Rencana Tuhan

Suatu hari adik saya menggunakan layanan motoris terintegrasi aplikasi online yang kebetulan bercakap singkat dengannya. Motoris tersebut berumur sebaya dengan saya dan oleh karenanya Adik menggambarkan kebetulan itu. Motoris bertanya kepada Adik: apakah saya telah menikah pula dan memiliki anak sepertinya? Adik menjawab, ya, saya telah menikah, dan belum, saya belum memiliki anak. Baik saya dan suami sedang sama-sama bekerja, mempersiapkan segala sesuatu. Keinginan memiliki anak ada dalam rencana jangka panjang kami.

Motoris menimpali dengan berkata, sebagaimana layaknya penyataan yang orang biasa sampaikan pada saya: "Jangan takut memiliki anak, karena anak ada rejekinya sendiri. Saya juga tidak tahu bagaimana, tiba-tiba setelah punya anak semua ada datang dengan sendirinya. Ini pasti rencana Tuhan."

Maka Adik mengulangi pernyataan tersebut kepada saya setiba di rumah, sambil berkata, "Kak, kamu orang yang suka merencanakan sesuatu. Tetapi bagaimana kalau hidup itu berjalan bukan tanpa rencana? Bagaimana kalau memang kita harus berjalan saja tanpa perlu banyak berpikir, bagaimana jika justru kita harus seperti itu agar rezeki datang pada kita?"

Kami memang sering berdiskusi seperti ini kepada satu sama lain di rumah, menguji pemikiran dan menimbang argumen masing-masing, untuk kemudian disimpulkan sendiri-sendiri. Adik menjelaskan bahwa begitulah yang sering ia alami. Justru ketika ia sudah hampir menyerah dan memutuskan untuk pasrah, maka rezeki akan datang.

Saya menjelaskan bahwa dalam hidup kami, ia memiliki hal yang tidak saya miliki: ada seorang Kakak yang sudah lebih dahulu mengalami masa-masa sebelum ia. Ketika tiba waktu untuknya mengalami masa yang sama, Kakak kebetulan dapat ikut berdiri di dekatnya sebagai pendukung, sehingga pendukungnya ada tiga: Bapak, Ibu, dan Kakak. Di saat yang sama beban Bapak dan Ibu tinggal dua: ia, dan Adik Bungsu. Sementara semasa si Kakak seumur dengannya, pendukungnya hanya dua: Bapak dan Ibu. Beban yang ditanggung pun lebih banyak: Kakak, Adik, dan Adik Bungsu.

Pada hidup Adik, jika Bapak dan Ibu sedang kesulitan, Kakak dapat membantu mendukung. Pun jika Kakak sedang tidak dapat mendukung, tetap ada Bapak dan Ibu. Di masa Kakak, pendukungnya hanyalah Bapak dan Ibu. Tidak ada sosok yang dapat dibandingkan pengalamannya dengan segera selain orangtua yang masa hidupnya berselang demikian jauh. Di masa Kakak, Bapak dan Ibu menanggung lebih banyak beban sehingga diam-diam Kakak berpikir mencari cara hidup yang memungkinkannya mendapat kesempatan terbaik tanpa mengorbankan kesempatan hidup adik-adiknya. Ya, betapa pun galak dan menyebalkan si Kakak, diam-diam ia juga memiliki rasa sayang: sayang kepada Bapak dan Ibu, sayang kepada Adik-adik. Ia tidak memiliki pemikiran lain kecuali merencanakan apapun sebaik-baiknya. Sehingga bila terjadi suatu hal yang sulit dihindari, semua orang tetap mendapatkan keselamatan at the very least.

