Konsekuensi

"Mah, hari ini aku titip Tita di rumah, ya? Kira-kira sampai seminggu."
"Sita, Ibu kan masih harus mengajar. Siapa nanti yang menjaga Tita di rumah? Memangnya kamu mau ke mana, kenapa tidak diajak saja?"
"Ah repot, Mah, dia rewel sekali! Aku harus mengurusi klien ke Singapura, ini bisnis penting, ratusan juta rupiah omzetnya. Kalau ada Tita nanti aku nggak fokus."
"Tapi jujur saja seminggu ini Ibu akan repot sekali, lho...apalagi Bapak masih harus kontrol ke dokter, bolak-balik."
"Yaudah pakai babysitter sajalah...nanti aku bayar biayanya."
"Eh, Sita, cari babysitter itu tidak mudah lho...Ibu saja sulit percaya, masa kamu yang ibunya Tita semudah itu untuk percaya?"
"Ih Mamah ribet ah! Terus aku harus bagaimana?"
"Nak...kalau kamu memang berat sekali sama pekerjaan kamu, kenapa memutuskan punya anak? Kamu pikir anak itu sama dengan produk dagangan kamu itu?"
Percakapan di suatu tempat yang saya kunjungi, yang telah setengah mati tidak mau saya dengar, tapi terdengar juga. Uh.

Semua orang agaknya setuju, bahwa bertanggungjawab atas suatu konsekuensi bukan hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Jika mengacu pada petuah orang tua, kalau tidak mau terbakar, ya, jangan main api. Kalau tidak mau repot-repot mempertanggungjawabkan konsekuensi, ya, jangan berulah.

Saya pun termasuk orang yang tidak suka konsekuensi. Menyusahkan, repot, dan seringkali memerlukan tenaga ekstra. Mahasiswa baru yang masih diospek pasti tahu hal ini :p. Tapi hidup adalah ketidakpastian, dan manusia adalah yang paling tidak stabil diantara jajaran semua makhluk, maka sehati-hati apapun melangkah, kesalahan akan selalu terjadi. Kadang juga sengaja dibuat, sebab kita tidak akan belajar dari sesuatu yang "baik-baik saja", toh? Maka konsekuensi kemudian hadir di mana-mana. Sadar ataupun tidak, benar ataupun salah. Semua bercampur dalam relativitas, menghasilkan hal baik maupun buruk, yang harus kita pertanggungjawabkan meski kita benci itu setengah mati.

Akan tetapi seiring perkembangan zaman dan makin pintarnya manusia, kita mulai menemukan cara untuk hidup aman dengan kebebasan bertindak tak terbatas: lempar saja konsekuensinya ke orang lain! Agar semua orang merasa diuntungkan, kita buat uang bicara. Atau jabatan. Atau perempuan. Atau apa saja yang diinginkan orang dengan berbagai alasan. Sementara kita bebas saja berbuat, seenak jidat. Senang sekali bukan?

Saya teringat kisah Tsabit bin Ibrahim, yang harus menikahi seorang putri yang buta, tuli, dan bisu akibat memakan delima (atau apel? Ya gitulah pokoknya) milik ayah putri tersebut. Singkat cerita putri itu ternyata sehat saja dan cantik jelita; ia buta, tuli, dan bisu karena tidak akan pernah melihat, mendengar, atau mengucapkan hal yang tidak seharusnya dilihat, didengar, dan diucapkan. Sungguh menyenangkan barangkali, jika hidup dalam keadaan seperti itu! Tidak pernah risau, tidak pernah pusing berpikir, tidak pernah pergi tidur dalam keadaan terlalu lelah. Sungguh suatu kemewahan!

Saya selalu berusaha untuk hidup dalam koridor saya sendiri. Sedapat mungkin menghindari kontak dengan "cara-cara" yang ditempuh orang lain, sedemikian rupa, untuk bertahan hidup. Bukan apa-apa. Saya tidak pernah mampu bersikap masa bodoh terhadap apapun yang tertangkap panca indera, terutama bila hal tersebut memprihatinkan. Pertama kali saya akan takjub, untuk selanjutnya mengumpulkan data, menganalisis, muncul penilaian, dan terakhir, merasa skeptis terhadap subjek tersebut. Itu adalah hal yang tidak baik, bukan? Di luar barangkali saya tersenyum, tertawa, berbasa-basi, namun di dalam hati saya coret nama tersebut dari daftar manusia yang saya beri respek dan kepercayaan. Selamanya. Aduh, aduh.

Tapi, dasar hidup...seringkali ditempatkannya saya pada posisi yang pilihannya sama-sama tak enak. Koridor hidup itu semakin lama semakin sulit untuk saya batasi. Manusia bertambah banyak, cara hidupnya semakin mencolok dan ajaib, dan makin gemar melempar konsekuensi ke jidat orang lain! Mau rasanya saya tak usah pergi keluar saja, seharian di rumah, cuci baju, sambil melantunkan ayat dan puisi-puisi cinta. Kata sebagian orang, seharusnya perempuan ideal kan seperti itu...hahaha, ini bercanda. Cuma sarkasme.

Namun, saya memilih untuk berdamai dengan hidup.

Biarkanlah ia menempatkan saya di posisi mana saja yang ia suka. 

Akan saya biarkan ia menempa saya, tanpa kehilangan tujuan.

Seorang perempuan keras kepala seperti saya? Ya, barangkali itulah konsekuensinya: berdansa seorang diri di atas onak duri. Sambil tersenyum. Menerima konsekuensi atas kehidupan yang dianugerahkan kepada saya.

Sampai masa ketika onak duri telah hijau oleh hamparan rumput...dan saya tidak harus lagi berdansa seorang diri, tanpa perlu melemparkan kekesalan saya ke wajah orang lain.

Sebab itulah yang membuat saya, menjadi saya.




Comments

Popular Posts