Pritha

Tulisan ini saya persembahkan sebagai hadiah untuk diri sendiri, di usia ke-24. Belum juga seperempat abad. Hal klise yang biasa terucap orang adalah "Aduh, rasanya seperti baru kemarin." Yang benar saja! 24 tahun adalah waktu yang cukup untuk memenangi 5 putaran presiden. But the longest period we've seen is 32 years, so I think that's where people has their point. Anyway.

Saya pikir saya cukup beruntung. Selama hidup, saya berkesempatan merasakan perubahan-perubahan yang biasanya baru terpapar ketika kita saling bercerita. Saya lahir di Jakarta, dan berpindah tempat hidup beberapa kali mengikuti pekerjaan orangtua sampai akhirnya kembali lagi ke Jakarta. Mengapa Jakarta? Sebab begitulah nasib tertambat, dan memang tak dapat dipungkiri disinilah terdapat kesempatan (dan putaran uang) terbesar sejak yang-katanya-negara ini berdiri. Makanya, disuruh pindah ibukota propinsi tidak mau kan.. para pelayan rakyat kita sudah telanjur invest :3

Tetapi pengalaman tersebut memberikan kekayaan sudut pandang pada saya, dan yang terpenting: depth sense of reality. Untuk hal ini saya yakin, bahkan narsis, bahwa sense of reality adalah salah satu keunggulan saya. Saya mampu memandang dan menerima dunia dengan apa adanya tanpa dipengaruhi keinginan dan subjektifitas pribadi. Mengapa? Sebab pada diri saya terdapat dua kemungkinan. Satu, saya tidak punya kepentingan apa-apa dalam hidup. Dua, kepentingan yang saya miliki bukanlah sesuatu yang umum. Saya rasa keduanya bisa jadi betul.

Simak contoh berikut. Ketika akan menikah, saya bicara dengan kawan-kawan dekat. Saya minta maaf bahwa saya tidak akan menyebar undangan, sebab yang akan diadakan bukanlah resepsi melainkan akad nikah. Itu pun dilakukan di KUA. Kawan saya semua memberikan selamat juga komentar yang baik-baik. Setelah menikah pun saya memberikan notifikasi mengenai pernikahan ini. Begitu kabar mulai terdengar oleh khalayak umum, tentu dapat ditebak.

"Apa alasannya tidak sebar undangan?"
"Memangnya kamu ikhlas, sebagai anak perempuan pertama, dinikahkan tanpa pesta?"
"Kamu hamil?"

Jujur saja saya sebetulnya heran mengapa di Indonesia, hal yang begitu intim dan sakral dapat dijadikan ajang pamer oleh kita. Lihatlah betapa manis masyarakat mengatakan pernikahan bukanlah soal biaya dan mewahnya, tetapi soal kekeluargaannya. Soal syiar-nya. Soal bersatunya kedua keluarga dalam ikatan blablabla. Bisakah kita berhenti sejenak dari kegiatan bermuka dua? Tidak ada gunanya kita bermanis-manis jika pada akhirnya kita mengatakan, dibalik panggung,

"Pernikahan anak saya sederhana saja. Acara di rumah. Habis 300 JUTA SAJA."
"Ah, saya juga sederhana saja Bu. 1000 tamu, karena memang kalau ada yang tidak diundang bisa jadi bahan omongan."
"Paket termurah saat ini untuk 500 tamu sih 100 jutaan ya Bu. Tapi katering musti dilebihkan, seperti saya bengkak jadi 300 juta juga sih, soalnya malu kalau seperti si A yang makanannya habis duluan."

Okelah. Prinsip saya begini: jika memang kita mau dan mampu, tidak ada yang salah dengan hajatan sebesar, semahal, seramai apapun juga. Jika memang kita mengundang tentu bertanggungjawab atas kenyamanan para tamu, baik dari segi lokasi, hiburan, maupun hidangan yang disajikan. Satu hal yang harus diingat adalah...tidak semua yang kita percayai sebagai hal terbaik, juga harus dipercayai oleh orang lain.

Di sinilah masyarakat kita selalu bermasalah. Tidak mampu membedakan mana publik dan privat. Mana hak dan kewajiban. Mana konteks dan teks. Akibatnya kita selalu mempertengkarkan hal-hal sepele, ditontoni jutaan manusia lain yang akhirnya memutuskan menjadikan kita konsumen, sebab itulah satu-satunya pekerjaan yang dapat kita lakukan dengan baik: mengonsumsi.

Tetapi, orang tidak akan mengakui ini. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa 'berpikir positif' adalah mengambil yang baik-baik dan mengingkari kenyataan buruk, alih-alih menerima, mengakui, dan mencari cara mengubahnya menjadi hal yang baik. Sebab jika keburukan-keburukan ini diakui, maka khalayak akan tahu bagaimana rupa kita sebetulnya, sehingga kepentingan kita bisa terancam.

Kepentingan yang bagaimana?

Seorang teman wanita saya bercerita bagaimana ia bersahabat dekat dengan teman seperibadatannya. Ia memiliki anak perempuan, sahabatnya memiliki anak laki-laki. Suatu hari ia bercanda kepada sahabatnya apakah boleh anaknya saling dikenalkan, sebab kebetulan sudah usia menikah dan belum punya pacar. Sahabatnya menjawab,

"Eh Mbak, kalau di Jawa itu," tuturnya, "..yang wajib membiayai pesta pernikahan adalah pihak perempuan. Saya dan suami saya ini jabatannya sudah lumayan lho, kita punya standar untuk mengadakan pesta-pesta. Kalau Mbak mampu, bolehlah kita coba."

Persahabatan bertahun-tahun pun rusak dalam 15 detik.

Beberapa saat kemudian anak lelaki dari sahabatnya menikah, dan tanpa rasa segan, sahabatnya bercerita kembali, 

"Mbak, bener deh, nggak sia-sia saya kredit 300 juta untuk ngunduh mantu. Untung saya kerja di bank jadi mudah dapat pinjaman. Besan saya itu jabatannya lebih tinggi dari saya. Sekarang anak laki-laki saya mau dicarikan kerja, tetapi sebelumnya dikuliahkan S2 dulu, di Belanda."

Kepentingan semacam itulah yang saya maksud. 

Cerita seperti ini tidak saya dapatkan sepuluh tahun sekali. Ia sering saya dapatkan, setiap hari, diperbincangkan enak saja seperti makan kuaci. Dulu ketika kecil, orang-orang ini mungkin berpikir bahwa saya tak mungkin paham apa yang mereka perbincangkan sehingga mereka tak sungkan. Mereka tidak tahu bahwa saya diam untuk mendengar, berpikir, menimbang...

...dan pada suatu hari, bersikap.

Orang yang belum kenal dekat saya umumnya berpendapat bahwa saya sombong. Dingin. Keras. Mereka tidak tahu, bukan saya yang tidak mau berteman. Orang-oranglah yang enggan berteman dengan saya. Berteman dengan saya artinya mereka harus bercermin dengan kenyataan hidupnya sendiri...

..dan seringkali, mereka tidak siap.

Tetapi, saya adalah saya. Pritha. Yang tidak punya kepentingan apa-apa.



Comments

Popular Posts