Balada Ujian Nasional

Tanpa terasa ujian nasional tinggal, hemm, 32 hari atau 33 hari? Kurang lebih sebulanlah (tidak menghitung hari bukan berarti saya tidak peduli lho). Dan para pelajar seantero Indonesia telah sejak lama sibuk mempersiapkan apapun yang menurut mereka perlu disiapkan untuk menghadapi ujian nasional. Entah ikut bimbingan belajar, bertaubat dan lebih sering beribadah (hahaha, kalau mau ujian jadi taubat--kayak gue aja), latihan soal-soal, membeli lebih banyak buku soal, dan terakhir, yang dilakukan diam-diam (tapi sebenarnya jadi rahasia umum), adalah sibuk menguji-coba penawaran sejumlah oknum yang mengaku memiliki cara ampuh, mudah, singkat menuju sukses Ujian Nasional: bocoran soal lengkap dengan kunci jawabannya. Dengan harga yang relatif mahal pastinya.

Agak sedih juga sih, karena saya tahu, Bapak-Ibu Guru yang terhormat sudah memperingatkan jauh-jauh hari, jangan Nak, jangan percaya bocoran. Percayalah pada diri sendiri, karena percaya diri berarti kita percaya pada Tuhan dan kehendak-Nya. Tetap saja, bocoran melanglang buana setiap tahun, melegakan hati anak-anak yang mengaku bodoh (padahal, orang yang betulan bodoh tidak akan mencari bocoran, tapi bunuh diri. Kalau masih mencari bocoran, sulit diklasifikasikan antara cerdas tapi malas atau culas) dan menyayat hati anak-anak yang belajar dengan segenap jiwa lalu melihat nilainya ternyata tidak sebagus yang 'itu'.

Sebenarnya, adalah hak pribadi apakah ingin memakai bocoran atau tidak. Paling-paling jadi masalah kalau ketahuan. Tapi ini menjadi bukti betapa entah bagaimana, sistem pendidikan di sini (juga sistem sosial, barangkali) secara tidak langsung mengarahkan siswa pada cara berpikir yang "..asal cepat, asal selamat, asal untung, asal bergengsi, dong!" Ini, adalah fakta yang amat, sangat, menyedihkan buat saya.
Cara berpikir seperti itulah yang Insya Allah, akan tetap menempatkan Indonesia sebagai negara berkembang dengan sistem kehidupan terkorup, dimana mayoritas orang sibuk memikirkan perut golongan sendiri (jadi yang tidak dianggap golongannya, ya, ke laut aja), sibuk memikirkan alasan apakah yang bisa membuat mereka bersembunyi dalam kenikmatan yang bukan haknya satu hari lagi, sementara disekeliling mereka kehidupan orang lain jadi terganggu.

Orang selalu bilang, tidak ada yang tidak mungkin, dan tidak ada orang yang terlahir sebagai psikopat. Tapi jika tidak pernah ada orang yang berani, bukan hanya menyatakan bahwa sesuatu itu salah, tapi juga benar-benar peduli, dan menjadikan diri sebagai contoh agar kesalahan yang sama tidak terulang lagi mulai detik ini, mana bisa sebuah kebiasaan benar-benar hilang? Sama halnya dengan budaya menyontek. Budaya buang sampah sembarangan. Budaya tawuran. Budaya korupsi.

Saya baru saja membaca koran dan menemukan sebuah fakta menarik, bahwa Jepang yang baru terkena musibah dahsyat itu, tidak pernah memasukkan pelajaran matematika pada Taman Kanak-kanak. Mereka mengajarkan cara mencuci piring, mengepel, dan berkata "Maafkan saya," sambil membungkuk kalau secara tidak sengaja menyenggol orang pada saat sedang berdesakan di jalanan. Itu, Jepang. Di Indonesia? Ibu-ibu senang sekali membanggakan anaknya yang sudah bisa berhitung sampai dengan seratus. Tidak banyak orang peduli tentang bagaimana cara cuci piring dan mengepel yang benar. Apalagi berkata "Maaf" saat menyenggol orang di jalan.

Kembali lagi pada ujian nasional, kenapa sih harus ujian nasional? Sebab menurut Departemen Pendidikan itulah cara paling efektif untuk menguji apakah seorang siswa SMA pantas mendapat ijazah tanda 'Lulus SMA' atau tidak. Apakah tiga tahun pendidikan benar-benar dimanfaatkan siswa untuk mengoptimalkan cara pikir, yang juga dipersiapkan untuk perguruan tinggi, atau tidak. Kalau tidak bisa melewati ujian itu, ya berarti, secara gampangnya, belum pantas dibilang 'Tamat SMA'.

Terlepas dari sesuai tidaknya (menurut kita) metode Departemen Pendidikan menetapkan standar kelulusan, pernahkan kita bertanya pada diri sendiri, pantaskah kita mempertaruhkan gelar 'Tamat SMA' lewat selembar kertas penjamin kelulusan yang harganya masih bisa ditawar?

Karena menurut saya, sebuah kepribadian adalah harta manusia yang (seharusnya), paling tak bisa terbeli.


Comments

Popular Posts