Semangkuk Sayur Lodeh

Hari ini, mendekati jam makan siang di kantor, saya mendapatkan cerita dari seseorang bahwa ia baru saja menyantap suguhan makan siang di rumah saudara yang terdiri atas sayur lodeh, ayam goreng, dan tumis tempe kemangi. Saya bertanya, wah, hasil masakan sendiri?

"Sayur lodehnya hasil masak sendiri. Lauknya semua beli."

"Enak dong makan siangnya!"

"Sayur lodehnya tawar, isinya sosis, udang, wortel, melinjo, plus terong. Lauknya sih enak."


Saya terbelalak dan berusaha menahan suara tawa sebab saat membaca pesan itu, ada teman kantor yang sedang menelepon klien. Sayur lodeh tawar dengan sosis, udang, wortel, melinjo, dan terong...? Itu mah sayur (suka-suka) lo-deh!


Saya termasuk perempuan yang bisa memasak. Bukan apa-apa, seorang anak dari Ibu rumah tangga yang gemar masak (dan gemar menyuruh anaknya masak) umumnya pasti bisa memasak, minimal mewarisi resep-resep keluarga. Saya juga sedikit banyak mengetahui pakem-pakem tertentu dari masakan Indonesia, khususnya Jawa, yang sarat bumbu dan tinggi variasi isi, misalnya seperti sayur lodeh. Tentu saja saya juga mengetahui sayur lodeh dapat diisi beberapa varian bahan seperti tempe, kacang panjang, rebon, labu siam, terong, irisan cabai, atau apa saja yang cocok dinikmati dengan kuah santan dan bumbu lodeh. Wortel, tidak termasuk. Irisan sosis, apalagi.


Sampai saya menginjak bangku kuliah sekarang, saya masih jarang sekali menemukan teman sepantaran yang biasa memasak di rumah. Ini bukan perkara keahlian membuat brownies kukus, puding cappucino, macaroni schotel, atau sejenisnya; saya bicara tentang kebiasaan menghidangkan makanan rumah yang dinikmati sebagian besar orang Indonesia di rumah setiap hari, seperti sayur asam, ayam goreng, ikan bumbu kuning, tumisan sayur, oseng-oseng, telur balado, soto, dan masih banyak lagi. 


Saat ini, ketika para orangtua yang anaknya masih bersekolah merupakan perempuan generasi kelahiran 60, 70, atau lebih tua, kita masih sering menjumpai masakan rumah di meja makan masing-masing; masakan Ibu yang bikin kangen untuk makan di rumah. Perempuan pada generasi-generasi tersebut umumnya mendapatkan pendidikan kerumahtanggaan yang ketat dari orangtuanya, bahwa seorang perempuan harus dapat mengurus rumah tangga dengan baik, termasuk bisa masak, membersihkan dan menata rumah, merawat pakaian dan barang-barang rumah tangga, sampai bersikap sebagai seorang istri yang pantas bagi suaminya kelak. Meskipun perempuan pada zaman itu telah mulai bekerja di luar rumah karena berbagai alasan, pekerjaan dan urusan rumah tangga umumnya tetap dikerjakan sendiri, dengan atau tanpa pembantu rumah tangga.

Oleh karena itu, saya agak terkejut ketika menyadari, betapa sebagian besar perempuan muda masa kini, terutama yang sepantaran saya, ternyata tidak memiliki orientasi kerumahtanggaan sama sekali, bahkan yang telah menikah dan berkeluarga. Mari kita lihat kebiasaan yang ada saat ini: perempuan bekerja di kantor sejak pagi hingga malam di samping mengurus bisnis sampingan, anak diurus oleh babysitter dan "dititipkan" ke sekolah swasta mahal dengan kurikulum canggih, urusan rumah dirapikan pembantu rumah tangga, makanan anak sehari-hari pakai katering atau beli di luar, kemudian weekend jalan-jalan ke pusat perbelanjaan untuk makan enak dan belanja. Tidak ada yang salah sih dengan pilihan gaya hidup tersebut, namun tetap saja, itu membuat saya terkejut. Telah sebegitu bergeserkah kebiasaan masyarakat kita hingga perempuan yang memasak dan mendidik sendiri anak di rumah jadi sulit dijumpai?

