Gamblang

Saya memiliki sebuah lingkaran yang, dan yang dijaga agar tetap, kecil. Suami, orangtua, adik-adik, dan sedikit teman. Teman-teman yang hanya bertemu mungkin satu dua kali setahun, dan baru-baru saja kami melakukannya. Tentu dengan satu topik yang tidak pernah ketinggalan: menukar kabar yang didengar mengenai orang-orang di luar lingkaran.

Kebiasaan ini terjadi saya pikir karena nyaris kami semua, jauh di dalam hati, merasa sebagai yang terbuang dan/atau dengan sengaja bersembunyi. Mungkin hanya sebagian dari kami tidak mau mengaku. Kami berteman dengan alasan masing-masing; alasan saya pribadi adalah mencari suaka yang leluasa untuk bersikap gamblang sebagai diri sendiri.

Sudahkah kalian dengar, kata salah seorang teman, ada orang-orang yang berubah. Si A, si B. Tidak mengapa, saya hanya bertanya-tanya...mengapa tidak sejak dulu saja.

Tentu, kami semua bertanya-tanya. Sebab kami adalah orang-orang yang terbiasa pada perubahan. Orang-orang yang menghadapi sesuatu dengan pembukaan, "Baiklah, apa yang bisa kami lakukan untukmu?" Orang-orang yang sejak pertama memulai langkah dengan gamblang. Kadarnya berbeda-beda tetapi kurang lebih sama.

Saya harus katakan bahwa inilah yang saya rasakan: menjadi wanita selalu lebih dilematis.  Diperparah dengan: hal ini tidak akan dapat dimengerti oleh yang tidak pernah jadi wanita. Seorang kolega pria dari India berkata, masalahnya adalah telanjur ribuan tahun lebah membuat sarangnya tanpa pernah sekalipun ada kupu-kupu masuk ke dalam. Diperlukan usaha sangat besar untuk membuat sarang baru yang dapat mengakomodasi lebah dan kupu sekaligus.

Tetapi wanita juga perlu mengakui bahwa pikiran kita sendiri pun dilematis. Logika adalah bagan, dan emosi adalah hal-hal yang menggambarkan bagan itu agar dapat, bukan sekedar dimengerti, tetapi dirasakan; sebetulnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Bukan pengertian yang dapat menggerakkan manusia, melainkan rasa.

Wanita, lebih mudah menyadari rasa, dan begitulah mereka terjebak dalam situasi abu-abu dari orang lain sebab rasa dikira objek, padahal sebetulnya dia adalah subjek ketika ditempatkan dalam konteks yang sesuai. Tetapi menentukan konteks membutuhkan logika; logika bergantung pada kapasitas, sementara wanita sudah telanjur tidak diikutsertakan dalam dialog penilaian kapasitas selama berabad-abad. Bagaimana bisa dinilai sebagai subjek ketika belum ada kesepakatan mengenai kriteria? Bagaimana seekor lebah dapat menerima kriteria dari sudut pandang kupu-kupu?

Jawabannya, tidak bisa.

Tetapi kita bisa mencoba. Tanpa lelah.

Lebih lanjut, kita dapat mencoba memahami dan menerima jika nantinya, tetap akan ada hal yang berbeda, yang tidak dapat kita setujui. Tanpa tetapi.

Saya berasal dari orangtua yang menerima perbedaan. Meskipun saya darah daging mereka, yang sudah menghabiskan banyak sumber daya, yang mungkin tidak pernah berhasil dikembalikan agar impas. Meskipun banyak hal yang tidak mereka setujui dari saya, dan sebaliknya. Tetapi kami saling mencintai bukan karena kami saling setuju. Mereka mengusahakan kehadiran saya dalam hidup bukan karena mencari pengikut yang akan setuju. 

Maka saya kaget bukan kepalang ketika menyadari bahwa hidup bermasyarakat ini kebanyakan ditentukan oleh setuju atau tidak setuju. Ketika persetujuan menjadi harga yang harus dibayar demi mendapatkan sesuatu, seringkali sekedar untuk bertahan hidup. Orang-orang yang saling mencintai karena kagum akan kemampuan sandiwara alih-alih karena berani bersikap gamblang.

Mereka bilang, saya terlalu berlebihan, ketika saya mengatakan berkali-kali: dikomentari dan dipertanyakan keabsahan identitasnya berdasarkan penampilan yang disetujui, benar-benar mengganggu. Menghancurkan hati. Membuat saya benci dan berharap yang berkomentar akan mengalami apa yang saya rasakan. Membuat saya mengusap tangis dan bergerak maju karena ingin, suatu saat berbalik menghadap mereka, dan menunjukkan di mana saya berada, tanpa bicara apa-apa. Dalam hal ini, saya sangat pendendam. Saya tidak suka diremehkan. Terutama jika diremehkan hanya akibat perbedaan sikap mengenai aurat.

Inilah yang saya dan teman-teman perbincangkan.

Sebagian besar teman saya omong-omong, bukanlah wanita. Tetapi saya rasa, jauh di dalam, mereka melihat saya bukan sebagai wanita, atau kurang wanita, atau bukan wanita. Mereka melihat saya sebagai saya. Pritha. Gamblang. Tanpa tetapi. 

Begitulah pula yang suami saya lakukan, sejak pertama kali kami bertemu. Jatuh cinta kepada saya: Pritha. Gamblang. Tanpa lelah. Ialah kasih yang melembutkan duka dan menumbuhkan daya. Hangat api kepada kebekuan benci. Kerut tangan yang memimpin dan menerima. Tanpa syarat. Bahkan saat saya lupa arah dan tidak mengetahui.

Kemudian saya sadar bahwa tidak semua wanita memiliki apa yang saya punya. 

Saya melihat banyak wanita berubah dalam hidupnya, wanita-wanita yang mungkin dahulu mempertanyakan mengapa saya begini dan begitu.

Ketika saya terdiam dan melihat ke dalam, tiba-tiba tidak ada lagi dendam.

Saya hanya ingin menyapa dan bertanya,

"Apa kabar? Maukah kamu jika kita berteman?"



Comments

Popular Posts