Realisasi Konsep Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu untuk Ciliwung--Mungkinkah?

Manusia, bahkan sejak zaman prasejarah, telah mempelajari bahwa ketersediaan air bersih adalah salah satu hal krusial untuk dipertimbangkan dalam perencanaan wilayah tempat tinggal. Oleh karena itu, pusat-pusat kebudayaan pada masa lampau umumnya dibangun dekat dengan mata air, seperti Kerajaan Kutai di tepi Sungai Mahakam, Kerajaan Tarumanegara di tepi Citarum, dan Kerajaan Kediri di tepi Brantas. Masyarakat pada zaman tersebut juga telah menyadari pentingnya merencanakan pengelolaan terhadap sumber air agar dapat dimanfaatkan secara terus-menerus tanpa mengalami penurunan kualitas. Oleh karena itu, pembangunan dam, waduk, dan saluran irigasi menjadi salah satu ciri umum yang dapat kita kenali sebagai pengelolaan air secara tradisional.

Mutu air sungai dipertahankan melalui hukum adat-istiadat setempat, seperti larangan penebangan pohon di daerah hulu dan larangan pembuangan limbah domestik ke aliran sungai. Pada beberapa tempat, hukum adat tersebut disinergikan dengan pengelolaan sumber daya alam pada ekosistem sungai, seperti larangan penangkapan biota akuatik selain pada kurun waktu yang ditetapkan atas kesepakatan bersama. Beberapa hukum adat pengelolaan sungai bertahan hingga saat ini pada suku-suku tradisional seperti Baduy dan Anak Dalam; salah satu contohnya adalah pelarangan menggunakan segala produk buatan  pabrik untuk beraktivitas di sungai setempat.

Ketika masyarakat mengalami kemajuan di bidang teknologi, terjadi pergeseran kebutuhan yang mengharuskan tersedianya sumber daya dan energi, seperti batu bara dan listrik, dalam jumlah besar dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sebagai negeri kepulauan beriklim tropis yang dialiri sungai-sungai besar, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) menjadi alternatif penyedia listrik yang lebih ekonomis dan mudah dikelola ketimbang pembangkit berbahanbakar batu bara. Maka sungai memiliki satu lagi fungsi tambahan selain sebagai penyangga kehidupan akuatik dan mata air: yaitu penyedia energi.

Akan tetapi, kemajuan teknologi tampaknya berbanding terbalik dengan kualitas pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), terutama di kota-kota besar dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Ibukota DKI Jakarta, misalnya, seperti diungkapkan oleh Gunawan (2010), telah mengalami kegagalan pengelolaan sungai bahkan sejak masa kolonial. Gunawan (2010) mengungkapkan, Kanal Banjir Barat dan Timur pada awalnya digunakan untuk mengalirkan Sungai Ciliwung ke pinggiran kota alih-alih melintasi Batavia. Pemerintah kolonial telah mencanangkan sejumlah peraturan untuk mencegah kerusakan lingkungan di bagian hulu dari sungai-sungai besar di sekeliling Batavia, yaitu Citarum, Bekasi, Cisadane, dan Ciliwung, melarang aktivitas pembuangan limbah ke sungai, membangun waduk dan pintu-pintu air, serta melakukan pembersihan secara berkala di bagian hilir. Selain untuk menjaga kualitas air, hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya banjir, sebab secara alami sungai-sungai tersebut mengendapkan lumpur aluvial di bagian hilir sebagai ciri dari perairan gunung api muda (Gunawan 2010: 8).

Upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Wilayah hulu sungai yang asri dibangun sebagai tempat pemukiman dan tetirah (Puncak—Bogor, Bekasi, Bandung, Lembang), pasar-pasar, rumah sakit, dan industri membuang limbah ke sungai dengan pertimbangan ekonomis, sehingga kelebihan air mengalir ke Batavia jauh lebih cepat dibandingkan pembangunan sistem kanal (Gunawan 2010: 10). Sungai Ciliwung, yang pada abad ke-16 dideskripsikan sebagai “sungai indah, bersih, dan jernih yang mengalir di tengah kota, berhiaskan sampan dan kapal”, mulai berubah kotor sejak Gunung Salak meletus pada 1699, dan terus-menerus mengalami pencemaran hingga dinyatakan tidak lagi layak diminum pada akhir abad ke-19 akibat sedimentasi dan penumpukan sampah (Hanna & Lubis 1988: 24)

Pencemaran sungai Ciliwung merupakan fakta sejarah yang dapat ditelusuri untuk mempelajari dampak yang ditimbulkan perkembangan suatu masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya. Berhulu di Gunung Gede-Pangrango, sungai tersebut merupakan penyangga kehidupan masyarakat Sunda Pajajaran dan alasan diletakkannya pusat pemerintahan kolonial di Batavia di awal abad ke-16. Sungai tersebut pada awalnya digunakan sebagai sumber air minum dan media transportasi, namun setelah tercemar, satu-satunya aktivitas yang rutin dilakukan di sungai tersebut adalah pembuangan sampah dan limbah (Hanna & Lubis 1988: 28).

Berbagai upaya terus dilakukan untuk mengelola DAS Ciliwung secara lebih baik. Pasca kemerdekaan, karena tidak dapat lagi dimanfaatkan, pengelolaan DAS Ciliwung lebih ditekankan kepada pencegahan banjir. Waduk-waduk dan pintu air dibangun, bantaran kali dibenahi, pengerukan sedimen sungai dilakukan secara berkala, namun banjir tetap tidak dapat dihindari. Ketika DKI Jakarta menjadi pusat pemerintahan, perekonomian, perindustrian, dan mengalami ledakan penduduk, tekanan terhadap pemerintah untuk mengatasi banjir semakin meningkat. Berberapa program yang telah dilakukan diantaranya Program Kali Bersih (PROKASIH); Program Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) serta program Iainnya seperti Jabotabek Water Resources Management Project (JWRM) dan Tim Koordinasi Pengendali Pencemaran (TKP2). Ketiga program tersebut dinilai kurang tepat-hasil maupun tepat-sasaran karena hanya dilakukan oleh satu badan penyelenggara tertentu dengan fokus pengendalian hanya pada satu masalah tertentu, tidak terpadu dan menyeluruh (Wiandjono 1995: 2).

Persoalan klasik yang dihadapi adalah, bagaimana cara mengelola suatu sungai yang mengaliri beberapa wilayah administratif berbeda seperti Ciliwung? Bagaimana membagi hak dan kewajiban antara wilayah-wilayah tersebut agar masyarakat di wilayah hulu maupun hilir dapat memanfaatkan—atau sekurang-kurangnya, hidup berdampingan dengan sungai sekaligus menjaga kondisi alamiahnya tetap lestari? Pengelolaan DAS Ciliwung harus memperhatikan segala aspek—pemulihan wilayah hulu dan hilir yang terdegradasi, pemeliharaan wilayah DAS dari erosi, run-off, dan sedimentasi, penghentian aktivitas pembuangan limbah, penyuluhan terhadap masyarakat, dan peraturan dengan sanksi tegas terhadap pelanggaran.

Pada tahun 2001, diterbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 52//Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Dijelaskan di dalam Kepmen tersebut bahwa pengelolaan DAS idealnya dilakukan berdasarkan Satu Rencana Kerja dan Satu Sistem Pengelolaan yang terpadu (multi-disiplin dan multi-sektoral), menyeluruh, dan berkelanjutan dari wilayah hulu hingga hilir. Pengelolaan DAS dilakukan secara desentralisasi, dengan kebijakan penatagunaan tanah di wilayah pusat, propinsi, dan kabupaten/kota tergantung kepada kategori DAS dan cakupan permasalahan yang ada dalam pengelolaan tersebut. DAS Ciliwung dapat dikategorikan sebagai DAS Nasional, yaitu DAS yang secara geografis terletak melewati lebih dari satu Daerah propinsi, dan/atau DAS yang secara potensial dimanfaatkan oleh lebih dari satu Daerah Propinsi, dan/atau DAS yang secara potensial bersifat strategis bagi pembangunan nasional.

