Menanti Hujan

Siang ini, aku sedang berbaring memandangi langit yang tidak biru, menghitung berapa banyak awan gajah dan bagaimana awan kura-kura berbeda ukuran satu sama lain. Di kejauhan terlihat awan kelabu bergerak malas, tapi hampir pasti nanti dia akan berhenti di sini. Jadi, kurasa aku sedang menanti hujan.
Kurang kerjaan? Sudah pasti. Aku hanya ingin menikmati bagaimana rasanya jadi orang kurang kerjaan sekali-sekali. Melihat dunia berputar dengan sibuk dan cukup diam saja di kursi penonton. Senang sih...tapi entah kenapa, aku merasa bersalah. Sebagai warga dunia seharusnya aku ikut melakukan sesuatu yang berguna disamping mendapatkan hal-hal indah dari dalamnya, sehingga rasa puas itu akan mengganda dengan sendirinya. Tapi, orang malah bilang kalau itu adalah sikap sok idealis. Hari gini sih, yang penting pikirkan dulu diri sendiri, baru orang lain.
Sepanjang tujuh belas tahun aku hidup, daftar hal-hal yang kubenci mungkin sudah cukup panjang, tapi tidak ada yang lebih kubenci daripada dibilang idealis. Apalagi sok idealis.
Sebab, adakah seseorang yang benar-benar ideal di masa sekarang? Bahkan dahulu kala saat kejujuran masih dijunjung tinggi pun, orang-orang idealis sudah mulai dimasukkan kardus. Akibatnya, orang jadi takut untuk bersikap keluar mainstream, menyelubungi diri dengan kebohongan hati yang besar demi keselamatan leher. Diwariskanlah adaptasi bertahan hidup itu ke anak-cucu seperti generasiku sekarang. Menyebutku idealis, sama saja dengan menambah panjang kebohongan zaman. Aku ini hanya praktis. Menolong sesama, dan berkerja jujur, semata hanya hobi. Salahkah aku memelihara hobi? Sama seperti Bapak hobi memelihara ayam dan adikku hobi main sepeda. Idealis? Apa itu?
Beberapa waktu lalu, sekolah mengadakan acara pelepasan. Aku bilang pada Pak Guru, aku tidak ingin ikut, karena aku merasa biayanya terlalu mahal.
Alasan lain?
Sejujurnya, kataku, saya juga tidak ingin merepotkan Ibu berdandan ke salon pagi-pagi untuk kemudian duduk berjam-jam dan melihat saya dikalungi medali.
Bukankah itu suatu kebanggaan?
Bukan, Pak.
Kan bisa minta keringanan biaya?
Iya Pak, tapi orang lain mungkin tidak harus dandan ke salon. Saya tidak punya make-up di rumah. Tambah biaya lagi, deh. Mahal, Pak.
Ketika sebulan kemudian aku tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri tanpa tes, ada yang menyalahkanku yang bersikap idealis karena tidak ikut pelepasan. Loh, apa hubungannya? Sama saja dengan menyalahkan Ibu yang tidak beli tepung di supermarket lalu kue bolunya bantat. Apakah itu bisa dibilang idealis? Ibu hanya bersikap praktis, beli tepung di warung yang dekat dengan rumah. Juga ekonomis, karena perginya jalan kaki. Kalau supermarketnya di sebelah rumah, itu lain cerita.
**
Sejak kecil, aku ingin sekali jadi dokter.
Setelah tidak diterima di jurusan kedokteran lewat PMDK, aku memilih jurusan farmasi saat mendaftar ujian masuk perguruan tinggi negeri dan tentu saja orang bertanya-tanya, nggak kedokteran aja?
Enggak.
Elo kan pinter banget! Sebenarnya kemarin juga bisa loh dapat FK, tapi kuota buat FK mendadak berkurang...
Wallahualam deh, mau kuota berkurang atau apa. Gue memilih farmasi karena gue sudah berpikir lebih dalam dan berdoa lebih banyak.
Udah kehilangan idealisme nih ceritanya?
Sampai situ, aku menarik nafas panjang, mencoba bersabar. Kenapa harus kubeberkan panjang lebar alasanku untuk mereka yang tidak pernah tahu? Betapa keras aku melatih diri sendiri untuk senang belajar, betapa keras aku melatih diri sendiri untuk senang menolong dan memberi, betapa aku berdoa pada Tuhan agar aku menjadi orang yang tangguh dan tegar, sebab aku ingin, aku ingin sekali, menjadi seorang dokter yang baik. Yang bekerja keras dengan tersenyum, yang selalu hati-hati untuk tidak menambah celaka orang lain, yang menolong karena sayang, bukan karena lapar. Aku selalu membayangkan betapa bahagianya jika aku bisa melakukan itu.
