analisis mendalam untuk menebak bahwa saya tidak akan pernah punya clique selama bersekolah tingkat lanjut. Bapak tidak kaya, tapi juga mustahil dikategorikan kurang. Uang saku cukup untuk makan dan menabung tetapi tentu takkan cukup untuk ongkos bergaul. Saya bisa minta tambahan jajan sesekali, namun dengan berat hati saya akhirnya mengakui: setelah beberapa saat mencoba, saya merasa bahwa persoalan pergaulan ini memang tidak menyenangkan bagi saya. I simply stopped trying.

Saya pun melanjutkan kehidupan persekolahan dengan biasa saja. Saya tidak tahu apa yang teman-teman saya pikirkan soal saya, walau kadang penasaran. Ada yang bilang saya dikenal pintar, meski saya tidak merasa demikian (saya selalu dikelilingi teman-teman yang ambisius dalam belajar, di mana pun bersekolah. Apa yang saya lakukan? Belajar sebisa-bisanya, lalu membaca Harry Potter. Atau Botchan. Atau Mangir. Mau kejar-kejaran, rasanya kok tidak perlu-perlu amat). Ada yang bilang saya terlampau serius, bahkan cenderung galak. Tetapi saya yakin mereka tidak tahu bahwa saya selalu berusaha mencari teman; teman yang bisa bicara sama asyik saat bercerita tentang perbedaan jaman Jepang dan Belanda di mata kakek-nenek kita. Tentang mengapa para petani bawang merah menerangi kebunnya dengan lampu yang digantungi mangkuk minyak setiap malam. Tentang mengapa remaja di Eropa dan Amerika dianggap cukup dewasa untuk mulai mengurus diri sendiri selepas High School...sebuah pencarian yang berakhir di atas tempat tidur, dengan pikiran melayang ke dataran tinggi Dieng: sayup-sayup pekik elang, semilir yang dingin...

Saat mendaftar kuliah, setelah gagal dengan cita-cita bergabung dalam Medecines sans Frontieres, haqqul yaqin saya pilih jurusan yang saya tahu, akan dipertanyakan orang sampai bosan. Sebab saya tahu, jurusan inilah yang pasti saya dapatkan dalam ritual pelik "tes perebutan kursi". Sebab saya tahu jurusan apapun yang saya ambil, saya akan lulus sebagai seorang Pritha, jadi apa bedanya? Yang terpenting, saya tahu jurusan tersebut relatif ekonomis. Sekali lagi, jika saya akan lulus dari mana saja dengan nasib seorang Pritha, kenapa tidak pilih yang termurah sekaligus.

Ajaibnya, di sanalah untuk pertama kalinya saya menemukan teman-teman yang dicari. Sedikit, tapi melipur lara. Laki-laki, kecuali beberapa wanita. Pantas sejak dulu tidak ketemu! 

Salah satu di antaranya, dengan jiwa petualang dan kesenangannya akan tantangan, menjadi suami saya. Dua di antaranya menjadi teman penelitian untuk bahan skripsi. Percakapan awal kami setelah menyepakati kekhususan bidang ilmu adalah sebagai berikut: topik apa yang akan kita kerjakan, dan dengan siapa sebagai pembimbing? Keputusannya: apa saja yang duluan datang dan gratis! Aha! Ternyata hal tersebut menggariskan nasib kami untuk wisuda setelah sembilan semester akibat berbagai drama yang elok. Kami angkat bahu dan berpisah dengan cengiran lebar (setelah saya sempat menangis kepada Bapak saat mengabarkan bahwa bayar kuliahnya akan tambah satu semester lagi, yang berujung ditertawakan), kembali mengadu nasib masing-masing dalam "tes perebutan kerja".

Kami berhasil mendapat pekerjaan, di sektor privat. Saya dan suami menikah. Dua tahun berlalu sampai kami tiba pada perjalanan untuk melawat dan menyepi...

Sekarang saya dapat menduga, lamat-lamat, apa yang Bapak pikirkan saat ia menyetir. Seluruh memori tentang yang lampau dan kemungkinan akan yang datang bergulir, libas-melibas seirama lampu truk dan bus di lajur seberang. Tidak ada rasa takut dan khawatir  tentang kapan dan bilamana perjalanan harus berakhir. Pikiran berpendar lebih terang dalam sunyi dan misteri. Kita tahu ke mana harus pergi.

Dewasa ini hal-hal trendi zaman remaja sudah berganti tren dengan dinamika millennials.  Mengenai sikap profesional dalam bekerja, termasuk cara dan sikap bergaul pada kesempatan resmi, tentu tidak dapat ditawar sebagaimana keharusan belajar jika ingin beres sekolah. Tetapi dalam Departemen Gaya Hidup, pastilah saya masih sama menyedihkannya seperti saat sekolah dulu. Menyedihkan, karena gaya hidup yang pada umumnya dapat menghibur diri bagi kebanyakan millennial justru melelahkan bagi saya, mirip sandiwara kabaret yang tak habis-habis. Lebih menyedihkan mungkin karena tanpa gaya hidup pun kehidupan kami biasa-biasa saja, tidak kurang, namun terlalu tanggung untuk dirasa lebih. Jika sejak remaja saya tidak pernah merasa relevan dengan pembahasan topik populer rubrik kehidupan di majalah, sekarang pun saya tidak, dan tidak ada keperluan untuk, merasa relevan dengan pembahasan panduan hidup pada akun-akun sosial media, terutama menyangkut kesuksesan finansial.

Banyak orang berkata betapa skeptis, sinis, dan membosankannya pendekatan saya terhadap hidup. Sebaliknya, saya justru merasa pada titik inilah hidup saya begitu spiritual. Hidup saya tidak pernah memiliki bukti konkret kesuksesan, selain sikap dan perjalanan diri ini. Persis seperti yang saya butuhkan. Tepat seperti yang saya inginkan.

Saya percaya setiap perjalanan manusia telah dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan kebutuhan yang bersangkutan. Jika yang bersangkutan merasa belum, saya kira itu hanyalah masalah waktu--sampai yang diinginkan menjadi kebutuhan, atau sampai kebutuhan tidak relevan dengan keinginan. Walaupun menilik ke belakang, barangkali ini adalah refleksi semata dari perjalanan hidup Bapak. Bapak, yang tidak pernah menginginkan apa yang ia tahu tidak dibutuhkan. Di luar segalanya, pastilah ia kesepian--barangkali seiring menuanya usia menjadi tanpa sama sekali teman--dengan pilihan hidup yang tidak banyak diinginkan orang. Serupa dengan apa yang saya rasakan.

Maka, sepanjang perjalanan selama satu minggu ke Jawa Tengah, hati saya penuh oleh roman. Roman gadis cilik yang tengah menatapi sudut-sudut perjalanan bapaknya, jauh sebelum ia bisa menerka bahwa barangkali, itulah cara beliau menuntunnya pada langkah-langkah memulai perjalanannya sendiri. Roman sepasang manusia yang bertatapan dalam sunyi, berjanji dalam hati untuk suatu saat menuntun dalam perjalanan mereka: seorang putra.

Agar kelak ia dapat memulai kembali langkah-langkah perjalanannya, jika pada akhirnya pilihan dan perjalanan hidup kami tidak mewariskan banyak hal, melainkan hikayat sebuah perjalanan.




Comments

Popular Posts