Cincin

Bagiku, manusia perlu memberanikan diri melampaui batas-batas resiko yang dia tetapkan, sebab itulah satu-satunya cara agar ia belajar. Ia perlu tahu kapan harus bicara, mendengar, dan masa bodoh. Ia perlu mencintai diri sendiri agar mengerti cara mencintai yang lain.

Begitulah aku merenung, membelai-belai rambut laki-lakiku. Ia terbaring dengan mata nyalang menantang matahari yang sayup menjelang senja. Rerumput rebah di bawah punggungnya. Kaleng soda berkelontangan ditiup angin. Hari-hari kami lebih banyak sunyi menuju penghujung tahun.

"Jadi," ia memulai, "...apakah kita akan pergi akhir minggu ini?"

Aku memijit kening dan menghitung-hitung di kepala. Cicilan. Biaya operasional. Kemungkinan pendapatan bulan depan. Deadline pembayaran...

"Entahlah, ya," kataku akhirnya, "..sebetulnya jika lebih cepat mungkin bisa dapat harga murah dibanding tahun depan. Tapi jumlahnya lumayan..."

"...ya, cukup besar."

 Kami berpandangan. Aku manyun.

"Sudahlah. Kamu mau pakai dulu? Kalau cuma untukmu, bisa dibelikan."

"Sebetulnya tidak begitu perlu. Bila bisa beli sekaligus lebih bagus."

"Nah, itulah."

Kadang aku berpikir, apakah yang sebetulnya dicari orang saat mengejar momen-momen penting dalam hidupnya? Apakah sebetulnya momen-momen penting itu? Selebrasi selalu jadi barang mewah sebab tenaga yang kami keluarkan untuk setiap detiknya terasa impas saja dengan kebahagiaan yang kata orang akan didapat. Bahagia? Apakah bahagia itu?

Jemariku bergerak sendiri, mengelus rambutnya yang keriting bergumpal-gumpal. Tak ada suatu pun yang indah di sini, dan kalaupun ada, takkan ada yang bisa menerima keindahannya. Siapa bisa memahami keindahan pada setiap niat, setiap kerja, dan setiap pikiran yang tak dirayakan?

Tak ada, kecuali kami. Kami, dan hanya kami. Dua titik debu, yang untuk beli cincin kawin polos saja perlu bermanuver, sebab itulah hidup. Apakah ada doa yang memberikan makan siang gratis tanpa usaha? Kami pun tidak akan mau memberikan makan siang gratis bagi orang-orang yang belum berusaha.

Kami tidak tahu bagaimana adat umumnya dua manusia menikah di sini: siapa yang perlu dilibatkan, siapa yang perlu mengeluarkan uang. Kami hanya tahu kami ingin menikah. Kami tahu berapa yang diperlukan dan bagaimana mengumpulkannya. Yang kami baru tahu: ternyata lebih banyak tukang atur dibandingkan supporter dalam pernikahan. Kesepakatan-kesepakatan yang sudah tidak relevan dengan jaman untuk uang tak seberapa. Kami tidak suka itu.

Setelah ratusan perdebatan yang sengit: sebagai konsekuensinya, kita harus berani hidup berdua saja, begitu putus laki-lakiku. Cukuplah itu bagiku sebagai lamaran. Lebih abadi dari mawar dan berlian.

"Coba kita lihat bulan depan, ya," ia memecah kesunyian. "Jika tidak ada halangan, maka kita bebas spend sejumlah itu."

Bagiku, ikatan kami akan selalu bertahan. Kami telah mendedikasikan keringat dan darah bahkan sebelum berjanji kepada siapa-siapa. Entah apa yang akan terjadi dalam puluhan tahun ke depan, tetapi aku tahu: kami tidak akan tergulung hidup.

Menghidupi satu sama lain dengan segala daya. Itulah ikatan yang sesungguhnya: sebab kita adalah segalanya. Sebab kita saling mencintai.

Bagiku, ini mengharukan lebih dari apapun, sebab aku tahu apa yang kami lalui untuk mendapatkannya.


Comments

Popular Posts