Tak sedikit orang menganggap saya begitu kuno dan tidak menghargai kapabilitas perempuan, padahal saya sendiri seorang perempuan. Harus diakui, perempuan masa kini memiliki prestasi-prestasi yang luar biasa, bukan? Cantik, pintar merawat diri, selalu tampil menarik, punya kemampuan komunikasi dan negosiasi yang baik, mampu berinovasi di segala bidang, berwawasan luas, memiliki gelar hingga tingkat doktoral, menguasai beberapa bahasa, dan berpengalaman baik di luar maupun dalam negeri. Kira-kira seperti itulah. Tapi tidakkah prestasi itu akan jadi lebih menyenangkan bila dilengkapi dengan kebiasaan memasak untuk keluarga, kemampuan merawat rumah, dan kehangatan untuk anak-anaknya di rumah?

Memang, 24 jam dalam sehari terasa sedikit untuk aktivitas yang begitu banyak. Jakarta adalah gudangnya masalah. Efisiensi transportasi buruk, tata kota tambal-sulam, kepadatan manusia makin tidak manusiawi, dan sederet panjang lainnya. Tapi saya mengenal perempuan-perempuan yang berkiprah di luar rumah, kemudian tetap mengurus rumah tangganya dengan begitu apik. Perempuan yang tidak pusing bila ditinggal pembantu mudik, sebab urusan beres-beres rumah biasa ditangani sendiri. Perempuan yang ditunggu-tunggu di meja makan sebab masakannya membuat semua orang rindu. Perempuan yang siap meletakkan apapun yang dikerjakannya di luar rumah bila anak-anaknya membutuhkan ia untuk tinggal. Seperti apapun konsekuensinya, perempuan-perempuan itu tetap menjadi ibu rumah tangga penuh-waktu. Sebab mereka menyadari itulah peran terbesar mereka dalam hidup: menjadi seorang istri, seorang ibu, bukan lagi GM atau CEO dari sesuatu. 

Sebab mereka merasa prestasi terbesar mereka adalah bila rumah tangganya selalu hangat, anak-anaknya tumbuh dengan optimal, mandiri, dan dapat meneruskan langkahnya dengan kemantapan diri, bukan lagi menaikkan omzet sekian persen atau meraih jabatan anu dan itu. Mereka tidak sekedar mencari uang, namun juga mengelola uang, sehingga seberapapun yang didapatkan bisa dicukupkan untuk semuanya. Suami pasti menjadi tombak keluarga, namun merekalah, perempuan-perempuan itulah, yang menjadi sandaran terakhirnya.

Dan, saya ingin menjadi seperti mereka, perempuan-perempuan itu.

Ini adalah masa di mana uang begitu penting. Uang, uang, uang. Bahkan perempuan lajang di kereta sibuk membicarakan para laki-laki dengan gaji diatas $ 3000 dolar di kantor mereka untuk diincar; kemapanan adalah pencapaian tertinggi yang didambakan oleh mereka. Tapi sungguh, saya tak ingin berpikir seperti itu. Saya pun tak ingin anak-anak perempuan saya berpikir seperti itu.

Perempuan memiliki hak mereka untuk melakukan apapun yang diinginkan, hak untuk didengar dan diberi kepercayaan, hak untuk meraih prestasi yang dicita-citakan. Tapi, perempuan tetaplah perempuan; letaknya adalah di sisi (bukan di bawah) laki-laki, untuk mendampingi dan melakukan perannya sebagai perempuan. Sebagai istri. Sebagai Ibu. Saya akan tekankan itu pada anak-anak perempuan saya.

Agar kelak, mereka akan memiliki keluarga yang hangat dan anak-anak yang merasa cukup atas kasih sayang ibunya, anak-anak yang ingat akan masakan ibunya, walaupun hanya semangkuk sayur lodeh dan tempe goreng...sayur lodeh, yang bebas wortel dan irisan sosis. 

Comments

  1. Ga berniat bikin buku Prith? bagus-bagus tulisannya :3

    ReplyDelete
  2. Pengin sih Biil hehe tapi belum rapi konsepnya. Semoga suatu saat terkabul yaah :3

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts