Mass Murderer

Hari ini, gue pulang dengan tubuh serasa remuk-redam (I think my period is almost coming) dan hati yang bete. Ganti baju, ngiris sawi, makan indomie (udah tahu lagi teler malah makan mie instan), cuci piring, salat, lalu tepar di kamar. Terbangun dua jam setelahnya, gue menyalakan TV dan melihat berita Gunung Merapi telah meletus 4 kali hingga malam ini, menimbulkan kepanikan dan rombongan pengungsi dadakan, menyebabkan banyak orang menderita sesak napas bahkan hingga meninggal dunia.

Prihatin gue melihatnya, tapi lebih pada menyadari satu hal: kapan pun di mana pun berada, tipikal kebanyakan orang kita adalah selalu mudah disibukkan oleh kepanikan dari masalah yang dibuat sendiri. Contohnya, ya sekarang ini, sudah disuruh mengungsi dari entah kapan, baru mengungsi setelah hujan abu, dan menangis meraung-raung saat ada anggota keluarganya tidak selamat.

Terlepas dari apapun yang terjadi sehingga mereka tidak dapat mengungsi lebih awal, mbok ya kalau sudah diperingatkan tuh didengarkan, dipikirkan, bagusnya bagaimana, supaya kalau benar-benar terjadi sesuatu, nggak panik sendiri, kan konyol namanya.

Gue jadi teringat sesuatu yang membuat gue bete berat siang tadi:

Ceritanya nih, gue dan teman-teman sekelas punya tugas akhir sinematografi berupa film pendek, dan kebetulan gue dipercaya jadi sutradara. Semangat? Jelas! Kapan lagi gue bisa seru-seruan bikin film pendek, iseng-iseng ikut festival film, kan lumayan. Jadi setelah proses panjang dari seleksi ide, bikin sinopsis, treatment, dan naskah, jadilah konsep filmnya, dan dari awal, kami merencanakan syuting tanggal 30 Oktober, yang berarti Sabtu depan, di Puncak. Catat, sebenarnya sejak teman-teman merumuskan Puncak, pikiran gue sudah mengacu ke hal-hal sebagai berikut: ribet, jauh, mahal, berpotensi bikin syuting kacau...tapi karena gue menghargai kebersamaan, okelah, Puncak toh lokasi bagus buat konsep ceritanya.

Semakin mendekati hari-H, gue mulai merasakan ketidakberesan soal kejelasan syuting, dari naskah yang belum jelas mana yang mau dipakai, kemudian beberapa orang bilang nggak bisa datang, dan ujung-ujungnya ada yang bilang, "...duh, iya deh kayaknya Puncak kejauhan..." dan hari ini, sang guru tidak masuk karena sakit, yang berarti makin nggak jelaslah ini acara syuting.

Sebenarnya sebagai sutradara, gue berhak aja langsung memutuskan naskah mana yang mau dibikin, mau dibikin gimana, di mana, siapa aja yang main, siapa yang harus ngapain...tapi itu berpotensi bikin sebagian orang merasa tidak ikhlas ngerjain tugas ini, dan gue nggak mau. Call me overreact, tapi ini tanggung jawab gue, dan begitulah gue akan mempertanggung-jawabkannya. Kalau memang dari awal nggak niat bikin, ya sudah nggak usah...daripada bikin dengan niat setengah-setengah, sama capeknya, dan gue tetap harus tanggung jawab kalau hasilnya nggak maksimal. Lalu nanti kalau dimarahi, lempar kesalahan sana-sini saling tunjuk mana yang paling salah, dilanjutkan dengan pontang-panting bikin pembetulan.

Tuh kan, lagi-lagi, tipikal orang-orang kebanyakan. Pembunuhan karakter kayak gini, nih, lebih bahaya dari mass murderer dengan kapasitas sama. Ckck.



Comments

Popular Posts