Tapi, sekarang keadaannya sudah berubah.
Aku bisa saja mendaftarkan diri masuk kedokteran, belajar sampai otakku terpuntir-puntir, lalu bersaing mengalahkan ego entah berapa ribu orang yang juga ingin menjadi dokter. Lama aku memikirkannya, sebelum menghela nafas dengan berat. Ibu seorang teman pernah menghiburku setelah aku tidak diterima. Sudahlah, ucapnya, tidak perlu jadi dokter untuk jadi sukses. Memang sih, terhormat untuk jadi dokter, tapi ada juga yang duitnya nggak banyak...
Aku tercenung. Agak kecewa sebenarnya. Itukah alasan orang-orang ingin menjadi dokter? Kuharap tidak. Kedudukan sosial yang terhormat, uang yang banyak? Bagus memang, tapi bukan itu yang aku mau. Kalau memang dokter itu kaya uang, dan dapat tempat terhormat, itu namanya bonus. Semua orang juga bisa dapat bonus.
Tapi aku berpikir lama sekali: soal-soal ujian masuknya kan tidak semudah ujian nasional. Bisa saja aku mengerjakan 65% dari keseluruhan total, tapi itu berarti menyiksa diri sendiri. Bisa saja aku masuk PTN di luar Jakarta, bahkan di luar negeri, tapi ayolah, apakah menjadi dokter adalah satu-satunya pilihan hidup untukku? Siapa tahu, Tuhan memang berkehendak aku tidak menjadi dokter untuk kehidupan yang lebih baik. Ini bukan soal melepaskan cita-cita. Ini soal menemukan diri sendiri. Idealisme? Bah, persetan dengannya.
Meski jujur saja, aku takut. Takut sekali. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa sedang diperintahkan untuk tidak membuat rencana yang sistematis. Tuhan seperti berkata padaku, hei kamu, cobalah sekali-kali masuk sungai tapi tak usah berenang. Mengambang saja ikut arus. Percayalah pada-Ku, Aku tidak akan menelantarkanmu. Tapi kamu harus berusaha bertahan hidup! Kalau kamu sampai tenggelam, itu pilihanmu sendiri, bukan karena Aku membiarkanmu mati.
Tentu saja aku tidak ingin mengeluh, tapi kadang, dingin dan sakit benar rasanya. Sampai pada titik yang tidak tertahankan dan aku hanya bisa menangis. Untuk apa sih, keluhku pada diri sendiri, toh tidak ada yang bisa berubah setelah tangis ini usai! Tapi sakit sekali rasanya.
**
Inilah aku, berbaring, masih menanti hujan.
Aku sudah lupa kapan aku tersadar betapa aku menyukai hujan. Yang jelas, aku tidak akan pernah lupa segarnya main hujan-hujanan dan aroma tanah basah seusai hujan. Tidakkah menurut kalian Tuhan menunjukkan bagaimana seharusnya kita menghargai kehidupan lewat hujan? Menguap, mengembun, lalu turun ketika saatnya tiba, menumbuhkan tunas, menghijaukan daun, mengisi kolam dan tenggorokan. Tanpa bosan, tanpa pamrih.
Dulu, aku ingin sekali jadi begitu.
Mungkin, ‘menjadi dokter’ adalah interpretasi sederhana masa kanak-kanakku untuk mewujudkannya.
Satu tetes air menitik di keningku.
Aku memang ingin jadi dokter. Tapi baru-baru ini kutemukan bentuk murni sederhana dari keinginan itu: aku, ingin jadi seseorang, yang bermanfaat untuk kehidupan.
Aku bisa menemukan jalan lain untuk itu, iya, kan?
**
Tetes kesepuluh menitik di hidungku sebelum gerimis turun sepuluh detik kemudian. Hmm.
Dulu, aku suka bicara pada Tuhan. Entah bagaimana aku bisa mendengar balasan Tuhan. Aku bukan lagi bocah yang suka naik pohon dan mengejar anak bebek. Tapi Dia tunjukkan cinta-Nya padaku dalam sosok Ibu, Bapak, juga sejuta orang lainnya yang mencintaiku dan aku tahu, dulu, sekarang, hingga esok, Tuhan akan selalu mencintaiku.
I really believe He will.
.
.
.
Yeaaay its raining!

Comments

Popular Posts