Tukang-tukang Dagang Masa Kini

Kemarin, teman sebangku saya bercerita, bahwa ketika try out UN fisika, dia yang sudah setengah mati dibikin pusing soal jadi makin sulit konsen akibat percakapan dua guru yang duduk persis di depan mejanya.

Guru1: Bapak sebagai wali kelas bagaimana, 12 alam sekian sudah menyelesaikan uang
sekolah dan pelepasan apa belum?
Guru2: Kelihatannya ini banyak yang belum Bu...
Guru1: Wah tidak bisa begitu, mereka harus menyelesaikan kewajiban! Lagipula anak 70
kan tajir-tajir, kalau ada yang belum bayar ya dipaksa saja Pak! (dengan berapi-api)

Sumpah, saya yang tidak mendengar langsung saja jadi gatal dengarnya. Kalau guru-guru itu ngobrol di depan saya, entah apa yang bakal terpancing dari keisengan saya. Mengasumsikan bahwa semua anak 70 tajir adalah sangat tidak manusiawi dan berbahaya. Apalagi jika asumsi itu muncul dari seorang guru bimbingan konseling yang seharusnya membimbing setiap muridnya secara psikologis bukan atas pertimbangan materi.
Anak A, pintar, kaya raya, wajib dibantu untuk lulus dan dan dapat PTN bagus. Anak B, sebetulnya lebih pintar, tapi sayangnya ekonomi menengah, ya setengah hati saja bantuinnya, plus dikibulin sedikit. Ini bisa memicu tawuran yang lebih dahsyat dari tawuran antar SMA dan STM!
Sebelum ujian, guru1 sudah berkoar-koar soal SPP yang harus dibayar sampai bulan Juni. Padahal sih kalau dipikir-pikir, setelah ujian nasional minggu depan, apakah kami masih bakal belajar efektif? Bulan Mei SNMPTN, bulan Juni nggak ada apa-apa lagi. Wong dari bulan April sebenarnya sudah tidak belajar efektif. Tapi ya sudahlah, kalau uang SPP saya masih maklum. Yang membuat saya takjub adalah besarnya uang pelepasan siswa kelas tiga: satu anak, satu orang tua, empat ratus lima puluh ribu rupiah. Kalau tambah satu orang tua lagi, jadi enam ratus lima puluh ribu rupiah. Wooohoooo.

Sebut saya lebay. Sebut saya pelit. Kenyataannya, saya memang bukan orang berduit! Dari lahir sampai sekarang saya baru bisa menghasilkan duit sedikit hasil ikut perlombaan dan mengajar kecil-kecilan, yang kalau dibandingkan dengan jerih payah orang tua, bakalan tidak ada apa-apanya. Jadi wajar kalau saya teriak, karena saya tahu persis, mencari uang segitu butuh kerja keras luar biasa. Dan menghabiskannya hanya untuk acara setengah hari? Malas banget!

Lagipula, teman-teman saya yang kebetulan punya kakak yang lulus tahun lalu bilang, rincian biayanya tidak wajar. Tahun lalu, untuk ukuran acara di Hotel Sahid, satu anak dan dua orang tua, cukup membayar lima ratus ribu. Nah sekarang, acaranya cuma di Manggala Wana Bhakti. Biaya konsumsi 75.000 per boks (makanan apaan tuh, coba?) ditambah snack 10.000 per orang. Ada biaya tak terduga 22 juta. Pertanyaannya, kalau biaya tak terduganya tidak terpakai, masuknya ke mana? Tidak bakal dikembalikan juga, toh?

Saya tidak benci pesta atau kemewahan. Yang saya benci adalah ketika orang-orang menjual kemewahan itu pada generasi muda yang haus pengakuan dan merasa bahwa kemewahan itu harus dibeli, sehingga syarat apapun akan dilakukan. Supply dan demand. Semua diperjualbelikan. Sangat merusak moral!! Seolah membayar mahal hanya demi difoto di atas panggung dengan dandanan cantik adalah kebanggaan sejati. Memaksa anak-anak yang sebenarnya tidak mudah mengeluarkan 450 ribu, melakukannya demi mendapat pengakuan yang sama dengan yang mampu. Bukan saya. Bukan juga sebagian anak lainnya. Solusi terbaik, buat kami, adalah dengan tidak ikut saja. Tidak apa-apa, toh? Tinggal memaklumi bahwa masa kini adalah masa di mana orang-orang memperdagangkan apapun yang sekiranya dicari orang. Bangku sekolah, ijazah, gelar, jabatan, pasangan, bahkan anak kalau perlu. Apapun untuk mengisi perut, katanya. Padahal kebutuhan primer di masa kini bukan beras, tapi BB. Bahkan pembantu rumah tangga saya kerja setengah mati untuk punya BB. Itulah. Apalagi kalau bukan kerjaannya tukang dagang?


Comments

Popular Posts