Pada tahun 2007, diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.15/Menhut-II/2007 tentang pendirian Balai Pengelola DAS (BPDAS) Citarum-Ciliwung sebagai Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan. Beberapa program yang telah dilakukan oleh unit tersebut (2008--2012) adalah pengelolaan DAS, Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), pengembangan RHL swadaya, pengembangan hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat, pengembangan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), dan pengembangan hutan kemasyarakatan. Pengelolaan DAS yang dilakukan meliputi perencanaan tata air, penanggulangan banjir dan tanah longsor, perencanaan tata lahan hulu DAS Ciujung Hulu, perencanaan pengelolaan DAS terpadu Citarum, dan monitoring model rehabilitasi sumber mata air, daerah tangkapan air, dan areal bekas tambang (BPDAS Citarum-Ciliwung 2008).

Program-program tersebut, seperti diuraikan dalam Kajian Model Pengelolaan DAS Terpadu oleh Effendi (2005: 16), merupakan program yang masih terbatas pada upaya rehabilitasi dan konservasi tanah dan air, belum menyentuh kesadaran masyarakat yang sebenarnya merupakan ujung tombak dari upaya pengelolaan DAS terpadu tersebut. Akan tetapi, pendirian BPDAS Citarum-Ciliwung merupakan langkah tepat sesuai dengan rekomendasi kajian tersebut.

Pengelolaan DAS memerlukan keterkaitan antar sektor yang mewakili masing-masing sub DAS dari hulu hingga ke hilir dengan prinsip ‘one river one management’, yang meliputi perencanaan APBN, perencanaan sektor/program/proyek hingga pada tingkat koordinasi semua instansi atau lembaga terkait dalam pengelolaan DAS. Sungai merupakan sumberdaya yang mengalir (flowing resources), dimana pemanfaatan di daerah hulu akan mengurangi manfaat di hilirnya, dan sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan diterima di hilirnya. Pada masa ke depan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output dari sub-DAS hilir menjadi input bagi sub-DAS di hulunya melalui mekanisme subsidi hilir-hulu dengan penerapan ‘user pays principle’ maupun ‘polluter pays principle’ (Effendi 2005: 16).

Berdasarkan kajian-kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan DAS terpadu merupakan solusi terbaik yang dapat dilakukan pada sungai Ciliwung. Akan tetapi, realisasi pengelolaan merupakan fokus utama yang memerlukan perhatian lebih dibandingkan perencanaan pengelolaan serta upaya rehabilitasi dan konservasi lahan. Mendidik dan menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat merupakan hal paling penting, yang lebih rumit, namun dapat memberikan hasil yang lebih optimal dalam pengelolaan DAS Ciliwung. Hal ini disebabkan, berbagai permasalahan pencemaran dan degradasi wilayah pada DAS Ciliwung disebabkan pula oleh masyarakat, dan akan terus-menerus berlangsung apabila pendidikan dan penyuluhan tidak segera diberikan, terutama kepada generasi mendatang. Kesadaran akan pentingnya memelihara sumber air dan bahwa sumber air tersebut adalah milik bersama, dapat memulai terbentuknya kebiasaan dan perilaku ramah lingkungan yang manfaatnya dirasakan dalam jangka panjang.



Daftar Acuan

Renstra BPDAS Citarum-Ciliwung 2008-2012.
 http://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan-pengelolaan-das/bp-das-citarum-ciliwung diakses pada 27 Mei 2014 pk. 17.00

Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
 http://hukum.unsrat.ac.id/men/menhut_52_2001.htm#52_14 diakses pada 27 Mei 2014 pk. 17.15

Effendi, E. 2005. Kajian Model Pengelolaan DAS Terpadu. Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, Jakarta: 19 hlm.

Gunawan, R. 2010. Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir dari Masa ke Masa. Kompas Media Nusantara, Jakarta: x + 398 hlm.

Hanna, W. A., Mochtar L. 1988. Hikayat Jakarta. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 267 hlm.


Comments

Post a Comment

Popular Posts