Rindu

Akhir-akhir ini saya jatuh merindu.

Saya teringat pada larik paragraf Akar tentang perkataan Bodhi: 

Manusia yang selalu hidup di benang perbatasan antara waras dan gila, antara kata mutiara dan umpatan durjana, adalah manusia yang paling kesepian. Lautan manusia lain hidup nyaman di area 'wajar-wajar saja'. Bukan aku.

Saya ingat berbicara pada kekasih, hei, tahukah dirimu satu-satunya yang tidak kupunya adalah ambisi?

Saya juga sering mengeluh pada Ibu, Bu, mengapa aku tidak tahan melihat kejanggalan, sementara orang lain bahkan tidur nyenyak setelah mengamini kemunafikan?

Seorang kolega di China yang baru saya kunjungi melarang saya untuk menceritakan masa kecil dengan referensi "...in my younger self". Menurut dirinya kita harus selalu merasa muda agar betul-betul awet muda. Saran yang bagus, tetapi menurut saya tak ada yang salah dengan ketidakmudaan. 

Saya katakan padanya hal termudah yang bisa dilakukan agar awet muda adalah mempertahankan imajinasi dan keingintahuan, seperti anak-anak. Orangtua cenderung paranoid berusaha menyaring segala informasi agar tidak meracuni "kesucian pikiran anak-anak kami," tetapi percayalah: mereka jauh lebih bijaksana menyikapi tantangan zaman dibandingkan orang yang pikirannya hampir berkarat. Dan saya berkata begini bukan karena saya belum pernah menjadi orangtua, melainkan karena saya pernah menjadi anak-anak.

Itulah yang saya rindukan: kebijaksanaan kanak-kanak saya.

Hidup kala itu sangatlah sederhana dibandingkan dengan saat ini, cocok untuk masyarakat Indonesia yang logika dan karakternya pun sederhana. Mau kaya? Kerja, yang keras. Mau pintar? Belajar. Tidak mau susah? Ya tidak usah lakukan apapun, tapi jangan berharap. Sederhana.

Zaman memang maju tetapi kehidupan, saya pikir tidak lebih baik. Saya banyak membaca tulisan-tulisan. Kehidupan modern, perkembangan teknologi dan sosial media menyebabkan manusia berkeinginan mencapai apapun secara praktis hingga cenderung pemalas, arogan, dan narsis, tulis mereka. Saya pikir mereka salah. Manusia telah pemalas, arogan, dan narsis jauh sebelum ada perkembangan teknologi atau bahkan sosial media. Kemajuan zaman hanya melipatgandakan eksposur tersebut, sehingga kini kita dapat melihat hal-hal kecil bahkan sebelum mengenal seseorang.

Jika diberi kesempatan, saya tidak akan mengulang kembali apapun yang sudah lewat. Menjalani satu kali saja sudah melelahkan, lalu disuruh mengulang? Bah. Bahkan jika diizinkan untuk memajang nilai-nilai jelek pada ijazah, saya tidak akan melakukan remediasi. Biarkan saja itu terpajang abadi di sana agar saya ingat betul siapa diri saya. Agar jika ditanya, saya dapat katakan bahwa saya memang tidak bisa memahami subjek tersebut. Saya butuh hal-hal seperti ini untuk tetap waras.

Bicara soal ambisi, saya memang tidak punya. Ambisi terlalu sulit untuk dikontrol. Ia dapat mendorong saya pada mentalitas yang sakit; hal tersebut membuat ambisi tidak tampak menarik. Tetapi saya sangat suka berkhayal. Saya berkhayal di mana-mana. Di jalan, di kantor, di tempat tidur. Kadang saat lalu-lintas macet, seekor kupu-kupu hitam besar yang jarang saya lihat akan melintas sepanjang kaca dasbor. Begitu cantik, sampai saya tidak percaya ia masih hidup berkeliaran di antah-berantah Jakarta yang rusak dan kejam. Kira-kira apa yang ia rasakan? Apakah udara kota membuatnya perih, ataukah ia sudah memutuskan berdamai dalam hidupnya yang singkat?

Kerinduan saya menghimpit sebuah pertanyaan: akankah saya bertahan jika keinginan saya terlalu sederhana untuk zaman milenial?




Comments

Popular Posts