Kartini

Mendiang Mbahrayi adalah seorang guru. Semasa hidupnya, mendiang barangkali berpikir bahwa saya masih terlalu muda untuk dituturi pengalaman menyaksikan pergumulan Orde Lama, Orde Baru, hingga "Bukan Orde". Tetapi seperti umumnya Simbah, beliau mengisi masa kecil saya dengan manis--membuat tape ketan, menjahitkan rok, menyimpan tumpukan besar buku bahan ajaran lengkap dengan stempel "Milik Departemen P dan K, Tidak Diperdagangkan Untuk Umum". Demikianlah saya pertama kali menemukan pada tumpukan buku-buku tersebut: Habis Gelap Terbitlah Terang (1963), dengan huruf-huruf terbitan mesin tik dan ejaan lampau.

Sebagai anak kecil, kisah Kartini menarik bagi saya sebab kesehariannya memberikan bukti atas kisah orang-orang tua dan mudah diasosiasikan. Bahwa lumrah bagi bayi baru lahir di masa itu, untuk diberi makan berupa lumatan nasi dan pisang. Bahwa pelajaran pertama yang diwajibkan untuk seorang Raden Ayu adalah tata krama dan seni budaya. Hidup di kota kabupaten yang relatif lambat perkembangannya pada rentang 1998--2002, kebiasaan di jaman Kartini masih dapat saya temui di sekitar saya: masak dengan tungku, para Simbah yang membatik dan berjualan di pasar, irama struktur sosial yang seringkali terlampau halus, hierarkis, dan penuh teka-teki--setidaknya bagi pikiran kanak-kanak saya.

Kelak saya akan membaca kembali tulisan-tulisan dari dan mengenai Kartini. Merenung ulang, sebab kian umur bertambah kian bergidik saya mereka kompleksitas keresahan Kartini atas situasi hidupnya. Betapa sepi, dan ironisnya, beruntung (atau begitulah orang-orang mengatakan padanya). Betapa dia mengutuki keberuntungan yang semakin menempatkannya dalam kesepian berdialog.

Kartini--juga perempuan-perempuan yang memiliki keinginan berbeda dengan anggapan kepantasan di masanya--barangkali menakar pilihan atas pertanyaan yang telah disimpan sejak pertama bibit sikap disimpan: bilakah saya boleh membiarkan konsekuensi atas sikap ini ditanggung oleh orang-orang yang saya cintai?

Pada akhirnya, cinta Kartini kepada ayahnya memenangkan dialog. Cinta yang juga ironi, sebab awal mula keresahannya terhadap poligami dimulai dari sikap sang ayah. Istri berdarah biru adalah kunci kenaikan pangkat dalam jenjang kebangsawanan--maka demikianlah pernikahan kedua terjadi, demi kesejahteraan keluarga. Demikianlah pula Kartini melangkah ke dalam pernikahan, bukan sebagai istri pertama--demi nama baik dan kebahagiaan keluarga.

Sikap Kartini, dalam bayangan saya, tidak menurut begitu saja sebagaimana laku perempuan Jawa diharapkan dalam petuah moyang lisan dan tulis. Ia cerdas, menyala-nyala, bahkan mungkin galak, untuk ukuran masanya. Di usia duapuluh tahun dinyatakannya dengan tegas bahwa menikah adalah kesengsaraan, dan bahwa baginya, beristri empat adalah dosa (karena menyakiti hati manusia lain) (Kartini, 1963). Ia mempertanyakan hubungan persaudaraan yang nyaris tak terasa disebabkan begitu kakunya (Kartini, 2010). Namun digambarkannya pula kekaguman-kesenangan pada buku-buku, pakaian, dan perjalanan wisata dalam surat-suratnya kepada Stella Zeehandelaar dan Rosa Abendanon, tak ubahnya gadis yang sedang beranjak dewasa dan mulai mengenali baik-baik, siapa dan apa yang ia harapkan dari dirinya. Kartini, yang tentu tidak mengira bahwa tulisannya menjadi konsumsi publik suatu hari kelak, menuangkan segala pikiran dan perasaan pada sahabat-sahabat penanya, penuh sayang. 

Potret Kartini mewujud lebih jelas ketika saya berkunjung ke Museum Kamar Pengabdian RA Kartini, yang merupakan rumah dinas Bupati Rembang pada masa suami Kartini, Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, menjabat. Jika Museum RA Kartini di Jepara menyimpan kenangan kanak-kanak Kartini, museum di Rembang memberi kesan yang manis, sekaligus ironis. Seolah baru kemarin tangan-tangan Kartini menyusuri selasar samping rumahnya yang berjendela menghadap taman bunga; mengajar di bangunan sekolah di halaman depan; menulis pada meja kerjanya di bagian belakang rumah, mungkin seraya menyaksikan para pekerja; berpikir, dan menepuk nyamuk. Siapa yang tahu?

Kartini tinggal di sana tidak sampai setahun. Ia meninggal dunia pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan putera semata wayangnya Soesalit Djojoadhiningrat, di usia 25 tahun. Tetapi saya pikir waktu tersebut melahirkan pula buah-buah pikirannya yang paling mendalam, barangkali setelah terjadinya berbagai peristiwa yang menuntut perubahan dan pada akhirnya, penerimaan diri. Saya membaca satu demi satu sajaknya dan bergidik. Sesungguhnya ia berada dalam puncak kematangannya sebagai wanita muda, masih dengan semangat yang menyala-nyala terhadap kehidupan. Suatu malam lilin itu tertiup, makin lirih, asapnya menari pendek menuju hampa ...

Kartini mewariskan, tidak hanya patri atas cita-citanya yang belum sampai, namun juga kesadaran tentang lika-liku hidup manusia yang tidak akan usai: semakin kita mengerti, semakin kita resah. Pahit mengajar cara bercermin, mengandar cara bersyukur. Berharap sebab percaya.

Saya melihat Kartini di mana-mana. Lelaki dan perempuan. Nyala yang ternyata tak pernah padam.

Lekat dan manis, seperti belaian Mbahrayi.


Di sini juga ada seorang wanita tua, 
kepada siapa aku meminta-minta kembang yang mekar di dalam hati.
Banyak yang telah diberikan kepadaku, dan ia masih mempunyai banyak lagi, sangat banyak.
Aku pun ingin tambah, tambah lagi.
Ia mau juga memberi lagi kepadaku, tetapi aku harus membeli bunga itu, dengan apa...?
Dengan apa aku harus membayarnya..?
Dengan sungguh-sungguh keluarlah kata-kata:
'Berpuasalah satu hari satu malam. Selama itu jangan tidur dan tinggal lah seorang diri!'

Lewat malam sampailah siang,
lewat badai sampailah reda, 
lewat perang sampailah menang,
lewat duka sampailah suka.

Kartini



Comments

Popular Posts