Konsekuensi yang disebabkan dari pilihan Kakak adalah pencapaian materiil darinya tampak lambat, dengan langkah-langkah yang tampak terlalu hati-hati, terlalu idealis, dan keras kepala di mata sebagian orang. Tetapi ini adalah konsekuensi yang disadari betul, tanpa motif sok populis. Bagi Kakak ini adalah pilihan yang membahagiakan. Hal yang membuat sedih adalah jika maksud ini disalahpahami atau bahkan diremehkan dengan pemberian solusi sepihak yang sebetulnya sama sekali tidak relevan dengan kenyataan hidup yang Kakak alami. Bagi Kakak ini bukanlah pengorbanan atau sikap heroik, melainkan peran yang ia sadari perlu ia mainkan, sebab tidak ada orang lain yang dapat ia tunjuk atau seret untuk menggantikan peran tersebut. Satu-satunya keinginan adalah menunjukkan konsistensi dan sikap konsekuen pada adik-adiknya. Menunjukkan bahwa, despite anything, kita tetap dapat hidup bahagia, selama hidup kita ditujukan pada hal-hal yang abadi: ilmu, integritas, dan cinta kasih.

Bapak, Ibu, Adik-adik, dan saya tidak pernah menyatakan cinta kasih dengan kata-kata. Kami berbicara mengenai visi yang sama dan tertawa bersama, kami saling mengerti dengan pandang mata. Begitulah saya dan Adik menutup pembicaraan, dengan tawa dan mata.

Tuhan selalu memiliki rencana atas segalanya. Tetapi adalah pilihan kita untuk menentukan, bilamana menjalankan rencana dengan tangan sendiri, atau menemukan tangan orang lain yang menjalankannya untuk kita. Ketika saya belum mampu berjalan sendiri, rencana Tuhan datang kepada saya lewat Bapak dan Ibu. Meski orang melihat itu pencapaian saya, dibaliknya selalu ada konsekuensi yang mesti ditanggung orangtua, mungkin dengan begitu susah payah, demi memberikan kesempatan untuk saya mencapai sesuatu. Oleh karenanya saya selalu berusaha agar apa yang ingin saya capai ini betul-betul atas sesuatu yang berarti dan bermanfaat--sebab saya menghargai kerja keras orangtua saya. 

Menjadi Kakak atau pun tidak, saya pikir setiap orang memiliki peran untuk menerima dan memberikan kesempatan dari dan kepada orang lain. Tidak ada yang salah dengan penerimaan dan pemberian, pun dengan keinginan berusaha atau penyerahan diri kepada Tuhan. Yang kurang wajar adalah jika kita bersikap tidak konsisten demi menghindari konsekuensi, atau malu membuka mata terhadap kenyataan jika hal tersebut tidak menguntungkan atau mendukung pemikiran awal kita. Saya belajar bahwa masalah hanya akan melukai lebih banyak pihak jika dihindari. Saya mungkin aman, tetapi orang lain bisa jadi terbebani; bagi saya hal tersebut tak sampai hati dilakukan.

Begitu pula mengenai rencana Tuhan: kita barangkali berpikir sesuatu terjadi secara tiba-tiba ketika kita menginginkan sesuatu dan itulah yang menjadi berkah bagi kita, tanpa menyadari bahwa mungkin ada pihak-pihak yang telah berusaha, atau bahkan berkorban demi memenuhi hal tersebut. Bisa jadi pula itu adalah hasil dari usaha kita sendiri, yang tidak kita sadari. Rencana Tuhan berjalan melalui tangan-tangan yang nyata di dunia.

Kemarin pula saya berbincang dengan Ibu dari seorang teman yang sudah lama tidak saya temui. Kami saling bercerita. "Tidak apa," ucap beliau, "..berusaha memang wajar, semua membutuhkan proses, setahap demi setahap, perlahan-lahan. Masa ini memang memungkinkan orang mudah untuk menuntut, atau melewatkan pemikiran-pemikiran yang seharusnya dilalui. Tetapi, proses memang biasanya tidak mudah, apalagi cepat, mengingat pijakan awal setiap orang berbeda-beda. Ini yang perlu disadari, dipahami, dan disyukuri." 

Beliau adalah satu dari sedikit orang yang sering mengucap hal sama pada saya: orangtua, atasan, sahabat. Bertemu dengan orang-orang seperti beliau membuat saya bersemangat; sebuah kehangatan yang tidak terduga.

Rencana Tuhan, selalu menyertai orang-orang yang tidak putus berusaha dengan penuh pertimbangan; sebab sesungguhnya pertimbangan juga adalah sebuah doa.


Comments

Popular Posts